2 | Dandelion

240 23 5
                                    

Dandelion terdiri atas sekumpulan biji yang memiliki sayap tipis. Biji dandelion akan terbawa angin ke tempat yang jauh dan tumbuh kembali menjadi tanaman yang baru. Dandelion hampir dapat tumbuh dimana saja. Oleh karena itu, bunga ini bermakna keberanian dan kekuatan.

•••

Samar-samar, Suma mencium wangi maskulin yang sudah akrab di hidungnya. Kemudian, ia membuka mata perlahan. Pemandangan pertama yang dilihatnya adalah dinding yang penuh dengan kertas berisi macam-macam coretan, entah itu hafalan materi kuliah, memo, atau pun to-do-list. Sekarang Suma bisa bernapas lega setelah menyadari dirinya telah tiba di rumah. Pandangannya kembali menyapu seisi kamar, lalu terhenti saat ia melihat seorang lelaki dengan setelan kemeja putih dan celana kantoran tengah membereskan meja belajarnya.

"Mirza?"

Lelaki itu sedikit terkejut, lantas bergegas mendekati Suma. Ah, seharusnya Suma tidak perlu ragu. Jelas itu Mirza, bahkan dari wanginya saja sudah ketahuan.

"Udah enakan?" tanya Mirza seraya membantu Suma bangkit dari tidurnya. Ia lalu ikut duduk di ranjang yang sama hingga posisinya kini berhadapan dengan Suma.

Suma memandangi wajah laki-laki itu. Rambut hitam Mirza disapu ke atas dengan rapi sehingga memperlihatkan dahinya yang kini berkerut khawatir.

"Udah," Suma mengangguk seperti anak kecil yang justru dibalas jitakan kecil oleh Mirza.

"Kamu itu udah mulai demam dari kemarin, sekarang malah alerginya kambuh. Jaga diri yang baik dong, biar aku juga jadi nggak kepikiran."

Raut Suma berubah masam, "Iya Bapak Mirza, jangan dimarahin dong pasiennya."

"Oh iya, tadi yang anter kamu pulang ada Anggi sama—" Mirza mencoba mengingat-ingat, "—temenmu yang sering bilang aku mirip sama Kapten Ri siapa namanya?"

Sontak Suma tergelak hebat. Orang yang dimaksud Mirza tidak lain dan tidak bukan adalah Sulis. Cewek itu hobi banget nonton drama Korea. Sudah dua bulan dia belum move on dari Crash Landing On You. Katanya, pemeran utama pria di serial televisi Korea itu mirip Mirza. Kadang Suma sampai ngeri sendiri melihat betapa tergila-gilanya Sulis sama tokoh Ri Jeong Hyeok. Ngeri kalau tiba-tiba Mirza diembat!

Jujur saja, Mirza memang memiliki rahang dan tulang pipi yang tegas. Tulang hidungnya juga tinggi. Dia punya alis yang tebal, sedangkan matanya sedikit sipit. Secara keseluruhan, wajah lelaki itu bisa dibilang sangat manly. Tidak beda jauh dengan penilaian Sulis, walaupun Suma sering menyangkal karena takut cewek itu semakin tertarik pada Mirza.

"Siapa?" Mirza kembali menuntut jawaban.

"Suliiiis," jawab Suma penuh penekanan.

Mirza mengangguk-angguk. Senyumnya tidak kunjung lepas. Tatapan Suma berubah sinis saat menyaksikan ekspresi ganjil pria 26 tahun itu. Jangan-jangan Mirza senang dipuji ganteng sama Sulis.

"Ah, kamu beneran mirip sama male lead-nya CLOY," keluhnya frustrasi.

Kini gantian Mirza yang tertawa, "Lho, kenapa emangnya?"

"Kamu pulang dari sini pake masker, ya? Drakornya masih booming nanti banyak yang keganjenan sama kamu."

"Hahaha lebay!"

Kendati demikian, pada akhirnya Mirza menuruti apa kata Suma. Ia benar-benar kembali ke kantor dengan mengenakan masker, padahal membawa mobil.

Mirza bekerja di salah satu perusahaan pengembang yang berdomisili di Yogyakarta. Perusahaan itu mengelola proyek seperti pusat perbelanjaan, perkantoran, kompleks, kawasan industri, hingga hotel. Tidak bisa dipungkiri bahwa Mirza betulan berkompeten dalam bidang tersebut, tetapi privilege bagi garis keturunan konglomerat dan pemilik wajah tampan seperti dirinya memang bukan sekadar omong kosong.

Mirza
Td ada 1 cowo lg yg anter kamu pulang
Dia cuma nunggu di mobil, aku gak tau namanya siapa

Satu notifikasi WhatsApp masuk ke ponsel Suma. Ah, benar! Sekarang ia teringat dosa yang dilakukannya di toilet Fikom. Salah masuk toilet, lalu menabrak dan mengotori pakaian seorang cowok dengan muntahannya. Astaga, rasanya Suma mau menghilang saja dari muka bumi.

Tunggu.

Tapi apa mungkin cowok malang itu yang berbaik hati mengantar Suma pulang?

***

Karang terpaksa pulang naik motor tanpa jaket. Kulitnya seperti terbakar saking teriknya matahari siang itu. Kalau tidak pingsan, cewek sinting tadi pasti sudah ia paksa untuk mencuci jaketnya. Saat pertama kali bertemu di acara kunjungan BEM, Karang mengira Suma tipe cewek kalem yang aktif organisasi. Kesan baik itu langsung sirna pada pertemuan mereka yang kedua. Sekarang coba sama-sama kita renungkan, cewek kalem mana yang sembarangan masuk toilet cowok terus muntah di depan orang asing?

"Anaknya udah sampe rumah. Gue liat tadi ada abangnya, jadi gue langsung balik," lapor Remi begitu mengunci mobilnya.

"Thanks, Bro." Karang yang tengah duduk santai di teras rumah langsung menyodorkan rokok.

Remi mengambil satu batang dengan senang hati lalu menyulutnya. "Lo kenal sama cewek tadi?"

"Anak BEM fakultas sebelah."

Gerakan Remi terhenti, rokoknya tertahan di depan mulut. Ia menghujami Karang dengan tatapan curiga. "Kok bisa kenal? Kok peduli banget?"

Karang yang tidak suka diintimidasi spontan menjauhkan badannya dari Remi sambil bergidik ngeri. Sahabat sekaligus wakilnya di BEM itu seringkali membuat Karang merasa tidak nyaman karena sifat keponya.

"Udahlah, gue mau ngomong serius, nih," ujar Karang.

"Seneng, deh, diseriusin sama Kabem."

"Anjing jauh-jauh lo!"

Masalahnya di rumah ini hanya ada mereka berdua. Karang lebih takut sama Remi kalau udah jadi banci daripada sama preman yang badannya kekar.

Omong-omong, Karang sudah memutuskan untuk tinggal terpisah dari kedua orang tuanya sejak dua tahun lalu. Sejak papanya yang menjabat sebagai rektor di kampusnya kepergok bermalam di hotel dengan wanita lain, dan sejak mamanya semakin materialistis tiada obat. Sekarang, ia menempati bekas rumah saudaranya yang sudah menikah dan kini tinggal bersama suaminya di luar kota.

"Serius," ucap Karang tidak main-main. "Ada 3 pejabat yang korupsi di fakultas kita."

Remi mendelik kaget. "Atas dasar apa lo ngomong begitu?"

"Papa gue udah ngaku. Lo tau sendiri gue punya kartu AS dia." Karang tengah membicarakan foto perselingkuhan ayahnya yang dia abadikan dengan tangannya sendiri.

Air muka Remi menjadi serius sepenuhnya. Ia menggosok ujung rokoknya yang menyala ke dalam asbak hingga padam. "Terus apa rencana lo?"

"Gue nggak tahan kalo dana buat proker di periode gue seret begini. Gue malu kalo proker nggak jalan maksimal cuma gara-gara nggak ada duit. Gedung-gedung baru yang katanya mau dibangun di fakultas kita juga nggak ditindaklanjut sampe sekarang. Sementara temen-temen masih banyak yang kesusahan bayar UKT padahal fasilitas yang ada kurang memadai, terus nyalahin BEM gara-gara mereka kira kita diem aja." Karang menjeda penjelasannya sebentar. "Papa ngelarang gue lapor polisi. Katanya sama aja mencoreng citra kampus."

"WTF?"

"Di samping itu, kita emang nggak punya bukti, Rem. Sebenernya papa ngejanjiin buat ngurus mereka, tapi nggak tau, deh. Omongannya nggak bisa dipegang. Kita nggak bisa ngandelin kekuasaan dia."

Tenang, Remi sudah terbiasa dengan ocehan Karang yang suka seenaknya.

"Makanya gue pikir, kalo koruptor itu nggak bisa ditindak secara hukum, lebih baik gue sendiri yang kasih mereka pelajaran," lanjut Karang.

Di kursinya Remi sekuat tenaga menahan agar tidak menyemburkan tawa. Ia masih mau pulang dari sini dengan selamat, jadi sebisa mungkin ia tak mau cari mati dengan menertawakan ide konyol sahabatnya itu. "Lo mau jadi superhero apa begimane?"

"Lo punya kenalan hacker nggak?"

Tbc.

ReminisensiWhere stories live. Discover now