Part 4

52 10 0
                                    

"Nggak usah dipikirin lah, Ren," tiba-tiba Nita sudah duduk di sebelahku dan menyodorkan sekaleng coke.

"Thanks," jawabku pelan, "I'm okay."

"Mereka tuh emang gitu. Artis yang udah naik daun kebanyakan belagu. Sutradaranya apalagi," ujar Nita.

"Tapi kamu dan Richard nggak," pujiku. Nita tersenyum.

"Nggak usah muji gitu deh," ujarnya malu, "eh, bentar ya, aku mau di make-up," pamitnya. Aku mengangguk. Duduk sendirian, aku meminum coke-ku.

"Awas! Jangan minum!" teriak seseorang. Aku hampir memuntahkan isi mulutku, tapi terhenyak ketika memergoki Arnold, ketawa-ketiwi di depanku.

"Coke bisa buat kamu gendut," ujarnya sambil melemparkan sekaleng jus padaku.

"Kamu nggak di make-up?" tanyaku dingin. Cara sopan untuk mengusir. Aku tidak punya cukup kesabaran untuk berhadapan dengan orang seperti dia. Apalagi dia lawan jenis.

"Kenapa? Ngusir ya?" tanyanya sambil duduk di sebelahku. Aku terdiam sambil bergeser menjauh darinya.

"Anti sama aku gara-gara kejadian waktu itu?" tanya Arnold lagi, "sori deh, aku bener-bener nggak tahu kalo kamu itu Rensi. Aku pikir kamu fansku!"
"Oke, sekarang kamu udah tahu kan," ujarku, berharap dengan sikap dingin dan tak acuhku, dia cepat pergi.

"Ya, ya, aku pergi deh. Aku cuma mau bilang satu hal. Kalo kamu terus-terusan mengkritik aktingku," ia meremas kaleng jusnya yang sudah kosong, "aku bisa berhenti." Lalu dibuangnya kaleng itu di depanku. Dasar aktor belagu! Aku menendang kaleng itu. Untung Arnold sudah pergi.

********

Kelar syuting hari itu, aku bersiap-siap untuk pulang ketika Nita menepuk pundakku.

"Naik apa?" tanyanya.

"Oh, bareng sama kru yang lain. Turun di halte," jawabku.

"Aduh, ribet amat! Bareng aja, yuk. Ntar lagi juga Richard jemput kita," tawar Nita. Ekspresiku langsung berubah. Bareng Richard... Mampukah aku pulang bareng sama orang yang kusukai, plus pacarnya?? Kayaknya... aku tidak cukup tegar.

"Ehm, nggak usah deh, Nit. Arah rumah kita beda, kan..."

"Nggak papa lah, Ren! Kan kita sahabatan?" paksanya, "ayolaah..."

"Aduh, sori, Nit, aku lagi pingin pulang naik bus," jawabku akhirnya. Skak mat, tidak ada cara lagi untuk memaksaku. Akhirnya Nita mengangguk dan meninggalkanku. Seandainya saja bener kata Nita kalau aku dan mereka 'cuma' sahabatan. Sayangnya, tidak.

"Ayo, Non, kita pulang," ajak tukang make-up.

"Ehm, iya, bentar, aku mau beres-beres," jawabku. Dengan cepat aku memasukkan skenarioku dan berlari menyusul mobil van yang tidak seberapa bagus itu. Dari sana, aku juga turun di halte dan mesti naik bus lagi. Memang lebih enak ikut Nita tadi... tapi... Huh, sudahlah!

"Permisi," ujarku. Mischa berdecak.

"Aduh, udah penuh gini! Mana bisa nambah satu orang lagi?" tanyanya. Sang sopir mengangkat bahu.

"Udah deh, you naik taksi aja sana!" usir Mischa.

"Tapi..."

"Udah deh, pokoknya hari ini kamu nggak bisa ikut kita! Penuh! Besok aku bakal minta sopir si bos yang jemput. Oke? Pulang sendiri. Bye," teriaknya dari jendela sementara mobil itu melaju. Hah? Tega amat sih, dia?

Aku berjalan ke halte yang cukup jauh itu. Akhirnya sampai juga! Fiuuh... aku mengelap keringatku yang sudah menetes di dahiku. Mischa bener-bener keterlaluan! Pokoknya aku harus melapor ke production house! Ini benar-benar tidak dapat diterima. Apa ini yang dirasakan oleh pemula? Hah, mungkin sebenarnya terjun di dunia broadcasting bukan ide yang baik... Tiba-tiba aku melihat sedan hitam. Nah, itu musuhku. Siapa lagi kalau bukan Arnold. Kayaknya dia melihatku deh. Tapi dia pura-pura tidak melihat. Malah ngebut di depanku. Ya ampun... menyebalkan sekali sih! 

Scenario WriterDonde viven las historias. Descúbrelo ahora