Part 11

39 6 0
                                    

Aku memandangi mobil-mobil yang lewat. Bus masih satu jam lagi lewat. Kenapa hidup begitu susah dijalani? Aku tahu aku nggak menarik dan gadis yang hanya bisa menumpahkan khayalan cerita cinta dalam skenario. Sementara dalam kehidupan sebenarnya, aku hanya pecundang. Tanpa sadar airmataku mengalir turun. Aku memandang ke kiri kanan. Sepi. Ah, nggak papa. Nangis di sini, pasti nggak ada yang bakal tahu, pikirku. Yang keras aja sekalian.

Ketika asyik-asyik menikmati nangis sendirian, tiba-tiba aku melihat sepasang kaki berdiri di depanku. Aku menatap ke atas.

"Ka... Kamu," aku gelagapan sambil menghapus airmataku dengan tangan.

"Nih," Arnold menyodorkan saputangan ke arahku. Aku menerimanya ragu-ragu, tapi akhirnya kuputuskan menggunakannya. Arnold duduk di sebelahku.

"Apa enak nyembunyiin perasaan dari orang lain?" tanyanya, "tapi tanpa cerita pun aku tahu ini semua masalah Nita dan Richard."

"Nggak usah sok tahu, deh," ujarku sambil mengembalikan saputangan itu kepadanya.

"Gila apa? Kan kotor!" jerit Arnold, "ambil aja!"

"Eh, kalo jijik kenapa kasih ke aku?" tanyaku kesal. Kesedihan berubah jadi kekesalan.

"Ya... Ya... karena aku kasihan ngeliat kamu! Kasihan banget sih, nangis di halte sendirian, cuma gara-gara cowok, yang udah punya cewek!" jawabnya. Aku melotot.

"Aku nggak perlu dikasihani!" teriakku, "aku kira kamu bisa ngerti perasaanku!"

"Ren! Rensi!" panggil Arnold, tapi busku sudah datang.

********

"Aku minta maaf soal yang kemarin," ujar Arnold esoknya.

"Hah? Yang mana? Sudah lupa tuh," bohongku. Tapi nadaku tetap dingin.
"Aduh, udah, deh, nggak usah sok lupa!" ujarnya, "pokoknya ntar pulang, aku mau nraktir kamu sebagai tanda permintaan maafku."

"Nggak perlu," jawabku.

"Eh, nyebelin banget sih? Kan aku udah minta maaf?" ujar Arnold.

"Ya udah kalo nggak suka," jawabku dingin, "lakuin aja tugas kamu sebagai aktor. Nggak perlu peduliin aku lagi!" Arnold terdiam.

"Mana mungkin?" ujarnya tiba-tiba, "aku nggak akan bisa ngelupain kamu."

"Napa? Toh kamu cuma kasihan," sindirku.

"Ren... Aku... sebenernya sejak kejadian di backstage itu... aku... aku suka sama kamu," ujarnya.

"Dialog bagus, tapi aku bisa melihat 100% kebohongan di dalamnya," ujarku kesal.

"Nggak, Ren, aku serius. Aku suka sama kamu. Suka banget. Mau kan kamu jadi pacar aku?" tanyanya.

"Kamu lagi bercanda kan? Atau akting?" tanyaku heran. Wajahku pucat.

"Nggak. Aku serius. Gimana?" tanyanya.

"Gimana ya... aku..." aku terdiam, "kayaknya aku nggak bisa. Kamu tahu kan perasaanku? Dan sama siapa aku suka saat ini," lanjutku.

"Oke. It's allright," jawab Arnold, "udah deh, nggak usah pikirin lagi. Anggap aku nggak pernah mengatakan apa-apa."

"Eh, Arnold!" panggilku. Arnold menoleh. Sorry, it's could be the hardest word now... Aku menatapnya dalam-dalam.

"Sorry," akhirnya aku mengatakannya. Arnold menggeleng lalu berjalan pergi. Tapi aku tahu egonya terluka. Haloo, Rensi, kamu nggak papa? Aktor papan atas paling terkenal seantero negri baru nembak kamu dan kamu malah nolak dia? Kamu masih mengharapkan Richard yang udah ada pemiliknya? Please... No. No. Gimanapun aku nggak boleh menipu perasaan Arnold. Aku emang nggak ada perasaan spesial sama dia. Emang bukannya nggak ada sama sekali. Dia cakep dan pernah nyelametin nyawaku, tapi... ??

Scenario WriterWhere stories live. Discover now