Part 1

135 12 0
                                    

Aku menatap gadis yang beruntung itu. Aktor tampan di depannya memeluknya dengan erat. Ah, betapa beruntungnya gadis itu. Seharusnya yang berdiri di situ bukan gadis itu, melainkan... aku. Ah, cukup berandai-andainya. Memang aku ini tidak cocok berada di tempat gadis itu. Tubuh seksi, wajah cantik, pintar acting, semua tidak ada padaku. Jelas. Aku hanya seorang penulis skenario beruntung yang skenarionya bisa diterima di stasiun TV swasta.

Memang gampang membuat cerita cinta. Menurutku. Dan semua cerita-ceritaku diangkat sebagai skenario sinetron-sinetron papan atas di TV swasta. Memang menulis itu gampang. Tapi tidak dengan mangalaminya sendiri. Aku hanya mampu berandai-andai bahwa suatu hari aku adalah tokoh utama dalam ceritaku sendiri. Semuanya fiksi. Bohongan. Bukan pengalaman pribadi. Sama sekali. Apanya yang pengalaman pribadi? Merasakan cinta saja aku tidak pernah. Aku hanya memiliki daya imajinasi tinggi, dan ting tong, ceritakupun menjadi sebuah sinteron laris. Seperti saat ini. Aku diikut sertakan dalam pembuatan film layar lebar pertama yang menggunakan ceritaku. Entah apa yang kulakukan di sini. Hanya berangan-angan bahwa suatu hari aku akan menjadi tokoh utama dalam cerita itu? Ah, tidak, tidak. Tidak mungkin.

"Hai, Ren, lagi ngapain sih? Bengong aja? Gimana, suka nggak sama acting aku?" tanya sebuah suara. Nah, inilah satu-satunya orang yang mengerti aku. Sahabat terbaikku, Richard. Aktor ganteng yang menjadi tokoh utama film ini. Sejujurnya, walaupun dia tidak tahu, aku selalu mengharapkan lebih darinya.

"Bagus," jawabku dingin. Ah, selalu saja sikapku dingin. Aku memang bukan gadis yang menarik. Memang fisikku tidak seberapa jelek, tapi sikapku terhadap lawan jenis, itu yang membuatku muak. Setiap kali ada yang mendekatiku, aku akan memasang sikap sedingin es. Entah kenapa hanya Richard yang mampu bertahan dengan sifatku itu. Dan akupun memilihnya sebagai salah satu pria yang mampu meluluhkan hatiku. Walaupun begitu, aku tetap tidak bisa bersikap hangat.

"Ah, masa cuma bagus aja sih? Antusias dikit, donk, ini kan film kamu yang pertama!" ujarnya sambil menyodorkan sekaleng jus.

"Bukan filmku, aku cuma penulis skenarionya," ralatku sambil menerima jus itu, "thank's."

"Ya, ya, oke, aku salah," jawabnya lalu tertawa. Tiba-tiba seorang gadis mendekati kami. Ya, siapa lagi kalau bukan Yunita.

"Hai, hai, ngomongin apa sih? Nimbrung donk?" ujarnya manis seraya duduk di sebelah Richard. Richard tersenyum dan memeluk lengan Yunita. Nita, begitulah ia dipanggil, atau 'sayang', itu panggilan Richard untuknya. Aktris papan atas yang juga merupakan tokoh utama film ini. Selain itu, dia juga kekasih Richard. Tokoh utama dalam kehidupannya sendiri. Mereka dinobatkan sebagai pasangan terkeren tahun ini oleh salah satu program infotaiment stasiun TV swasta. Bagus, hebat! Apa lagi yang dapat kukatakan?

"Biasalah, Sayang. Si Rensi nggak semangat. Seperti biasa," ujar Richard sambil menatapku dalam-dalam.

"Oh ya? Aduh Rensi sayang, jangan gitu donk! Sebagai penulis skenario, kamu harus lebih... menjiwai... menjiwai..." bisiknya. Aku mendengus. Yang harusnya menjiwai itu kamu! Bukan aku! Kan kamu yang terima honor buat 'menjiwai' ceritaku!

"Eh, udah ah, kita udah dipanggil tuh," ujar Richard sambil menarik lengan Nita.

"Byee..." ujarnya manis lalu mengikuti Richard. Ah, muaknya! Mungkin sikap itulah yang membuatnya menjadi aktris papan atas saat ini!

"Nic, aku boleh jalan-jalan kan?" pamitku pada sang sutradara, Nico. Nico sudah seperti saudaraku sendiri, saking seringnya kami bekerja sama dalam pembuatan film. Untuk cowok satu ini, aku tidak menampakkan sikap 'es'-ku, karena kalau begitu, maka kerja sama pasti akan gagal. Dan alasan lainnya mengapa sikapku tidak dingin padanya adalah... dia gay.

"Ah, boleh aja. Aku tahu kamu pasti bosen! Tapi jangan jauh-jauh ya, kamu tahu kan, ini studio yang terkenal sama artis-artis papan atas. Jangan sampe deh, kamu diusir sama mereka. Biasa, artis papan atas kan belagu! Ati-ati ya! Oke, take!" ujarnya lalu berteriak pada si pemegang kamera. Tanpa basa-basi lagi aku segera pergi dari lokasi syuting itu. Huh, membosankan. Buat apa sih aku di sini? Kenapa aku menerima tawaran Nico untuk menyaksikan pembuatan film? Padahal biasanya nggak pernah. Apalagi menyaksikan acting mesra Richard dan Nita. Urrghh...

"Kalo udah gini, mendingan aku pulang. Tapi apa nggak sebaiknya ijin dulu? Ehm, nggak usah deh. Gimana kalo ke supermarket dulu?" pikiranku tiba-tiba penuh. Itu yang kulakukan kalau sedang nganggur. Berpikir tentang banyak hal. Tiba-tiba, BRUK!! Aku menabrak sesuatu hingga mental ke lantai. Ehm, bukan sesuatu. Seseorang!

Scenario WriterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang