Chapter 19

131K 9K 82
                                    


Kak Denis

Papa sama Mama udah sepakat, tahun depan mereka resmi pisah. Kamu enggak ada niatan pulang ke rumah?

Inka menunduk dalam lalu menarik napas sedalam mungkin, pasokan oksigen di sekitarnya tiba-tiba menghilang membaca pesan dari kakaknya. Sekarang hal yang paling ia takutkan akhirnya terjadi, dunianya runtuh menjatuhkan Inka dalam liang kesedihan. Inka merasakan luka di hatinya kembali menganga, betul-betul mengingatkannya pada hal yang sangat ingin ia lupakan.

“Beb! Lo belom siap? Setengah jam lagi kelasnya Pak Endi.”

Inka buru-buru menghapus jejak air mata yang entah sejak kapan membasahi pipinya ketika teriakan Wulan terdengar di luar sana. Ponsel yang digenggamnya Inka masukkan ke dalam tas.

“Lan, lo duluan aja,” balas Inka dengan suara keras.

“Oh, oke! Jangan lama-lama lo.”

“Iya!”

Untuk kali ini saja, Inka ingin bolos. Kalaupun Inka masuk, ia tidak yakin bisa menerima materi seperti biasa. Segala penjelasan tidak akan masuk ke otaknya yang sudah dipenuhi beban pikiran.

Sekarang, Inka hanya perlu mengungsi di rumah Tante Maya. Inka bisa menebak, Wulan dan Pak Endi akan menerornya dengan berbagai pertanyaan saat mereka menemukan Inka di kos. Jadi lebih baik, Inka menghindar. Sampai suasana hatinya sedikit membaik.

“Inka?” seru Tante Maya terkejut dengan kedatangan Inka yang tiba-tiba.

Inka berusaha tersenyum tipis menghampiri Tante Maya yang tengah sibuk di dapur. “Tante, malam ini aku nginep di sini, ya?”

“Kamu kenapa enggak telepon Ade buat jemput.”

“Enggak apa-apa kok, Tante. Lagian Kak Ade kan masih kerja.”

“Yakan kamu bisa nunggu dia pulang terus ke sininya bareng.”

Hanya senyuman yang bisa Inka berikan, saat ini berbicara saja butuh tenaga lebih bagi Inka.

“Ya udah, kamu masuk kamar aja. Nanti Tante panggil kalau makan malamnya udah siap.”

“Enggak usah, Tante. Inka baru aja makan.”

Tante Maya mengangguk. “Ya udah..” lalu mengelus pelan bahu Inka.

Meski mustahil, Inka selalu berharap ketika bangun nanti ia akan melupakan semua kenangan yang pernah terjadi dihidupnya. Dan memulai segalanya dari awal. Tetapi, itu tidak mungkin, kan?

***

“Wihh, tumben pagi-pagi udah bangun,” kata Kak Ade begitu melihat Inka telah siap di teras rumah.

“Lebih tumben lagi karena lo mau joging,” lanjut Kak Ade.

“Emang gue semalas itu di mata lo, Kak?” tanya Inka mengikat tali sepatunya.

“Iya, lah. Biasanya kan lo lebih milih nonton drama daripada melakukan hal bermanfaat kayak gini.”

Inka beranjak dari duduk lalu menarik resleting jaket parasutnya. “Udah ah, capek gue ngomong ama lo. Dahh, Kak!”

Satu Atap, Satu KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang