Part 18

37 5 0
                                    

Tak perlu menunggu lama, hari Selasa sudah tiba dan aku harus menghadiri pesta syukuran sinetron kami sudah kelar dan siap luncur ke stasiun TV swasta. Mobil merah Richard sudah menunggu di luar. Dengan cepat aku berjalan keluar. Aku memakai gaun warna kuning emas yang dibelikan Richard. Aku sama sekali takkan memakai gaun kalau bukan acara resmi seperti ini! Ribet banget.

"Hai. Kamu tampak cantik banget," puji Richard. Wajahku merah.

"Thanks," balasku.

"Yuk berangkat," ajaknya. Aku mengangguk dan masuk dalam mobil.

*******************

"Aduh, biasa aja gitu. Kan sinetron-sinetron saya emang semuanya laris gitu loh," ujar Mischa pada salah satu wartawan infotaiment.

"Lalu bagaimana dengan isu yang mengatakan anda gay?" tanya wartawan lagi. Mischa langsung pura-pura sakit perut dan menghindar. Aku tertawa. Tak sadar seorang wartawan mencolek bahuku.

"Yang namanya Rensi mana ya?" tanyanya.

"Itu saya," akuku. Semua wartawan langsung menyerbuku.

"Oh, Rensi ya, Rensi... Rensi!" banyak suara yang membuatku seakan tertelan.

"Apa benar Anda pacaran dengan aktor Richard Geofani?" tanya seorang.

"Ehm... no comment," jawabku.

"Bagaimana dengan hubungan Anda dengan aktor papan atas Arnold Imawan? Saya dengar Anda juga sempat berhubungan?"

"Maaf, no comment," ujarku lagi.

"Mbak, tolong jawab donk," desak wartawan itu.

"Iya, iya! Jawab," teriak mereka. Aku jadi kewalahan.

"Setiap orang berhak untuk tidak menjawab pertanyaan kalian," ujar seseorang. Arnold! Ia berdiri di depanku dan menarikku keluar dari kerumunan.

"Arnold, Arnold! Jawab donk," teriak mereka sambil mengejar kami. Kamipun berlari dan bersembunyi di dekat WC cewek.

"Apa kamu nggak tahu kamu udah jadi gosip di berbagai media massa?" tanya Arnold kesal, "sebaiknya jangan ngaku."

"Aneh banget sih, aku kan bukan artis," keluhku, "lagian kemarin kan udah aku jawab di konferensi pers! Serakah amat!"

"Eh, sori," ujar Arnold, sadar bahwa masih menggenggam tanganku. Aku menatapnya. Ia kelihatan kikuk dan dingin.

"Sebaiknya aku kembali lewat belakang," ujarnya.

"Tunggu!" cegahku.

"Ada apa lagi?" tanyanya.

"Apa kita nggak bisa berteman lagi seperti dulu? Kenapa kamu menghindari aku?" tanyaku.

"Seharusnya kamu bisa jawab pertanyaan itu sendiri," jawabnya kesal.

"Maafkan aku," bisikku.

"Nyatanya kamu lebih memilih cowok yang nggak tegas itu! Padahal udah jelas aku yang lebih mencintai kamu," ujarnya.

"Oh ya? Atas dasar apa kamu mengatakan hal itu?" tantangku. Arnold tidak menjawab. Ia menarik tanganku kuat-kuat dan membawaku masuk lagi lewat belakang. Tiba-tiba dia berhenti.

"Apa sih?" tanyaku kesal.

"Ssst," bisiknya sambil menunjuk ke depan. Aku terbelalak kaget. Aku melihat Richard dan Nita berduaan. Mesra lagi! Aku melepaskan tanganku dari genggaman tangan Arnold dan berlari. Arnold mengejarku.

"Nggak ada gunanya nangis," ujarnya.

"Aku nggak nangis," bohongku sambil mengelap mataku.

"Udahlah," bisiknya.

"Kenapa kamu kejam banget sih? Kenapa kamu nunjukin aku hal yang paling nggak ingin aku lihat?!"

"Jadi kamu memilih dibohongi terus daripada melihat semuanya tadi?" tanya Arnold heran, "kamu harus bisa nerima kenyataan! Richard masih suka sama Nita, walaupun juga suka sama kamu. Apa kamu mau terus mengharapkan dia?" aku tertegun. Dan terdiam. Arnold memelukku.

"Sudah, diam," ujarnya, "jangan nangis."

"Dasar bego, aku nggak nangis kok," bisikku, tapi aku tidak melepaskan diri dari pelukannya.

Scenario WriterWhere stories live. Discover now