Chapter 25

135K 9K 171
                                    

"Kak!"

Kakinya mundur selangkah mendengar seruan Hera yang cukup menyakitkan telinga. Hera membuka pintu lebar-lebar lalu mengintip laki-laki yang berdiri tepat di belakang Inka.

"Kak, semalam tuh Tante Maya sama mamanya Kak Inka ke sini, nyari kakak," kata Hera tanpa basa-basi.

"Oh, itu."

"Bukannya Kak Inka nginep di rumah Tante Maya?"

Inka menurunkan tudung hoodie di kepalanya lalu menjawab, "Semalam aku keluar sebentar tapi enggak pamit makanya mereka panik."

Untung saja dalam perjalanan menuju kosan, Mas Endi sudah membantunya mencari alasan saat Hera bertanya nantinya. Inka bernapas lega melihat Hera yang tidak curiga sama sekali.

"Mas Endi juga, tumben banget aku telepon bilang Kak Inka ilang dianya enggak panik."

Orang yang disinggung justru hanya berdeham pelan.

"Tapi, kenapa kalian datangnya bareng?" tanya Hera menatap Inka dan Mas Endi secara bergantian.

"Inka minta dijemput," jawab Mas Endi cepat. "Kamu mau nanya apa lagi? Mas capek berdiri terus."

Hera mendengkus ke arah Mas Endi lalu menggeser tubuhnya, memberi jalan agar Inka bisa segera masuk.

"Wulan mana?" tanya Inka begitu bokongnya mendarat di kursi ruang tamu. Mas Endi menyusul dan duduk tepat di samping Inka.

"Masih tidur, Kak."

"Dek, bikinin teh anget. Mas tadi enggak sempat ngeteh di rumah."

Hera menghela napas kesal karena belum juga semenit duduk, ia harus kembali berdiri. Inka tersenyum tipis mengikuti gerak Hera menuju dapur. Kesempatan ini Inka gunakan untuk berbicara dengan Mas Endi.

"Mas."

Mas Endi menoleh cepat. "Hmm?"

"Soal semalam, jangan sampai ada yang tau ya, Mas," pinta Inka setengah berbisik.

"Iya." Mas Endi mengacak rambut Inka. "Kamu udah bilang itu dua kali. Ngapain juga aku umbar sana sini kalau kamu nginep di rumah."

"Mas," desis Inka memukul lengan Mas Endi. "Jangan keras-keras ngomongnya. Kalau Hera denger, dia bisa mikir macem-macem."

Bukannya kesakitan atau sekedar menjawab, Mas Endi malah tersenyum memperlihatkan beberapa deret giginya.

"Malah senyum."

"Iya, iya ... lagian semalam kita juga enggak macem-macem."

Lagi-lagi Inka mendaratkan pukulannya di lengan Mas Endi, tapi laki-laki itu tertawa membuat Inka semakin kesal.

Masih dengan perasaan dongkol, Inka melirik Mas Endi setelah berhenti tertawa. "Udah?"

Mas Endi mengangguk berusaha menahan senyumnya. Tapi bukan Mas Endi namanya kalau tidak bisa meredam amarah Inka. Hari ini Mas Endi akan membantu revisi proposalnya. Tentu saja Inka tidak menolak, kapan lagi ada dosen yang mau membantu mahasiswanya begini.

Satu Atap, Satu KampusWhere stories live. Discover now