19. Ravin Cakrawala

109 14 18
                                    

Jika mengatakan tentang masa lalu, maka, setiap orang memiliki masa lalu. Masa di mana adanya kenangan tak terlupakan yang terukir di hati, menjadi bagian dalam sel darah. Ravin Cakrawala, salah satu dari sekian miliar orang, yang memiliki kenangan pahit yang mampu menghunus detak jantungnya, ketika memori Ravin berputar mengingat masa lalu tersebut.

Ravin kecil membuka pintu, di jemari pendeknya terselip serangga daun yang menggelitik. Ravin tersenyum lebar, dengan wajah kotor menyorot maminya, berlari kecil menghampiri Astrid untuk memeluk wanita tersebut mengucapkan 'Mami aku bawa hewan baru lagi!'. Namun ketika Ravin sudah melingkarkan tangan, tak ada kehangatan yang seharusnya dirinya dapatkan, ia malahan memeluk angin kosong. Netra hitam lelaki itu membulat, seluruh ruangan seketika berubah menjadi gelap. Ravin tersengal, sekujur tubuh lelaki itu bergetar, menatap kedua tangannya yang mendadak terbanjiri warna merah darah. Tidak. Jangan lagi. Ravin tidak ingin bermimpi seperti ini lagi!

Astrid tergeletak bermandikan cairan berwarna merah menghitam. Mobil di sekitar wanita itu rusak parah, dengan posisi terbalik, Darsa terjebak di bagian pemudi. Ravin tercenung. Ia menggeleng lalu berbalik dengan air mata menggenang. Ravin benci melihat kejadian yang sama, menghantui pikirannya, merenggut kewarasan lelaki itu. Ravin tidak menginginkan untuk menghampiri kedua orang tuanya yang terluka, ia lebih memilih berlari sejauh-jauhnya menjauhi Astrid dan Darsa ke arah berlawanan. Ravin benci mimpi buruk ini!

"Katanya orang tuanya kecelakaan."

"Kasihan ya, baru umur dua belas tahun tapi udah yatim piatu."

Ravin berlari tak tentu arah, dadanya naik turun menyesak, ia menutup telinga rapat-rapat, dengan kedua tangan mencengkram erat saat suara itu berdengung memekakkan. Ravin tidak membutuhkan tatapan iba menghasiani. Ravin tidak suka ketika mereka menyorot sedih, seolah dirinya-lah yang paling harus diprihatinkan. Jika waktu dapat diputar kembali, Ravin menginginkan untuk tidak berada di tengah kejadian ketika orang tuanya kecelakaan lalu lintas. Lelaki itu merasa bersalah. Menjadi satu-satunya yang tetap hidup, di antara benturan keras mengahantam aspal, menjadikan Ravin harus menanggung semua beban di bahu.

"Katanya dia sekarang berhenti sekolah. Sikapnya jadi berubah tempramental."

"Denger-denger juga, ada orang baru yang dateng ke rumah anak itu."

"Siapa-siapa?"

"Orang Psikiater!"

Paru-paru Ravin menyempit, ia mengambil napas tergesa, memangnya siapa yang menginginkan hal buruk terjadi? Mental seorang Ravin Cakrawala tidak sekuat kelihatannya. Jantung Ravin berpacu cepat. Ia memang tercipta menjadi seorang laki-laki, namun, hal itu tidaklah cukup untuk menjadi alasan bahwa dirinya tidak boleh memperlihatkan kelemahannya. Hati Ravin beku, cedera, dan penuh luka. Ravin berlutut, tak ada suara yang keluar dari bibirnya. Ia menyembunyikan raut wajahnya dalam lekukan lutut terlipat. Selanjutnya, perlahan tubuh kecil Ravin membesar, tumbuh secara instan, memperlihatkan keadaannya yang sekarang, lelaki remaja yang memasuki umur enam belas tahun.

Ravin membuka mata, peluh membasahi seluruh wajah, bagian atas kausnya pun basah menggelap oleh keringat. Mimpi itu lagi! Buru-buru Ravin berjalan terhuyung, mengambil segenggam kotak rokok bersama pematik, dan berjalan ke arah balkon. Secara tergesa Ravin menyulut rokok, menyalakannya sebentar, kemudian, menghisap kuat-kuat sampai rongga dada lelaki itu menyempit sesak. Ravin terbatuk keras. Ia mengusap wajahnya kasar, lalu kembali menghisap rokoknya menatap langit menggelap menggunakan sorot lelah.

Sialan. Batin Ravin mengumpat. Sialan. Ravin menginjak setengah rokoknya, untuk setelahnya, mengambil rokok baru dan menyalakan. Brengsek. Ravin menghisap kuat-kuat, wajahnya gelisah, lagi, ia terbatuk, Ravin berlutut, merendahkan posisi, meremas rokok menyala di jemarinya kuat-kuat. Disadari atau tidak, sudut kelopak lelaki itu telah basah. Sialan!

DarkpunzelWhere stories live. Discover now