Bagian 3 : Pulang

96 11 0
                                    

Bagian ini berkolaborasi dengan Nadanadana_

***

Aku tahu, hari itu aku mungkin dikira kesurupan, tapi aku saat itu dalam kondisi sadar. Sungguh.

Aku tau keadaanku sudah menghebohkan satu asrama. Aku berteriak bukan karena kesurupan, aku sadar apa yang telah terjadi kepadaku. Aku hanya ketakutan, tapi mengapa mereka mengira aku kesurupan?

Aku tak berani membuka mataku, perasaanku mengatakan bahwa sosok itu sekarang masih ada disini. bersamaku. Kenapa dia mengikutiku? Apa salahku? Apa aku mengganggunya? Fitri memegang tanganku dan Bunda membacakan ayat-ayat di telingaku.

Sesekali beberapa temanku yang lain beristighfar dan membaca ayat kursi. Mereka panik. Tapi ... tubuhku seperti dikendalikan oleh sesuatu. Aku tak bisa berhenti menangis. Aku mendengar Bunda menghubungi Ayahku, entah apa yang mereka bicarakan di sana, yang kutahu rasa takutku tak henti-henti menghantuiku.

Bunda menempelkan ponselnya di telingaku, kudengar suara Ayahku sedang melantunkan ayat kursi. Aku yang histeris tadi, kini perlahan mereda tenang. "Udah, Nduk, nggak ada apa-apa. Tenang, nggeh," ucapnya di seberang telepon.

Aku yang masih sesenggukan pun mengangguk.

Hingga adzan isya berkumandang, semua anak begegas untuk menunaikan ibadah. Tapi aku menarik lengan Fitri. "Kamu di sini aja, Fit, nemenin aku!" ucapku dengan terus memandang ke arah luar, aku merasakan Fitri mengiyakan permintaanku.

Keadaan hening, tapi telingaku berisik. Rasanya banyak orang yang berbicara dekat dengan telingaku. Lagi-lagi aku berteriak, membuat semua teman-temanku yang ada di ruangan sebrang berlari ke arah kamarku. Begitupun Bunda.

Malam semakin larut. Semua orang memutuskan untuk menemaniku di kamar, takut terjadi sesuatu kepadaku. Aku yang biasanya tidur paling ujung, kini tidur di tengah-tengah mereka.

Alhamdulillah, aku bersyukur memunyai mereka yang peduli padaku hingga aku bisa tertidur nyenyak.

***

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, Ayahku datang menjemputku dari asrama. Menaiki sepeda motor matic-nya, aku merasa damai bersama Ayah. Angin berembus menerpa wajahku yang kava helmnya sengaja tidak aku tutup.

"Nduk, piye kabare?" tanyanya dengan bahasa jawa menanyakan kabarku.

"Nadia baik-baik kok, Yah."

Kemudian keheningan terjadi, tidak ada percakapan sampai kami tiba di rumah.

"Mbah dimana, Yah?" tanyaku saat mengetahui rumahku sepi.

"Lagi jaga warung, Nduk. Kamu ndang masuk, terus istirahat," suruhnya yang aku jawab anggukan.

"CICI!" panggilku girang sembari memeluk boneka kelinci kesayanganku. Boneka yang sudah ada sejak aku kecil ini selalu menjadi pilihan favoritku. Walaupun mungkin sudah kempis dan sedikit pudar warnanya, tapi sampai sekarang Cici selalu menemaniku.

"Kamu apa kabar, Ci?" tanyaku bermonolog.

"Baik-baik aja, Nana," jawabku sendiri kemudian terkikik geli dan membawanya ke pelukan.

Kurebahkan tubuhku di atas kasur dan memejamkan mata. Aku pun tertidur dengan memeluk boneka kesayanganku, Cici.

Tidak ada yang aneh, sampai sebuah mimpi menghampiriku.

***

Teman ImajinasiWhere stories live. Discover now