( ١ ) Pertama Kali

120 13 7
                                    


Rerimbunan pepohonan itu begitu menyejukkan, membuat siapa saja seakan betah berlama-lama di sini. Sejuk, asri, dan begitu nyaman. Lingkungan yang hijau dan rapih memberi kesan berbeda yang memukau, menyapa hangat setiap orang yang menapaki kakinya di sini khususnya untuk pertama kali.

Anak lelaki itu membawa tas hijau besar masuk ke dalam ruang sekretariat dan menemui beberapa Asatidz disana. Dia begitu menikmati langkah-langkah pertamanya di lingkungan baru ini.

Seorang ustadz mendatanginya, menghampirinya dengan senyuman ramah. "Kamu Hunain, ya?"

"Iya, Ustadz." Anak lelaki berbaju coklat itu tersenyum.

"Saya Annas, santri di sini biasa memanggil saya Ustadz Annas. Saya akan mengantar kamu menuju kamar kamu."

"Baik, Ustadz."

Ustadz Annas begitu rumah dia menjelaskan satu dua hal mengenai pesantren ini, Hunain menjawabnya dengan sopan dengan senyuman khasnya. Sekolah menyusuri jalan setapak yang cukup panjang akhirnya mereka sampai di bangunan bertingkat yang merupakan asrama.

"Di sini sih kami mengangkat nama para khalifah sebagai nama kamar kalian. Dan ini adalah kamar kamu, Hunain. Kamar Salahuddin Al-Ayubi." Ustadz Annas berdiri di depan sebuah kamar yang ternyata pinternya telah terbuka.

"Ustadz tinggal ya." Dijawab senyuman Hunain, Ustadz Anas meninggalkannya di depan pintu. Tanpak sedikit terburu-buru.

Hunain membawa tas hijau yang besar itu masuk ke dalam. Melihat seorang anak yang tengah membereskan barangnya, tersenyum sopan saat melihat Hunain masuk.

"Assalamu'alaykum"

"Wa'alaykumussalam. Penghuni di kamar ini juga ya." Sapa anak itu ramah.

"Iya, saya anak baru, Kak." Hunain meletakkan tasnya di sudut ruangan.

"E-eh. Aku juga anak baru kok." Jawabnya kikuk, dengan senyuman anehnya.

"Oh, begitu ya." Hunain tertawa pelan.

"Jadi, nanti kita ke masjid bareng ya, em..?"

"Ah, Ahmad Hunain Dzuhairi. Panggil saja Hunain."

Dia tersenyum. "Nanti kita ke masjid bareng ya, Hunain. Aku Zaid, Zaid Faruqta lengkapnya."

"Oke, Zaid."

Kami kembali sibuk membereskan barang masing-masing. Sesekali mengobrol singkat, mereka mulai saling mengenal. Sesekali Zaid melontarkan candaan, membuat kamar Salahudin Al-ayubi itu dihiasi tawa mereka.

"Eh, Hun, kamu lihat tas kecil gak?" Nada bicara Zaid mendadak panik.

"Tas kecil?"

"Iya, tas kecil. Warnanya biru, itu punyaku. Isinya ada peciku, nanti ke masjid kita diharuskan pakai peci. Kalau tidak bisa kena sanksi."

"Aku tidak lihat." Hunain menggeleng.

"Aduh, bagaimana ini? Kamu bantu aku cari ya. Mana sejam lagi kita harus ke masjid."

"Kamu tenang dulu, kita cari bareng ya."

Mulailah aksi pencari tas kecil itu. Di bawah kasur, kolong meja, sampai di balik bantal. Iya, dibalik bantal. Zaid mengaku benar-benar lupa sehingga meminta Zaid mencarinya di seluruh penjuru kamar. Di balik bantal sekalipun.

"Eh, ketemu nih, Hun!" Mata Zaid berbinar. Mengangkat tas birunya tinggi-tinggi.

"Ketemu dimana?"

"Di dalam tasku yang besar." Zaid tertawa. "Afwan."

"Bukan masalah, yang penting sudah ketemu." Hunain tersenyum maklum.

Şaghirul MujahidunWhere stories live. Discover now