20. Perasaan Rumit

105 15 9
                                    

"Seumur hidup, aku baru pertama kali ngeliat ini semua, ngerasain kayak gini, sampe-sampe aku takut kalau...." Rambut hitam Fiora tertiup segar. Pandangan mereka bertemu dalam keheningan, Fiora bergumam, "Makasih Ravin."

Ravin membenci sesosok Fiora yang mampu menghadirkan banyaknya, serpihan memori kecil dalam hidup lelaki itu, memberi ingatan lama sampai Ravin bisa melihat jelas bagaimana sosok masa kecilnya yang dulu. Kemudian pelan-pelan, bayangan Astrid hadir secara samar, tersenyum menggunakan apron menyambut kedatangan Ravin sehabis pulang bermain. Selalu begitu. Astrid selalu menunjukkan senyum tulusnya. Bagaimana bisa Ravin tidak membenci Fiora, sedangkan gadis itu sudah membuka luka lamanya begitu saja.

Seharusnya, bila lelaki itu tidak menginginkan mengenang ingatan lama, ia tidak perlu berhubungan pada masalah Fiora. Dirinya hanya perlu berpura-pura tidak peduli, menutup mata dan telinga seakan tidak terjadi apa pun. Bukankah seharusnya begitu. Namun mengapa kini dirinya malah melindungi gadis itu?

Ravin memfokuskan pandangan, irisnya memercikkan api panas siap bertempur. Di hadapan lelaki itu Riki berdiri menatapnya remeh, meski Ravin memasang wajah dingin tanpa riak, sorot dalam kedua netra hitamnya sama sekali tidak main-main, seolah dirinya memusatkan segala kekuatan demi melindungi gadis di belakangannya. Benar, melindungi gadis yang amat dibencinya. Bukankah sikapnya ini terlihat begitu eksentrik? Well, siapa peduli, Ravin sudah terlanjur berada di sini, maka meski harus babak belur sekalipun, Ravin akan menjaganya. Ravin Cakrawala memang serumit ini.

Karena terlalu memberi atensi berlebih pada pergerakkan Riki, Ravin melupakan teman-teman lainnya, yang mulai berjalan mendekati lelaki itu. Kemudian tanpa pemberitahuan, punggung Ravin diserang dari arah belakang, Ravin menoleh cepat, namun malah hal itulah, menyebabkan teman lain memukul rahangnya keras-keras. Konsentrasi Ravin terpecah pada Fiora yang sedang menangis. Tanpa mengeluarkan umpatan menyeruak keluar di dalam hati, Ravin menghantam pangkal hidung lelaki beranting putih bernama Fandi, memberi balasan.

Ravin melayangkan tendangan di kiri dan bogeman mentah pada lawan selanjutnya. Tak ada napas yang tersengal terdengar dari bibir Ravin, ia mengerahkan kekuatan, pada pertarungan tidak imbang ini. Kegiatannya terhenti, saat secara mengejutkan, Riki lebih dulu memukul temannya yang ingin menyerang Ravin. Lelaki Cakrawala itu memperhatikan.

Tatapan Riki terlihat tajam, ia membuka suara tegas. "Siapa yang nyuruh lo serang dia?" Pertanyaan itu diajukan Riki pada teman sekawannya yang barusan ia pukul. "Siapa yang nyuruh lo-lo pada serang dia!" murka Riki karena tak mendengar jawaban. Satu alis Ravin terangkat tidak mengerti.

Edris menyahut, lelaki berkaus abu polos dengan kemeja putih. "Kita mau bantu lo, Ki!"

Delan menambahkan, "Lo tahu sendiri lo udah dianggep apa sama kita-kita. Wajar kita-kita lindungin ketua!" Si lelaki berjaket kulit mengedarkan pandangan. "Yoi nggak?!" tanyannya yang disahuti persetujuan tiga kawan lain.

Riki melirik tidak suka. "Yang ini urusan gue." Suasana berubah hening. "Pergi!" titah Riki kuat. Ravin menurunkan kewaspadaan, irisnya sejenak menatap Fiora mengawasi.

Fandi berujar singkat dan keras. "Kita cabut!" Ucapannya segera diangguki anggota lain. Lalu mereka berempat, secara serempak pergi meninggalkan Riki seorang diri, berhadapan langsung dengan Ravin. Untuk kali ini, Ravin menyetujui keputusan kakak kelasnya tersebut, hal itu membuatnya tidak perlu bersusah payah mengalahkan lawan dengan kewalahan, mengingat sepertinya mereka berempat cukup sulit ditumbangkan. Bukan berarti Ravin tidak bisa mengalahkan mereka semua. Ravin hanya sedang memperkirakan segala kemungkinan terburuk.

"Gimana, lo pasti seneng 'kan?" Suara itu terdengar mengejek. Ravin menggerakkan irisnya kembali menatap Riki lekat. Napas Ravin terhirup pendek. Brengsek! Wajah lelaki itu benar-benar terlihat menyesalkan. Tanpa pikir panjang, Ravin berjalan cepat untuk mendaratkan pukulan brutal. Dimulai dari pangkal hidung, Ravin mendorong tubuh Riki agar menghatam tanah, demi melancarkan serangan-serangan bringas lainnya. Riki melawan balik, membalas sama kencangnya memukul pangkal hidung Ravin. Mereka terlibat perkelahian sengit. Ravin menyorot gelap.

"Rav...." lirihan kecil tersebut terdengar dari Fiora, tetapi, Ravin tidak bisa menghentikan pergulatan ini. Bila ia lengah, Riki akan berada satu level di atasnya menguasai pertempuran, dan Ravin tidak mau hal itu terjadi. Ravin kembali memberi hantaman. "Ra-Ravin... udah...." bisikkan Fiora itu terdengar parau. Ravin mendesis, ia melayangkan satu pukulan kuat, lalu, segera menegakkan tubuh, berdiri, memberi jarak antara dirinya dengan si kakak kelas IPS tiga. Napas Ravin tersengal.

Riki mengelap darah, yang mengalir di hidungnya, tanpa terlihat kesakitan atau berpura-pura untuk tidak terlihat kesakitan. Ia tertawa lalu berujar mencemoh, "Pukulan lo lembek!" Jika saja tidak ada keberadaan Fiora di sekitar mereka, percayalah, Ravin akan bergerak membabi-buta mendaratkan serangan pada wajah si brengsek itu.

Isakkan terdengar dari si gadis. Fiora terlihat berjalan pelan-pelan menghampiri Riki, Ravin menyorot mengamati. "Kak... kalau Kakak mau tanggung jawab aku pikir beberapa masalah bakalan selesai." Kedua tangannya bergetar, Ravin menyadari Fiora menekan kegelisahannya kuat-kuat.

"Juni nunggu Kakak di apartemen kota, berharap Kakak dateng buat ngelanjutin hubungan kalian. Dia bener-bener sayang sama Kakak. Seharusnya kalau Kakak nggak mau serius sama dia...." Gadis itu mengepal kedua tangan gemetarnya, ia kembali dikuasai tangisan. Suaranya bernotasi kacau. "Seharusnya kalau dari awal kayak gitu, Kakak nggak boleh gitu aja bikin Juni hamil. Dia punya masa depan, tapi, malah Kakak hancurin cuma karena Juni gampang dimanfaatin."

Fiora mengusap wajahnya gusar. Dirinya sungguh terlihat putus asa sekarang. "Juni selalu ngerasa dirinya buruk, penampilannya jelek, wajahnya nggak sempurna. Kakak satu-satunya yang ngasih semua kebutuhan dia, termasuk dipuji, dihargai sama diperhatiin. Makanya Juni ngasih segalanya buat Kakak. Apa hal itu nggak cukup jadi alasan Kakak tanggung jawab sama perbuatan yang udah Kakak lakuin ke Juni?" Ahh dia benar-benar peduli pada teman-temannya. Bagaimana mungkin Ravin mencampuri urusan gadis itu sampai seperti ini?

Bahkan jika diperhatikan, Fiora benar-benar telah berubah. Rambutnya terpotong setengah punggung, tidak seperti awal mereka berjumpa saat di mana Ravin bersama Lissa melakukan kedekatan. Entah masalah apa yang sedang dihadapi gadis itu. Hal apa pun itu, Ravin menginginkan ia tidak terlibat lebih jauh.

Riki tergelak, ia tertawa seolah ingin mencela semua ucapan yang dikatakan Fiora. Ravin terdiam, matanya menajam. Riki menorehkan senyum angkuh. "Kalau gue bilang gue nggak mau tanggung jawab, lo mau apa?"

Ravin membiarkan sejenak, penasaran akan sikap yang akan dilakukan Fiora selanjutnya. Iris Ravin membulat. Bukannya memukul, menampar ataupun berteriak menangis terisak-isak, Fiora tidak melakukan hal itu semua untuk membalas perlakuan Riki yang kurang ajar. Gadis itu malahan berlutut, menyamakan posisinya agar sejajar dengan Riki yang duduk di tanah. "Aku mohon Kak...." Dia berujar sesegukkan.

Sialan. Sialan. Sialan. Ravin benci ini. Ravin memaksa tubuh Fiora untuk bangun dari posisi sialannya. Damn! Batin Ravin mengumpat tertahan. Saat Ravin berhasil membuat Fiora berdiri, lelaki itu secepat kilat memukul Riki penuh amarah. "Idiot!" ketusnya tanpa main-main. Tulang pipi, pangkal hidung, sudut bibir, kiri maupun kanan sama-sama mendapat hantaman. Ravin menghina. "Lo bahkan nggak pantes dibilang idiot! Lo tuh sampah!"

Riki balas mencengkeram kaus Ravin tak kalah kuat. "Peduli gue apa! Salahin temen cewek lo itu, yang mau-mau aja disentuh sama gue, sialan!"

Ravin mengayunkan bogeman mentah secara bertubi-tubi. "Mati lo sampah!"

"Ravin!" pekik Fiora tertahan.

"Di sana Pak perkelahiannya!" ujar salah satu perempuan kelab, berpakaian kurang bahan bergaun hitam pendek. Tiga polisi segera menghampiri, mereka memisahkan perkelahian Ravin dan Riki dengan paksa.

Ravin maupun Riki sama-sama bernapas tersengal. Riki mengusap darah di sudut bibir, wajahnya bengkak babak-belur. Ravin menggerakkan irisnya menatap wajah tangis Fiora, yang kini, mencoba menjelaskan pada pihak polisi. Iris Ravin bersinar redup. Ini untuk terakhir kalinya Ravin membantu gadis itu. Benar-benar untuk terakhir kalinya. Ravin berjanji pada dirinya sendiri tidak akan lagi terlibat dengan masalah gadis bernetra coklat itu. Sebab, Fiora adalah kekang seorang Ravin Cakrawala. Dia mampu melepaskan batas, yang sudah Ravin bangun kokoh, untuk segera melindunginya dengan cara apa pun. Dan itu bukan hal yang bagus. Pertahan Ravin bisa melemah, ia akan jatuh. Kemudian memiliki perasaan yang salah. Bukankah itu di luar keinginannya?

DarkpunzelWhere stories live. Discover now