Chapter 2

1.4K 221 35
                                    

Ayo votes dan comments biar aku semangat!^^

.

.

.

Detik itu pula dunia seakan bersabda, menerka dosa serta caci maki orang gila.

Intan mana yang pantas untuk bersedih hati?

Binar mata siapa yang terlewati?

Jika saja tanah dapat bertutur, maka intan tak akan terkubur—pun binar tak akan terguyur.

Terselubung di tengah goa—senyap, merekah indah bak kembang desa.

Lantas, apa arti lugunya cinta bila akupun berakhir menutup mata?

.

.

.

Namjoon menepuk-nepuk baju kaos berwarna cokelat tanahnya, mengerjapkan matanya beberapa kali hingga debu lemarinya dapat terbang pergi.

Terbatuk, Namjoon memandangi kembali hutan yang pernah ia singgahi.

Ia kembali, tanpa mengalami kesulitan sedikitpun, sempurna.

Apakah lemari mungilnya memang memiliki jalan rahasia? Atau lemari mungilnya menyublim hingga dirinya dapat memasuki 'dunia lain' ini?

Namjoon berderap, mencari keberadaan pemukiman yang begitu terlihat damai tersebut. Ditemani suara jangkrik pada malam hari, hingga suara bergemerisik tumbuhan yang diterpa angin sepoi.

Jika saja Hoseok disini, ia pasti sudah berteriak sekencang mungkin membangunkan seluruh makhluk hidup disini.

Namjoon begitu beruntung sahabatnya itu tidak akan bisa pergi menjelajah ke tempat ini.

Rasa penasarannya sungguh dapat menimbun semua ketakutan serta detak jantung yang terus menderu di dalam dadanya. Bagaimana jika Namjoon tak dapat kembali? Bagaimana jika ini merupakan dunia paralel?

Tapi, bagaimana pula Namjoon bisa mengunjunginya, sedangkan tidak dengan orang lain?

Benar saja, pemukiman itu masih berdiri disana—dengan kesunyian yang sama, dengan aura menenangkan yang masih dapat Namjoon rasakan layaknya tempo hari.

Ada beberapa orang yang berlalu lalang, beberapa membawa obor di tangannya, beberapa membawa—Namjoon tidak tahu barang apa yang sedang mereka bawa. Yang pasti, mereka semua berjalan menuju satu titik—sebuah gedung besar, seperti aula.

Apakah akan ada suatu perayaan?

"Siapa kau?"

Sontak Namjoon membalikkan badannya, seorang pria sedang memandangnya dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Namu?"

Namu? Siapa Namu?

"Kau!"

Seseorang berlari terbirit-birit kearah mereka, "Kemana saja kau pergi? Kau menghilang empat hari!"

4 hari?

UtopiaWhere stories live. Discover now