Tentu Langit tersentak. Dengan tangannya Langit mendorong kepala Lila agar menjauh. "Sono ah."

"Ih Langit... gue kangen kayak gini sama lo. Kangen banget banget banget," aku Lila.

"Inget ga? Kalo gue lagi sedih, lo pasti peluk gue. Lo hibur gue. Lo bikin gue ketawa, abis itu ajak gue jalan-jalan beli makanan." Lila mengenang masa lalu mereka.

"Gue selalu diperlakuin kayak Princess sama lo. Beruntung banget ya gue?" lanjut Lila, mengukir senyum miris.

Kini Lila meraih lengan Langit untuk dipeluk. "Lo selalu jaga gue, Ngit. Lo ga pernah macem-macem."

"Gue nyesel kenapa dulu harus ketemu Bastian," lirih Lila. "Sumpah, senyesel itu...."

Langit sudah tidak nyaman karena Lila grepe-grepe tangannya terus, sekarang ditambah dengan topik yang Lila bawa. Kenapa harus membicarakan itu, padahal ada banyak bahan untuk dibahas yang jauh lebih penting dari hubungan mereka di masa lalu.

Lila makin mengeratkan pelukan pada lengan Langit. Ia berbisik rendah, "Kalo bisa, gue pengen banget kita kayak dulu lagi."

"Ga bisa." Langit menyahut tanpa basa-basi.

Jantung Lila auto berdentum kencang. Ucapan Langit hanya dua kata, tapi cukup menghunus dada Lila bagai panah.

Sambil menatap wajah Langit dari samping, Lila bertanya, "Kenapa ga bisa?"

"Udah beda," cetus Langit, ucapannya memiliki arti luas.

"Tapi ga ada salahnya kita ulang lagi, kan?" Lila masih berharap.

"Salah." Langit menyahut lagi, dan lagi-lagi bikin Lila hampir jantungan.

"Kenapa sih, Ngit?" Lila kembali sedih, ia ditolak mentah-mentah oleh Langit dan ini rasanya sakit sekali.

"Kenapa apa? Lo udah tau jawabannya, ga usah nanya lagi." Langit membalas terkesan jutek.

Iya, Lila memang tau masalah mereka sejak dulu masih seputar Bastian. Mereka putus karena Lila lebih memilih Bastian saat dirinya dan Langit masih menjalin status pacaran.

Sejak saat itu Langit enggan menghubungi Lila lagi. Langit mengikhlaskan hubungan mereka usai dan membuat kesepakatan untuk saling hapus kontak.

Bukannya Langit bertingkah kekanakan karena menghapus kontak. Tapi itu ia lakukan untuk membantunya merelakan Lila lebih cepat.

Satu lagi, Langit sudah tidak bisa percaya pada Lila. Langit meragukan kesetiaan Lila semenjak cewek itu mengkhianatinya. Bahkan Langit enggan memberi kesempatan kedua.

"Gue salah pernah sia-siain lo. Gue minta maaf," ungkap Lila.

"Iya." Langit berucap.

"Lupain, Ngit...," ujar Lila. "Kita bisa balik lagi kayak dulu sebelom ada Bastian. Kita bisa bahagia bareng lagi. Gue yakin, gue bisa setia sama lo. Gue udah trauma banget gara-gara Bastian. Gue ga bakal berulah lagi."

"Ga bisa. Gue ga mau," sahut Langit.

"Lo mau. Lo cuma ga siap bilangnya, kan?" sambar Lila.

Sekarang Langit menatap Lila walau hanya sekian detik, tatapannya pun sengit. Ia tak habis pikir kenapa Lila bisa berpikir seperti itu. Padahal pemikirannya sama sekali tidak benar.

"Gue ga mau. Kalo gue bilang ga mau, ya ga mau. Lo ga bisa ngelak omongan gue," seloroh Langit, semakin jengkel.

"Tapi masa ga ada kesempatan buat gue, Ngit?" Lila menatap Langit sendu.

"Lo ga mau bantu gue biar ga trauma lagi? Bantu gue biar ga ketakutan lagi? Lo ga mau?" Lila berkaca-kaca lagi.

"Gue ga bisa," ujar Langit. "Gue paham lo lagi gimana sekarang, tapi bukan berarti gue harus turutin semua yang lo mau."

ALAÏA Where stories live. Discover now