21. Sosok yang Sama

94 18 23
                                    

Fiora melihatnya lagi, sosok sama yang telah mengenalkannya, pada dunia luar, agar bisa bebas dari kekangan Istari sementara. Sepasang iris hitam pekat, dengan sinar redup yang berbeda. Fiora memperhatikan punggung tegap Ravin sejenak, kilasan samar punggung bocah lelaki dua belas tahun, merayapi pikiran si gadis, memberi aliran kehangatan di rongga dada. Fiora kembali mengingat bagaimana Ravin tersenyum, mengajaknya menuju bukit. Gadis itu sama sekali takkan pernah melupakan masa-masa itu.

Kalau melihat sikap Ravin yang seperti ini, bukankah Fiora bisa salah paham. Fiora memalingkan wajah, takut terhadap perasaannya yang kalah. Ia merindukan bagaimana cara mereka berteman seperti dulu. Gadis itu menggigit bibir menekan kegelisahan. Bohong bila Fiora, tidak menginginkan masa-masa itu kembali datang, masa-masa di mana dirinya bersama Ravin menjadi dekat begitu saja.

Kedua netra coklat Fiora memanas. Bagaimana bisa lelaki itu, benar-benar bersikap seolah melindunginya begini. Ia berkelahi, lalu memukul mereka yang sudah mengusik dirinya. Ahh dia pandai dalam pertarungan. Entah mengapa, hal itu, menjadi perasaan lega tersendiri bagi Fiora. Perbedaan intens dari Ravin yang dulu, dengan yang sekarang ialah, sinar mata dan senyumannya. Sekarang, lelaki itu benar-benar terlihat dingin, tak terjangkau.

Fiora mendatangi Riki bukan tanpa alasan, dirinya menginginkan pertanggungjawaban lelaki itu, terhadap perbuatannya pada Juni. Fiora tentu tidak bisa mengajak Juni secara gamblang untuk menemaninya, menemui Riki, mengingat kondisi mental lemah gadis itu, bila tahu bahwa, kenyataan akan memukul telak harapannya kapan saja. Fiora takut keputusasaan akan menguasai seorang Juni Astina, kemudian perlahan-lahan membuat gadis itu tamat dengan sendirinya. Maka, Fiora pun melakukan segalanya secara keras kepala. Bukan hanya untuk Juni, namun, juga demi keyakinan Fiora sendiri mengenai ungkapan Istari akan kelahirannya---kesialannya. Fiora menginginkan pembuktian nyata akan dirinya-lah, ia bisa menyelesaikan masalah, dan menjadi pembawa baik.

Riki tergelak, ia tertawa seolah ingin mencela semua ucapan yang baru saja dikatakan Fiora. Riki tersenyum. "Kalau gue bilang gue nggak mau tanggung jawab, lo mau apa?" Pertanyaan itu mengudara, memberi Fiora pilihan bagaimana dirinya, seharusnya bersikap, agar Riki mau mengikuti keinginannya untuk Juni. Lalu, jawaban apa lagi selain memohon? Tidak ada pikiran lain. Perasaan Fiora kacau-balau. Ia sesegukkan. Juni tidak boleh lebur. Sudah cukup, masa depan gadis itu rusak, oleh perbuatan dirinya sendiri yang hina. Kali ini, Fiora menginginkan yang terbaik. Sebab Fiora tahu, jika bukan Riki, Juni akan lebih patah, dirinya akan pecah berkeping-keping tanpa sisa. Karena Juni Astina hanya memberikan cinta utuhnya pada Riki Irwana bukan lelaki lain.

Fiora berlutut, menyamakan posisi agar sejajar dengan Riki yang duduk di tanah. "Aku mohon Kak...." Baru beberapa detik Fiora tetap pada pendirian permohonannya, saat sadar, Ravin sudah melayangkan berbagai pukulan mengenai wajah Riki. "Idiot!" umpat lelaki itu, ketus.

Fiora memundurkan langkah, tangannya terkepal. Setelah ini, harus bagaimana Fiora berbuat, Juni pasti akan sakit hati, bila tahu harapannya hancur, disebabkan Riki yang tidak mau mempertanggungjawabkan semuanya. Inilah alasan mengapa Fiora takut bila ia mengajak Juni bertemu dengan Riki Irwana. Juni bisa saja segera tamat, robek, antara hidup dan mati.

"Lo bahkan nggak pantes dibilang idiot. Lo tuh sampah!" Riki terbatuk darah, setelah Ravin memukul wajahnya, berulang kali tiada henti. Seakan Ravin sedang melampiaskan segala kemarahannya pada kakak kelasnya tersebut. Fiora memainkan jemari berkeringatnya resah. Sesaat karena berpikir dan melamunkan semua kebingungan, Fiora membulatkan mata, menatap sekumpulan orang-orang, yang mulai mendekati dirinya, di antara mereka adanya, para aparat kepolisian.

Ravin mengayunkan bogeman mentah secara bertubi-tubi. "Mati lo sampah!"

"Ravin!" pekik Fiora tertahan.

"Di sana Pak perkelahiannya!" ujar salah satu perempuan kelab, berpakaian kurang bahan bergaun hitam pendek. Tiga polisi segera menghampiri, mereka memisahkan perkelahian Ravin dan Riki dengan paksa. Ravin maupun Riki sama-sama bernapas tersengal.

Karena dirinya. Fiora mengusap wajahnya gusar. Jika ditanya hal apa yang paling Fiora hindari, maka jawabannya adalah polisi. Fiora tidak menginginkan Ravin terlibat lebih jauh. Sudah cukup pemuda itu mau melakukan perlindungan, pada Fiora, ketika, Fiora nekat mendekati perkumpulan Riki bersama kawan-kawannya. Fiora sudah merasa senang bisa melihat punggung yang sama dari seseorang Ravin Cakrawala. Pemuda itu tumbuh dengan baik. Sikapnya memang sedikit berbeda, namun, bukankah dengan sikap perlindungannya kali ini menandakan lelaki itu sudah mengingat mengenai masa lalu mereka? Fiora menginginkan melihat senyum lebar khas Ravin untuknya lagi. Senyum yang mampu memberi Fiora kekuatan agar tetap bertahan di tengah peliknya konflik kehidupan.

Fiora menyeka air matanya cepat, ia tidak boleh menangis. Akan tetapi, melihat Ravin bersama Riki dengan dirinya berada di kantor polisi, seperti ini, membuat Fiora merasa masalahnya semakin rumit. Pihak polisi menanyai mengenai permasalahan awal perkelahian mereka, tetapi, tak ada satu pun baik dari pihak Ravin maupun Riki menjawab alasannya. Fiora sudah menjelaskan apa yang perlu dijelaskan, meski gadis itu menutupi beberapa fakta sebenarnya. Polisi tetap menginginkan penjelasan dari kedua lelaki yang bertengkar itu. Maka keputusan finalnya ialah memanggil wali dari masing-masing Ravin dan Riki.

Fiora tidak menyangka Riki bebas dengan cepat, setelah sambungan telfon terdengar dan diangkat oleh polisi. Dan tak perlu wali sekalipun, Riki dibebaskan begitu saja, dengan alasan yang tidak bisa dijelaskan. Benar yang kakak kelas itu ungkapkan, bahwa lelaki itu, tidak memiliki wali tetap. Bahkan Fiora sama sekali, belum tahu mengenai keluarga seorang Riki Irwana.

Kini hanya tersisa Ravin yang berdiri bersandar di dinding, menggunakan gayanya yang dingin. Fiora menggerakkan iris mengamati semua pergerakkan lelaki itu. Bagaimana bisa, hanya dengan melihat sesosok Ravin yang seperti ini, mampu melenyapkan segala kekalutan yang ada di pikiran Fiora. Gadis berambut hitam dengan panjang setengah punggung itu, membungkam. Pikiran lain terlintas begitu saja. Apa benar Ravin yang dilihatnya ini, merupakan bocah sama yang memberikan seekor reptil kecil padanya ketika dulu? Maka untuk membuktikan kenyataan itu, Fiora harus mencoba beberapa hal.

Fiora berjalan menghampiri, ketika Fiora benar-benar telah sampai di hadapan Ravin. Netra berbeda warna itu saling menubruk. Fiora terperangkap. Iris hitam Ravin seolah menyerap Fiora agar terus menatapnya, mengamatinya, tidak bisa beralih darinya. Dan entah akan kekuatan apa, rongga dada Fiora memuncak, rasa panas itu menggelitik hingga menyetrum sekujur tubuh sampai membuat kedua mata Fiora memanas, terlapisi air berkaca. Fiora menelan saliva. "A... aku minta maaf karena aku, kamu jadi berakhir kayak gini. Kamu... apa... sekarang kamu inget aku?" Ahh mengapa malah pertanyaan itu yang keluar dari bibirnya?

Tak ada jawaban yang terdengar, suasana mendadak berubah hening. Fiora tak bisa berbohong, bahwa saat itu, perasaannya terluka ketika Ravin tak membuka suara.

"Uuh... Pa-Pascal, g-g-gimana sama Pascal?" Fiora gelagapan, mendadak semuanya terasa salah dan tak benar. Air mengalir dari sudut kelopak, Fiora menahan erangan beserta isakkannya sekuat tenaga. Mengapa Ravin tidak mau menjawab dan hanya melihat dirinya berbicara seperti ini? Fiora akan diliputi kebingungan lagi.

Fiora meremas jemarinya gemetar. "Rav?" Fiora memejamkan mata, untuk kemudian membukanya perlahan, apa yang diharapkan gadis itu. Ravin bukanlah Ravin yang dikenalnya dahulu. Bagaimana mungkin Fiora mempertanyakan lelaki itu dengan begini. Mata mereka saling memandang satu sama lain. Hingga kemudian, Ravin membuka suara yang menghancurkan semua pengharapan yang diangankan Fiora. "Gue nggak tau," ujarnya singkat.

Fiora menyela tergesa. "Terus kenapa kamu nolongin aku?" Pertanyaan itu meluncur dengan lancar.

Ravin menyorot dingin. "Salah kalau gue nolongin lo?"

Tidak, bukan seperti itu maksud Fiora. Gadis berkulit pucat tersebut menggeleng. Jadi, Ravin sama sekali tak pernah mengingat tentang dirinya? Fiora membuang muka, ia mengalihkan pandangan dari sepasang iris hitam Ravin yang bisa menjeratnya kapan saja. Mengapa Ravin menjadi seperti ini. Apakah Fiora yang terlalu memiliki harapan yang tinggi? Tak ada lagi senyum hangat dari Ravin dua belas tahun, yang ada hanyalah tatapan menusuk dari Ravin enam belas tahun. Lalu untuk apa perasaan melambung yang dirinya rasakan barusan itu. Dia bukan Ravinnya yang dulu. Bukan sesosok lelaki hangat yang tersenyum lebar seperti dulu. Bukankah sekarang dirinya ini amat terlihat menyedihkan?

DarkpunzelWhere stories live. Discover now