Bagian 5 : Kakak

32 6 0
                                    

Selepas sholat subuh, aku bersiap-siap mandi. Mbah yang melihatku sedang menenteng handuk pun bertanya dengan lap kain yang ia bawa di tangannya, bersiap mengambil panci berisi air panas di atas kompor. "Mau mbah godokne banyu? Ini airnya mau Mbah pakek mandi duluan." Mbah menawarkan memasakkan air untuk mandi.

Aku mengangguk dengan senang hati. "Boleh, Mbah... sedikit aja airnya biar cepet mateng."

Mbah mengangguk dan berlalu ke kamar mandi. Aku iseng saja membuka tudung saji di dapur, berharap ada makanan yang bisa aku cemil.

Kulihat ada tempe sisa kemarin dan sedikit sambal bawang di atas meja. Langsung saja kucomot satu dan kucocol sambal.

"Biar melek," ucapku sendiri kemudian terkekeh.

"Nanti perutmu sakit lo, Nad," ucap Mbah dari arah belakang.

Aku mengunyah suapan terakhir sebelum menoleh. "Enggak kok, Mbah. Nadia udah biasa—"

Ucapanku refleks terhenti saat tidak menemukan tanda-tanda adanya Mbah di sekitarku. "Apa aku salah denger?" ucapku bergumam. Namun, di dalam hati, aku sudah membaca ayat kursi dan surat-surat pendek yang lain seingatku. Entah kenapa aku takut kalau sosok berbaju merah yang aku lihat di sekolah mengikutiku sampai ke sini. 

Tentu saja kuharap tidak!

Nad, tenangiin diri sendiri, Nad. Kalau lihat yang nggak-nggak teriak aja, ntar kan orang-orang pada bangun. Kalau nggak gitu lari yang kenceng, batinku lalu mengambil minum dari morong dan melangkah masuk ke kamar.

Anehnya, aku melihat ada bayangan hitam di dalam kamarku yang gelap. Maksudku, di dalam kamarku yang gelap, aku melihat sesuatu yang lebih pekat gelapnya. Sontak aku mundur satu langkah. Bayangan gelap itu bergerak maju dan terlihat gigi yang menyeringai mengerikan.

Lidahku langsung kelu. Aku ingin berteriak tapi tidak bisa, ingin melangkah pergi tapi kakiku rasanya terkunci. Aku ingin menutup mataku tapi rasanya sel-sel  di tubuhku terlalu terkejut untuk menggerakkan tubuhku sendiri.

Mungkin ini yang dirasakan orang-orang saat melihat hantu di film-film yang aku tonton. Padahal aku sering merasa kesal karena berpikir kenapa mereka tidak lari? Namun, pada akhirnya aku tahu kenapa mereka tidak berlari, dan aku mengalaminya sendiri.

Tunggu! Senyum itu, persis dengan sosok berbaju merah dengan senyum menakutkan! Astagfirullah! Kenapa sosok itu sampai di sini?!

Kaki dan tanganku rasanya lemas. Tubuhku luruh ke lantai dan gelas yang kupegang terlepas dari genggamanku. Bapak yang mendengar suara gelasku yang pecah bergegas menghampiriku. 

"Loh, Ndhuk! Kenapa?!" panik Bapak dan bergegas menghampiriku. Tapi aku hanya membisu kemudian sedetik kemudian aku sudah berada di pelukan Bapak yang hangat. Di situlah tangisku langsung pecah. Aku menangis sejadi-jadinya.

Kudengar Mbah yang baru saja selesai mandi juga menghampiriku dengan tergesa. "Nadia kenapa kok nangis?" tanyanya ke Bapak yang digelengi karena tidak tahu. "Nadia, kamu sama Mbah ya, biar Bapak bersihin pecahan belingnya." Aku mengangguk dan dengan sesenggukan mengikuti Mbah ke ruang tamu, duduk di kursi panjang sederhana buatan Bapak satu tahun silam, kursinya terbuat dari bambu, sehingga saat aku duduk terdengar suara berderit.

"Nad? kamu kenapa, Ndhuk?"tanya Mbah padaku yang sudah mulai tenang.

"Tadi jatuh, Mbah. Nggak apa-apa kok. Cuma kaget terus linu aja."

"Bener?" tanya Mbah memastikan yang aku angguki. Aku memang jatuh sih, jadi nggak sepenuhnya bohong. Tapi bagian aku melihat senyum negerikan itu tidak aku ceritakan, tidak ingin membuat Mbah khawatir.

Bapak datang membawa gelas dan ikut duduk di  kursi. "Ini diminum dulu teh angetnya." 

Aku mengangguk dan meminum teh yang Bapak buatkan. Rasanya manis dan hangat, melegakan tenggorokanku yang sebelumnya tercekat.

"Mbah mau matiin kompor dulu. Kamu mandi nanti agak siangan aja ya, Nad," ucap Mbah kemudian berlalu ke dapur.

Bapak yang diam kemudian bersuara memanggil namaku. "Nadia."

"Nggeh, Pak?" 

"Cerita sama Bapak, kamu kenapa beberapa hari ini?"

Aku mengembuskan napas panjang sebelum mulai berbicara. "Nadia lihat penampakan, Pak. Perempuan pakai baju merah, terus senyumnya menyeringai menakutkan. Terus juga alami hal-hal yang nggak masuk akal lainnya. Misalnya pas sepi, tapi rasanya ramai banget sampai bikin Nadia engap, terus denger suara orang kayaknya lagi ngaji tapi bacaannya nggak begitu jelas. Tapi pas Nadia lihat, nggak ada orang."

"Sebelumnya pernah alamin yang kayak gitu?"

Dengan gelengan kepala aku menjawab, "Nggak pernah, Pak. Tapi, beberapa hari yang lalu Nadia sempet mimpi aneh yang berulang tadi malem."

"Mimpi apa itu?"

"Mimpi kalau Nadia punya Kakak," ucapku yang direspon dengan keterkejutan Bapak.

Kenapa Bapak kaget gitu? Emangnya aku beneran punya Kakak?

***


Bạn đã đọc hết các phần đã được đăng tải.

⏰ Cập nhật Lần cuối: Feb 28, 2022 ⏰

Thêm truyện này vào Thư viện của bạn để nhận thông báo chương mới!

Teman ImajinasiNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ