Aku menggigit jari gemas. Andai saja tidak ada orang disini mungkin aku sudah berteriak kesal. Persis seperti istri yang tau suaminya selingkuh.

Bagaimana bisa aku menikah dengan seseorang yang tidak aku kenal? Bahkan hari ini langsung fitting baju, padahal aku belum mengiyakan. Salahku juga sih tidak menolak sejak awal. Tapi aku juga tak enak menolak, mengingat kebaikan calon mertuaku pada orang tuaku dulu.

Usut punya usut ternyata saat bisnis ayahku hampir bangkrut, calon mertuaku-lah yang membantu. Keluargaku hutang budi pada mereka. Aku memang mengenal mereka karena dulu pernah bertemu beberapa kali, tapi tidak dengan anaknya. Jujur, aku frustasi sekarang.

"Eh Han." Panggilku. Hana yang sedang menatap layar komputer langsung menoleh kearahku.

"Em, kalo lo dijodohin sama orang tua lo, lo bakal nolak gak?" Bisikku agar karyawan lain tidak bisa mendengarnya. Ia menggerakkan kursinya agar bisa mendekat kearahku.

"Kan gue udah nikah." Ucapnya polos. Wah wah, ni anak minta ditabok kayaknya.

"Kalo Hana, kalo." Ulangku. Ia terlihat berfikir sebentar sebelum memicingkan matanya menatapku.

"Lo dijodohin?" Tebaknya. Aku mengangguk dramatis.

"Yaudah sih terima aja. Daripada gak bisa jawab saat ditanya kapan nikah." Jawabnya enteng. Semudah itu? Pikirannya hanya sampai segitu? Aku menatapnya takjub. Setelah menikahpun pikirannya belum berubah.

Ini bukan hanya tentang lari dari pertanyaan orang. Tapi ini soal masa depanku. Bagaimanapun menikah itu hanya sekali seumur hidup. Seperti apa kelanjutan pernikahanku jika awalnya saja sudah membuatku frustasi seperti ini?

"Rain, dengerin gue. Lo ada pacar atau gak?" Tanyanya. Aku menggeleng. "Yaudah terima aja. Kadang orang tua lebih tau mana yang terbaik buat anaknya. Temuin dulu calonnya. Setelah itu minta petunjuk sama Allah. Yakinkan diri. Bismillah aja Rain. Kalo ini yang terbaik pasti ada aja jalannya." Ini baru benar. Tak salah ia bekerja sebagai seorang editor.

---

Perkataan Hana tadi membuat hatiku sedikit tenang. Aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku agar bisa pulang lebih cepat. Sekarang disinilah aku, di butik milik tante Miya, salah satu teman bunda.

Seorang karyawan mengantarkanku menuju ruangan yang sudah disiapkan. Disana seorang perempuan paruh baya sedang duduk membelakangiku sambil membaca majalah.

"Permisi." Kataku. Ia langsung membalikkan badannya sehingga menghadap kearahku.

"Rain. Baru dari kantor ya? Maaf karena mendadak gini." Ucap tante Lusi, calon mertuaku. Aku mendekat dan langsung menyalaminya.

Setelah beberapa lama tidak bertemu, tante Lusi terlihat berbeda. Beliau yang dulunya agak berisi sekarang terlihat lebih kurus. Matanya juga terlihat sayu. Aku jadi ingat perkataan bunda tadi pagi.

"Tante Lusi sakit kanker rahim stadium tiga. Dia benar-benar ingin melihat anaknya menikah sama kamu."

Beliau menuntunku untuk duduk disampingnya. Senyum diwajahnya tak pudar sedikitpun. Ia bahkan menggenggam tanganku dan meremasnya pelan.

"Maaf karena kami para orang tua seenaknya." Ucapnya. Aku terenyuh. Kalau seperti ini aku semakin tidak bisa menolak.

"Aku udah mau 27 tahun tante, mungkin udah saatnya. Lagian aku juga gak punya pacar kok. Aku percaya sama pilihan bunda dan ayah." Ucapku. Entah kenapa aku yakin pada ucapanku. Walaupun keraguan sempat hadir, tapi aku berusaha untuk tetap percaya.

Setidaknya memiliki mertua yang baik adalah awal yang bagus buatku. Kedepannya semoga akan ada hal-hal bagus yang terjadi.

"Rain udah datang ya." Tante Miya menginterupsi. Aku tersenyum dan menyalaminya. "Langsung coba aja apa gimana?" Tawarnya. Aku melirik tante Lusi meminta jawaban.

Rainy [END]Where stories live. Discover now