02. Sebuah Rencana Kecil

281 37 19
                                    

Kota, memiliki berbagai macam tempat yang mempunyai masing-masing nama. Fiora bertempat tinggal di Jalan Merdeka, samping jalan kecil yang dilalui beberapa kendaraan, dekat taman kanak-kanak berbukit rendah. Suhu udara masih terasa lebih dingin, karena belum tertampaknya sang matahari. Menarik napas sebentar, Ravin melanjutkan pertanyaan yang membuatnya penasaran. "O-oke Fiora, nama aku Ravin Cakrawala. Terus, apa itu rambut?" Ravin dua belas tahun itu terdengar benar-benar bertanya. Pemuda tersebut seolah murni, diliputi rasa penasaran besar. Fiora mengangguk sebagai jawaban.

"Nah, ayo main sama aku di luar." Ia mengajak, membuat Fiora tersenyum ceria, menyadari satu kenyataan, senyum gadis itu memudar sedih.

"Nggak boleh."

"Hmm?"

"Aku nggak boleh main ke luar, Ravin." Fiora menjawab, irisnya meredup, membayangkan ketika bibinya tahu bahwa dirinya membiarkan orang asing masuk ke dalam kamar. Fiora bukan hanya dipukul, ia juga tidak akan diberi jatah makanan. Fiora bukanlah anak kuat yang bisa bertahan akan semua sikap yang diberikan Istari untuknya. Sebisa mungkin, Fiora memilih menghindar, menjauhi masalah, dan menuruti ucapan wanita berambut sebahu itu.

"Kenapa?"

Fiora memindahkan Pascal dari tangannya ke lantai, netra coklatnya sekilas berkilat, namun, dengan cepat Fiora menyembunyikan ekspresi sedih. Bagi gadis itu sendiri, memberitahu masalah Istari bukanlah perbuatan baik. Meski, Istari sering kali memperlakukan Fiora dengan buruk, bukan berarti, Fiora bisa menutupi fakta bahwa, bibinya-lah yang sudah merawat dan mengurusinya sejak kecil.

Fiora memeluk lutut, membiarkan keheningan menyelimuti suasana mereka. Mengambil napas sebentar, Fiora mengangkat kepala, tepat saat itu, iris mereka saling menubruk. "Apa kita bisa hindari pertanyaan kayak gitu?" Ada nada parau yang terselip di sana. "Kalau kamu? Kenapa ingin sekali main sama aku?"

"Aa," Ravin mengangguk, lalu menjawab jenaka, ketika suasana mulai berubah kaku. "Aku seneng sama perempuan cantik." Singkat, padat juga polos, Ravin mengumbar senyum. Fiora mengangguk mengerti, entah dirinya harus bangga, atau tidak, dengan pujian tak langsung yang dilontarkan Ravin. Ahh, mungkin, Fiora harus mengingat, bahwa lelaki dua belas tahun di depannya ini, bisa jadi merupakan lelaki yang akan tumbuh menjadi lelaki penggombal di masa depan. Tak sengaja melirik jam dinding, Fiora menyorot tidak enak. Pukul enam kurang sepuluh menit, sisi teratas matahari mulai muncul di bagian timur memberi pancaran rona kemerahan, menandakan pagi telah tiba. Suhu ruangan berubah menjadi lebih hangat.

"Aku harus sekolah, Ravin."

Ravin melepas sapuannya pada punggung Pascal, ia menjawab, "Terus?"

"Kamu harus pergi, guru aku nanti dateng. Kalau dia tahu kamu di sini, dia pasti mengadu pada Bibi." Benar, guru privat Fiora merupakan suruhan Istari agar memberi tahu mengenai tumbuh kembang gadis berambut hitam itu dalam hal belajar, termasuk, saat Fiora melakukan hal aneh: membiarkan orang lain masuk, misalnya.

"Kamu sekolah juga?" Ya ampun, dari sekian banyak pertanyaan, kenapa Ravin malah bertanya suatu hal yang jelas-jelas sudah dirinya ketahui jawabannya. Fiora mengangguk gugup. "I-iya."

"Aku juga sekolah," sahut lelaki murah senyum itu kemudian. Umur Ravin sama seperti Fiora, menginjak dua belas tahun. Sama-sama disekolahkan pada pertengahan pertama.

Mengerjap. "Oh?" Fiora belum menguasai diri dan menumpahkan segala pertanyaan untuk Ravin. Namun, tanpa diduga, Ravin menegakkan tubuh, ia menaikkan kedua alis, layaknya orang dewasa yang sedang menggoda wanita di jalan. Fiora mengerutkan kening ikut berdiri. "Besok kita main lagi ya cantik," katanya masih dengan rayuan yang entah diajari oleh siapa. Benar-benar anak itu.

Fiora mengangguk setuju, kedua matanya berbinar senang. "Hm!" Sorot Fiora mengamati sikap Ravin yang pergi, turun dari jendela menggunakan kayu bawaannya. Fiora menyadari, kamarnya memang hanya berlantai dua, akan tetapi, cukup sulit digapai oleh seorang anak macam Ravin Cakrawala. Fiora tak bisa menahan rasa bahagia, ia senang sekali, sudah memiliki teman seperti Ravin yang mau menemani kesendirian gadis itu. Dengan hati-hati, Fiora menutup dan mengunci jendela, menyimpan kunci di bawah bantal, kemudian tersenyum lebar, mengangkat Pascal berputar-putar.

DarkpunzelWhere stories live. Discover now