38. the Truth

828 102 0
                                    

38. Kebenarannya

"Apa kau sudah siap mendengar kebenarannya, Caroline?"

Caroline tidak menjawab atau membalasnya dengan reaksi apapun. Ia hanya menatap datar ke arah Nick yang kini tengah duduk di hadapannya.

Kini Caroline sudah berpindah ruangan karena Nick mengajaknya untuk pindah ke tempat yang lebih nyaman. Lelaki itu membawanya ke sebuah ... kamar? Ah, entahlah, memikirkan hal ini membuat Caroline jadi berpikiran aneh-aneh.

Mereka berdua sekarang duduk berhadapan dengan meja bundar yang menjadi penghalangnya. Di samping mereka, ada sebuah tungku api unggun yang menyala--membuat suasana menjadi lebih hangat. Nampaknya Nick benar-benar serius dengan ucapannya. Ia bilang, dirinya akan menceritakan semua kejadiannya.

Sebelum Nick kembali bersuara, Caroline lebih dulu menyela. "Di mana Sebastian?" tanyanya.

Tatapan Nick berubah menjadi dingin. "Kenapa? Apa urusannya denganmu?" balasnya, mencoba untuk tetap tenang.

Caroline berdecak. "Waktu itu kau memukulnya, kan? Jadi sudah jelas jika sekarang aku menanyakan keberadaannya."

Bibir Nick kian menipis. Kedua tangannya nampak mengepal di atas meja. "Dia hampir saja melukaimu. Kau lupa?"

Ucapannya mampu membuat Caroline bungkam. Jika saja Nick tidak menyelamatkannya waktu itu, mungkin Caroline tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya. Tapi, Caroline tahu bahwa Sebastian tengah hilang kendali. Itu tidak sepenuhnya salah dia. Caroline memaklumi hal tersebut.

"Di mana Sebastian sekarang, Nick?" Caroline memberanikan diri untuk kembali bertanya. Dan untungnya, Nick terlihat tidak marah kali ini.

"Aku sudah mengamankannya, kau tidak perlu khawatir."

"Kau tidak akan menyakitinya, kan?" tanya Caroline, lagi, membuat tatapan Nick kian menajam.

"Kau mencintainya?" Nick balik tanya. "Kau menyukai lelaki bodoh seperti itu, Caroline?" lanjutnya, membuat mata Caroline sontak membelalak.

"Dia tidak bodoh!" tukas Caroline seraya meninggikan nada bicaranya.

Nick tertawa renyah. Ia menegakkan posisi tubuhnya lalu melipat kedua tangannya di atas dada. "Kau belum menjawab pertanyaanku sebelumnya."

Caroline mengerlingkan matanya dengan jengah. "Itu tidak penting," balasnya singkat.

"Tapi bagiku penting." Caroline menaikkan salah satu alisnya, menunggu kalimat Nick selanjutnya. "Sebentar lagi kau akan menjadi istriku, Caroline. Kau harus tau itu. Aku tidak mau jika istriku nanti mencintai orang lain dan-"

"Istri? Maksudmu ... kita akan menikah?" potong Caroline yang langsung disambut dengan anggukan dari Nick.

Caroline tertawa kecil. "Kau bercanda?" tanyanya kemudian.

Nick menggeleng dan menjawab, "Bahkan Ayah kandungmu saja menyetujuinya. Ah, ralat, lebih tepatnya ... dia memang ingin kau menikah denganku."

Caroline menampilkan raut wajah bingung. Ia tidak mengerti dengan ucapan Nick kali ini. Ia bahkan masih belum percaya bahwa Xander adalah Ayah kandungnya.

"Jadi bagaimana? Kau mencintainya?" ulang Nick.

Caroline tersenyum kecil. Dengan berani ia menjawab, "Jika jawabannya iya, kau mau apa?"

Mendengarnya, Nick menyeringai. "Aku akan segera membunuhnya."

Tubuh Caroline seketika menegang. Ia menatap Nick tanpa mengerjap.

"Kau hanya milikku, Caroline. Hanya milikku," ucap Nick penuh dengan penekanan.

Caroline menggeleng lalu bangkit dari duduknya. "Aku tidak akan pernah mencintai, apalagi menikah dengan orang sepertimu!"

Nick ikut merubah posisinya menjadi berdiri. Ia berjalan mendekati Caroline dan meraih salah satu tangannya lalu mencengkramnya dengan erat. "Kau tidak bisa menolaknya. Kau pasti akan menikah denganku. Hanya denganku," desis Nick.

Caroline memberontak untuk melepaskan cengkraman Nick di tangannya namun tidak bisa. Ia menatap Nick dengan tajam. "Aku tidak percaya bahwa kau bisa sejahat ini, Nick," imbuhnya kemudian.

Nick tersenyum bangga. "Selama ini aku hanya bisa diam, Caroline. Tapi kali ini, Aku tidak bisa diam lagi. Aku tidak tahan lagi melihat kau terus berduaan bersama lelaki lain, sementara denganku tidak. Aku sudah lelah memperhatikanmu dari kejauhan secara terus-terusan. Aku sudah lelah karna terus bertahan untuk tidak mendekatimu, sementara lelaki brengsek seperti Brent bisa dengan seenaknya menyentuhmu," jelas Nick, mengutarakan seluruh isi hatinya.

"Apa karna itu, kau membuatku menjadi menuduh Brent atas semua masalah yang terjadi? Kau membuat semua bukti terarah kepadanya? Agar aku membenci dan menjauhinya?"

Tanpa ragu, Nick menganggukkan kepalanya. "Sebenarnya, Aku juga yang menabrak Ibunya waktu itu. Dan nampaknya takdir berpihak kepadaku sehingga waktunya bisa sangat tepat," balasnya, kembali menyungging senyum.

"Kau ... kau yang menabrak Ibu Brent sehingga dia di rawat di Rumah sakit?" Caroline menggeram ketika dengan tanpa bersalahnya, Nick mengangguk.

Tanpa berpikir panjang, Caroline mengangkat salah satu tangannya untuk menampar Nick namun tertahan ketika lelaki itu lebih dulu menahan pergerakannya.

"Apa kau mau melihat sesuatu yang lebih menakjubkan?" Nick bertanya seraya tersenyum kecil, membuat Caroline menatapnya dengan penuh curiga.

"Ayo ikut aku."

Tanpa menunggu persetujuan dari Caroline, Nick langsung menariknya untuk keluar dari ruangan tersebut dan membawanya ke ruang bawah tanah. Hal ini membuat Caroline sadar, bahwa rumah ini cukup besar dan luas--bahkan hampir setara dengan rumahnya. Tetapi yang membedakannya adalah, di sini cahaya penerangannya cukup minim ditambah hawanya yang begitu dingin.

Bau busuk dan darah kini mulai menyeruak ke dalam indra penciuman Caroline. Ia bergidik ngeri ketika sadar bahwa Nick tengah mengajaknya ke penjara bawah tanah.

Ruangan yang dipenuhi dengan jeruji besi ini terlihat begitu menyeramkan di mata Caroline. Karna minimnya pencahayaan, dan baunya yang sangat---argh, menjijikan.

"Kau mau membawaku ke mana?" tanya Caroline ketika Nick belum juga menghentikan langkahnya.

"Sudah sampai," jawab Nick, sukses membuat langkah Caroline terhenti.

Gadis ini mengernyit ketika di hadapannya terdapat sebuah penjara, yang isinya adalah sesosok wanita-- tengah duduk membelakanginya. Wanita itu nampak seperti ... orang gila? Maybe. Caroline dapat berasumsi seperti itu karna dilihat dari penampilannya yang sangat berantakan. Ditambah lagi, darah berceceran di mana-mana. Ah, apakah wanita itu adalah seorang vampier?

"Siapa dia?" Pertanyaan Caroline tidak dijawab oleh Nick, tetapi malah membuat wanita itu membalikkan badan karna terusik dengan suaranya.

Deg

Nafas Caroline tercekat. Detak jantungnya seakan terhenti. Kini ia dapat melihat wajah dari wanita itu yang tak lain adalah ...

"Mom?"

Caroline menutup mulutnya tak percaya. Wanita itu adalah Loren--Ibu kandungnya. Walaupun penampilannya sangat berbeda sekarang, tapi Caroline masih mengenali sosok itu. Wanita itu adalah Ibunya. Wanita itu adalah sosok yang ia kira telah meninggal di dua tahun yang lalu.

Caroline menjerit kecil ketika tiba-tiba wanita itu berlari mendekatinya dan hendak menerjangnya jika jeruji besi tidak terpasang untuk menghalanginya. Melihat hal tersebut, Nick menarik Caroline ke dalam pelukannya. Ia dapat merasakan bahwa tubuh gadis ini tengah bergetar. Apakah ia salah karna telah mengajak Caroline ke sini? Tetapi bagaimanapun juga Caroline harus mengetahui kebenaran bahwa sebenarnya Ibunya itu masih hidup.

"Ibu ..." Caroline terisak di dalam dekapan Nick. Matanya mengintip ke arah wanita tadi, yang kini masih berusaha untuk terus menggapainya.

Wanita itu nampak tidak mengenalinya. Tatapannya sama dengan tatapan Sebastian, tatapan saat lelaki itu kehilangan kendali. Apakah ini artinya ... ibunya itu telah berubah sosok menjadi vampier? Apa Ibunya adalah seorang vampier?

______________________________

Call Me, Sebastian [END]Where stories live. Discover now