BAB III: Oh lagi?

Începe de la început
                                    

Bagaimanapun ini bukan perihal dua orang lagi, tapi dua keluarga. Mbak Alika bukan hanya mengecewakan Mas Panca tapi juga orang tuanya. Pantas saja Tante Lusi terlihat marah tadi. Sepertinya Tante Lusi belum menerima hal ini.

"Tapi yang jadi aib adalah, Mbak Alika hamil diluar nikah Mbak." Aku menutup mulut agar teriakanku tidak keluar. Yang benar saja?

"Dalam waktu yang singkat pernikahan Mas Bian dan Mbak Alika disegerakan. Sekarang dia hamil anak kedua kayaknya. Saran gue, lo hati-hati deh sama dia Mbak." Definisi dari kata hati-hati yang dimaksud Afif apa sih?

"Maaf ya Tante kelamaan dibawah." Ucap tante Lusi yang tiba-tiba saja sudah masuk.

"Gak papa, Tante." Sahutku. Aku berusaha untuk menetralkan ekspresiku seolah tidak terjadi apa-apa.

"Mau pesen apa nih?" Tanya Tante Lusi sambil melihat buku menu.

"Gak usah Tan, kita baru abis makan kok. Iya kan Mbak?" Afif meminta persetujuanku. Aku mengangguk cepat.

"Yaudah Tante pesan minum aja ya?" Ucapnya kemudian.

Tante Lusi berbicara pada pelayan. Tak lama Mas Panca ikut bergabung. Ia duduk di samping Tante Lusi.

"Afif kenapa gak pernah ke rumah? Mentang-mentang udah tinggal sendiri jadi jarang ngunjungin Tante ya." Afif tersenyum sambil menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Dia memang perantau disini. Keluarganya tinggal di kota lain.

"Maklum, sibuk Tante." Sombongnya.

"Sibuk pacaran iya." Gumamku. Walaupun Afif adalah tukang ngerumpi tapi ia termasuk ke dalam golongan playboy cap kapak. Dia sering bergonta-ganti pasangan. Katanya sih ingin menyeleksi mana yang terbaik.

"Afif playboy toh." Ledek Tante Lusi. Afif hanya tersenyum hambar dan melirik kearahku. Aku mencibirnya.

"Kamu udah lama kenal sama Rainy? Soalnya kalian keliatan akrab." Tanya Tante Lusi lagi.

"Aku kerjanya seruangan sama Mbak Rainy, Tan. Lima hari dalam seminggu ketemu Mbak Rainy terus. Kadang bosen juga sih, ini aja nunggu Mbak Rainy resign." Aku menatap tajam Afif yang sedang membual. "Becanda Mbak." Lanjutnya terkekeh.

"Mbak Rainy senior aku di kantor, Tan." Ini baru benar. "Aku anak pertama gak punya kakak, Mbak Rainy anak terakhir gak punya adek, jadi ya gitu. Berasa saudara." Ia menatapku menggoda. Rasanya aku pengen muntah.

"Menurut Afif, Rainy itu gimana? Cocok gak sama Panca?" Kalau pertanyaan ini dipastikan Afif akan membicarakan keburukanku. 'Siap-siap untuk dipermalukan Rain', ucapku pada diriku sendiri.

"Mbak, gue boleh ngomong jujur kan sama Tante?" Wah, belum jawab aja dia sudah menyebalkan.

"Saking banyaknya sifat jelek gue ke elo ya?" Sahutku. Tante Lusi dan Afif langsung terkekeh.

"Kayaknya emang lebih banyak yang jelek deh, Mbak." Aku langsung mencubit lengannya sampai ia mengaduh sakit. Tante Lusi tersenyum.

"Mbak Rainy senior paling baik di kantor, Tan. Waktu pertama kali aku gabung kesana, cuma dia yang nyapa aku duluan terus ngajak ngobrol. Bahkan sampe nemenin makan terus ngajak keliling kantor." Aku mencibirnya lagi.

Mendadak ingatan itu berputar di kepalaku. Saat dimana aku beli kucing dalam karung terus pas karungnya dibuka kucing itu malah mencakarku. Enggak deng, becanda.

Afif itu terlihat culun saat pertama kali masuk kantor. Tapi setelah akrab aku jadi paham gimana sifatnya.

"Tapi ya itu Tan, kalo ngomong nyelekit banget sampe ke ulu hati." Aku menyipitkan mata kearahnya. Dia sudah mulai membongkar aibku.

"Kalo nasehatnya selalu diacungi jempol, Mbak Rainy terbaik kalau urusan itu. Sayangnya dia jomblo sampai sekarang. Eh tiba-tiba mau nikah aja." Wah, dia mulai meledekku. Tante Lusi yang mendengarnya langsung tertawa, sementara patung disampingnya hanya diam. Dia masih betah dengan ekspresi itu.

"Tapi banyak yang naksir Tan." Aku membulatkan mata kaget. Afif ini benar-benar ya. Semuanya diceritakan.

"Iya?" Sahut tante Lusi semangat.

"Bos besar aja naksir ama Mbak Rainy, sayangnya ditolak mentah-mentah." Jelas Afif lagi. Aduh, kapan dia akan berhenti ngomong? Aku memijat kening lelah.

"Kalau Mbak Rainy sama Mas Panca menurut aku sih cocok."  Afif menatap aku dan Mas Panca bergantian.

"Mbak Rainy orangnya bawel, suka ngomong, ceria, bisa mengimbangi mas Panca yang aslinya pendiam. Tapi inget satu hal ya Mas, diamnya Mbak Rainy berarti sesuatu." Mas Panca yang tadinya tak berekspresi sekarang mengerutkan dahinya.

"Maksudnya Fif?" Tanya tante Lusi.

"Kalau Mbak Rainy diam berarti ada sesuatu yang terjadi yang bertentangan dengan apa yang dia yakini. Sekali dia diam, dua kali dia masih diam, ketiga kali kita kena semprot." Tawa Afif. Aku menatapnya sebal.

Memang seperti itulah aku. Aku akan diam saat ada sesuatu yang bertentangan dengan pemikiranku. Tapi aku hanya manusia yang memiliki batas kesabaran. Pada akhirnya semuanya akan keluar juga.

"Menurut Rainy, Afif itu orangnya gimana?" Tanya Tante Lusi padaku. Sepertinya aku lebih cocok sama Afif deh daripada Mas Panca. Soalnya aku dan Afif itu satu server.

Aku mengedipkan sebelah mataku pada Afif. Ini waktunya pembalasan.

"Waktu pertama ketemu nih ya Tante, mukanya culun banget. Makanya gak tega mau ngerjain. Eh ternyata..." Aku menjeda sebentar. "Ember bocor."

Afif menarik ujung rambutku sampai aku menjerit kesakitan. Dia sepertinya kesal karena ucapanku.

Memang kami satu server. Tapi tetap saja kalau bersatu seperti kucing dan anjing.

"Terus..."

"Udah Mbak, aib gue banyak banget. Jangan diceritain semuanya. Ntar gue malah disuruh nyokap pulang kampung." Aku tertawa pelan.

"Tapi Afif anaknya seru kok Tante, gampang akrab. Padahal kita baru setahun kenal gak sih?" Afif mengangguk setuju.

"Afif juga pinter." Lubang hidungnya langsung membesar "Pinter ngomong maksudnya, Tan. Melebihi cewek, ya kan?" Aku meminta persetujuan Afif. Ia berdecak. Setelah membuatnya terbang, aku langsung menghempaskannya kembali ke bumi. Ia memang tak cocok jadi burung.

"Dan buat Mas Panca, gue punya pesan khusus buat lo." Dia mulai mengalihkan pembicaraan. Eh tunggu dulu, nada bicara Afif mulai berubah. Aku tau yang dibicarakannya serius.

"Mbak Rainy udah kayak kakak gue sendiri, walau baru setahun gue kenal dia. Dia selalu ajarin gue hal-hal yang baru. Bahkan disaat gue sakit, dia yang ngurusin gue. Gue emang gak tau banyak tentang dia, tapi satu hal yang harus lo tau Mas. Dia dikelilingi oleh orang-orang yang sayang dan peduli sama dia, orang tuanya, Bang Elang, termasuk gue, adiknya. Mbak Rainy terlalu berharga untuk disakiti." Aih, dia memang pintar ngomong. Aku jadi speechless.

"Elang?" Akhirnya sang patung mulai buka suara.

"Iya Bang Elang, lo gak kenal Mas?" Tanya Afif. Ia menggeleng.

Elang yang dimaksud Afif adalah Mas Bagas. Elang Bagaskara, itu nama panjangnya. Bagas itu panggilan khusus dariku.

"Bang Elang itu kakaknya Mbak Rainy, Mas. Serem." Jelas Afif.

"Serem?" Mas Panca membeo. Ia makin terlihat berekspresi.

"Gue nganter Mbak Rainy pulang eh ketemu sama Bang Elang. Dia kira gue pacarnya Mbak Rainy. Kena interogasi abis-abisan deh gue." Tante Lusi yang mendengar itu tertawa.

"Oh." Singkat, padat, dan jelas. Itu adalah jawaban dari sang patung. Sepertinya dia jarang membaca buku, makanya kosakata miliknya sangat sedikit.

Apa aku harus mengibarkan bendera putih menghadapi patung yang berada di depanku? Sepertinya terlalu susah untuk mengubahnya.

Apa aku cari pemahat baru aja ya? Atau aku saja yang memahat langsung? Biar patungnya bisa diubah sedikit. Setidaknya bisa ditambahkan senyum di wajahnya dan kamus bahasa Indonesia di otaknya. Pasti akan sempurna kan?

***

Rainy [END]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum