• Satu

26.9K 808 16
                                    

"Bohong 'kan pah?"
Jana masih mengekor Papah yang berjalan menuju kamar, sedikit berlari karena langkah pria itu terlalu cepat.

Pulang dari bandara langsung menuju Depok bukan suatu perjalanan sebentar, apalagi urusan bisnis memusingkan rasanya tubuh Prasetyo sangat letih.

Ketika badan tegap Papah berbalik, sontak langkah Jana berhenti, menangkap sorot tajam membuat kepala Jana tertunduk takut.

"Kamu tau, apapun keputusan Papah gak mungkin bercandaan."

Mendengar nada tegas itu tak ayal membuat Jana mundur dan menahan airmata yang ditahan sebab belum pastinya pernyataan ini, tapi sekarang dia percaya. Masih dengan pancaran mata linglung Jana mendekati kamarnya sendiri, masuk kemudian mendorong pintu hingga rapat. Menjatuhkan diri dalam kasur. Perlahan bibirnya bergetar menahan sesak.

Putus sekolah adalah hal paling dibenci, kekangan semasa hidup tak berhenti sampai sekolah menengah atas selalu ada saja yang diatur hingga masalah pribadi seperti ini.

Jana tidak habis pikir, mengapa sulit untuk bebas dari kurungan Papah.

Sangat menyakitkan adalah Jana mengalami bukan hanya sekali-duakali melainkan sampai sekarang. Alasan kenapa Jana tidak pernah memberontak hingga kini ialah Jana yakin apapun pilihan orangtua selalu terbaik. Namun, tidak dengan memutus pendidikan! Otaknya terlalu lelah untuk cari alasan kenapa Papah melakukan ini. Maksudnya ini pendidikan, penting. Setingkat gelar tinggi Papah pasti tau pentingnya sekolah. Lantas apa sekarang memutuskan pendidikan anaknya!

Adat dan bisnis. Karena ini, Jana juga sangat bingung perihal pemikiran yang di simpan kuat dalam diri Papah. Seakan tindakan tidak rasional ini jalan terbaik. Jana bisa jaga diri! Nyatanya bukan hanya itu sebab dia di nikahkan dini. Bukan! Latar belakangnya yakni perempuan mendekap di rumah, bergelut dalam dapur, sumur dan ranjang. Tidak lebih. Sepenuhnya sadar Jana akan memprotes juga menolak stereotip Papah tersebut.

Terlalu tenggelam Jana tidak sadar kehadiran Mamah di sampingnya.

"Sabar, nak."

Di tepisnya tangan itu menjauhkan usapan lembut tersebut. Memilih selimut untuk membungkus tubuh hingga tertutup semua. Isak tangisnya pecah seiring dengan perkataan Papah tadi terngiang-ngiang tiada henti.

Hembusan napas keluar dari paru-paru Mamah dan menutup pintu sebelum memperhatikan kondisi anak keduanya.

Kakinya melangkah masuk ke dalam kamar, mendapati suaminya tengah mengeringkan rambut, Mamah mengambil handuk tersebut.

"Pah," panggil Mamah dengan lembut, jemarinya mendarat di atas kepala pria itu, memijat pelan. "Diundur sampai lulus saja bagaimana?"

Prasetyo paham maksud istrinya, dia geleng kepala. "Tidak ada seorangpun yang dapat menentang saya."

Untuk kedua kalinya Mamah hanya bisa menghela napas putus harapan. Dia tidak bisa mengubah keputusan suaminya. Tegas dan tak terbantahkan.

::

"Lo abis nangis? Jujur."
Tudingan dari Leyna membuat Jana terdiam, meminjam kaca untuk melihat wajah detik selanjutnya mendesah frustasi. Sembab sangat kentara padahal telah berusaha menutup dengan makeup.

"Eh, Le. Proposal Hari Kartini, udah?" Sepasang mata Leyna hanya memutar jengah, Jana menghindari pertanyaan.

"Belum. Abis pulang sekolah mau ngerjain. Jawab dulu. Nangis kenapa sih Jan?" desak Leyna sambil menatap intimidasi tak terpengaruh penolakan tadi.

Jana tersenyum. "Masalah kecil," Leyna mengangkat alis membuat Jana segera menambahkan kalimat tersebut. "Lo tau lah, gue cengeng," nyengirnya.

Leyna angkat tangan. "Yaudah, terserah lo," dia tidak ingin terlalu kepo dengan urusan oranglain.

Akrasia |✔|Where stories live. Discover now