Dua Puluh Dua

14.9K 1K 32
                                    

Wanita itu tengah terduduk di kursi meja rias, menatap pantulan dirinya didepan cermin. Wajah cantiknya menyiratkan akan kelelahan, tangan kecilnya terulur menyentuh lingkaran hitam di bawah matanya. Warna hitam itu terlihat sangat kontras di kulit putih pucatnya.

Anna berdiri melangkah membawa dirinya ke ranjang, lalau membaringkan tubuh ringkihnya ke kasur yang terasa dingin. Mata cokelatnya terus menatap langit-langit kamar, pikirannya masih tertuju pada kejadian empat hari yang lalu.

Kejadian yang benar-benar diluar kesadaran Anna, bahkan sampai sekarang dia masih merasa kalau semua itu hanyalah mimpi.

Anna mengubah posisi tidurnya menjadi menyamping, spontan tangannya meraba permukaan kasur di sebelahnya. Anna tersenyum kecut, sudah tiga malam tempat ini selalu kosong.

Semenjak kepulangan dari rumah Mamanya, Kavin berubah drastis. Suaminya itu seperti menjaga jarak dengannya, ketika tidur tidak ada lagi dekapan dan ciuman yang Anna dapatkan, suaminya itu tidak tidur bersamanya, bahkan nyaris tidak ada obrolan di setiap harinya. Kavin tidak akan mengeluarkan suara, jika Anna tidak memulai mengajaknya bicara terlebih dulu.

Bodoh, kenapa mulutnya bisa mengucapkan kalimat itu? Kenapa harus mengikuti kata hatinya? Pikir Anna.

Tanpa sadar Anna menghela napas gusar, baru saja beberapa bulan dia merasakan apa yang salama ini dia harapkan. Tapi itu semua bagaikan mimpi baginya, semuanya hanya terasa sekejap mata. Entahlah, bagaimana jalan Tuhan terhadap hidupnya.

🍃🍃🍃

Paginya. Kavin sedang duduk di balik meja kerjanya, dia mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Matanya menatap kertas laporan pengajuan penambahan biaya pembangunan hotel di Bali, yang sejak lima menit tergeletak di atas meja. Halaman demi halam dia baca dengan sangat teliti.

Keningnya berkerut, sehingga sepasang alis tebalnya bertautan.
Tangan besarnya meremas kertas penuh emosi. Baru tiga puluh persen proyek itu sudah banyak masalah. Pikirnya

"Perlu saya panggilkan Manajer Proyek, Pak?" Suara Rei mengalihkan emosi Kavin dari kertas-kertas yang tidak bersalah itu.

Sedari tadi Rei tengah berdiri di depan meja Bosnya itu.

"Tidak usah." Ujar Kavin dengan dingin.

"Sepertinya ada yang tidak beres dengan proyek ini." Ucap Rei pelan dengan dirinya sendiri.

Kavin mendengar apa yang Rei katakan, dan itu yang ada di benaknya sekarang.
Seperti ada seseorang yang mengganggu jalannya proses proyek ini.

"Tolong, tinggalkan saya sendiri!"

"Baiklah, jika Bapak butuh apa-apa panggil saya saja." Kata Rei penuh basa-basi, dia kesal Bosnya itu sering sekali mengusir dirinya dengan suara dingin dan wajah menyeramkan, seperti malaikat pencabut nyawa.

Kepergian Rei dari ruangannya membuat Kavin membuang napas tertahannya.

Sebelah tangan Kavin memegangi sisi kepala, dia mencoba mencari ide jalan keluar untuk menyelesaikan masalah ini. Tapi isi kepalanya saat ini sedang tumpul, otak pintarnya sedang tidak bisa di ajak bekerja.

Pikirannya masih mengingat kalimat sialan yang sangat dia benci.

*****

Di depan pintu ruangan Kavin, Baru saja Rei keluar dengan mulut penuh makian untuk Bosnya. Sumpah serapa dia lontarkan untuk Kavin, bagaimana tidak kesal selama lima hari Bos dinginnya bukan lagi menjadi manusia kutub utara, tetapi sudah berubah menjadi manusia kutub selatan, bukan dingin lagi tapi beku. Gerutunya.

Pure LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang