.
.
.

Dengan kecepatan di atas rata-rata, Kim Jisoo memacu mobilnya di jalanan beraspal tebal. Tatapan yang ia fokuskan, tampak tidak tergoyah meskipun di otak Jisoo sudah berkelebat bayang-bayang keadaan Lisa. Yang kian hari, kian menyedihkan.

Masuk ke ke pekarangan rumah, bak istana yang bernuansakan hitam putih. Beberapa orang disana, sedikit tersenyum menyambut kedatangan majikan yang datang 100 tahun satu kali. Rumah hangat itu, sedikit sepi. Tidak seperti biasanya, Jisoo menghentikan mobilnya dan menyerahkan kunci pada salah satu pelayannya.

Jisoo menatap pintu yang tingginya, hampir sama dengan tiga kali tinggi tubuhnya. Menarik nafas, kemudian menghembuskannya perlahan. Mencoba serileks, mungkin. "Baiklah Kim Jisoooo... Mari kita masuk".

.
.
.

Irene masih memancarkan aura perangnya, dia duduk di tepi ranjang menatap ke arah pantulan kaca yang menampilkan wajah cantik bak ratu itu. Tangannya, meremat pinggiran ranjang. Hingga seprai, tertarik mengumpul ke telapak tangannya.

Beberapa Miss Call dari ponselnya, telah bertumpuk. Meskipun, ponsel Irene berada tepat di sampingnya sendiri. Enggan mengangkat, untuk sekedar berdehem atau mengatakan hal singkat laiiinya. Membuat, si penelpon menjadi khwatir di buatnya.

Yang di pikirkan Irene, hanya satu. Bagaimana, caranya menahan Jungkook untuk tetap berada di sampingnya. Dia tidak mau, Lisa menarik Jungkook kembali dan me monopoli anak nya. Ingatkan kalian, saat Irene pingsan dan harus di rawat di rumah sakit kembali sesaat pertemuan pertama?

Irene melihat anaknya berlari, bukan untuk memeluk dirinya dan meminta maaf atas ucapan yang menyakiti hati Irene. Anaknya, berlari bukan untuk memeluk nya. Tapi , untuk mencari Lisa dan menghiburnya.

Lalu, saat malam itu dimana Irene datang kembali dan menginginkan Jungkook perlahan mendekat padanya. Pemuda itu, malah berlari untuk bertemu dengan Lalisa. Dia tau, dia salah. Tapi, pantaskah dia terus - terusan di abaikan?

Namun, jungkook tetap lah Jungkook. Si pemuda keras kepala, yang sudah terlanjur membenci yang melahirkannya. Sehingga, tubuh mungil yang rentan itu tega di buang seperti anak kucing. Irene sakit? Jungkook Juga! Irene keras kepala? Jungkook Juga!

Dan sampai di hari itu,  dimana air mata dan darah adalah saksi bersama salju lebat yang perlahan menari di udara.

Air Matanya menetes perlahan, "Jung~". Panggil Irene, pada apa yang ada di pikirannya. "Kembalilah".

Satu email masuk, dengan tagline warna merah. Pertanda, laporan penting yang masuk di ponselnya. Dan Irene, melirik kemudian membuka kunci menekan digit-digit nomor yang tertera. Setelah membaca, dia tau. Jika apa yang ia lakukan secara gegabah, pasti akan membuatnya hancur. Kapanpun, itu waktunya tiba.

"Kim Group!". Ucapnya perlahan, dengan nada gumaman yang sarat akan kekesalan di wajahnya.

.
.
.

"Apa aku mengganggu kalian?". Tanya Jennie meringis, melihat kedua sosok yang tengah berdiri canggung di hadapanya. "Ahh aku harus pergi".

"Jangannnnnn!!!". Teriak keduanya kompak, dan Jennie pun berhembus kesal dengan memajukan bibirnya lucu.

"Lis". Kai tiba-tiba muncul, dan memanggil nama adiknya.

"Ya?".

Kai melirik ke arah Jungkook, yang juga menatapnya dengan tanya. "Kalian sudah makan?". Tanyanya, kemudian.. "Makan dulu, setelah itu.. Aku tunggu kalian di bawah".

.
.
.

Jungkook duduk di salah satu ruang apartemennya, rupanya para wartawan itu telah lelah dan berita mulai meredup. Baik jungkook, Lisa dan Nam. Tidak mengerti, mengapa bisa begitu saja menghilang. Dan pernikahan Lisa serta Nam, mungkin akan di batalkan setelah Nam melakukan konferensi press. Namun, tetap saja pikiran Jung mengawang-  awang. Bingung, apa yang akan dia lakukan pada ibunya.

LALA LOST [END]Where stories live. Discover now