Tubuh Bella membeku ketika Fiora memeluk gadis berambut ikat satu tanpa poni itu, dengan sama terisaknya. Fiora tentu saja menangis, membayangkan bagaimana rasanya sudah tidak dicintai lagi, membuat perih. Bella membalas pelukan Fiora, mengeratkan diri. "Aku... cuma nggak mau mereka pisah, aku bakalan hancur Fi, aku bakalan hancur." Bella meraung, isakkannya terdengar keras penuh kekecewaan.

Fiora mengangguk. "Apa pun yang terjadi, kamu harus tetep bertahan Bell, kamu harus bisa nerima kenyataan pahit semisal orang tua kamu berakhir pisah." Mereka mengendurkan pelukan, saling menatap untuk menyelami pendapat masing-masing demi menyelesaikan masalah. "Aku tahu, nggak seharusnya aku ngomong kayak gini, tapi, gimana kalau emang orang tua kamu pisah? Kamu harus lebih kuat Bell. Jangan nyakitin diri kayak gini, aku... kamu... kamu bisa ke rumah aku, kamu bisa tinggal bareng aku, tapi jangan nyakitin diri sendiri, Bell." Fiora memberi saran, mencoba memberitahu Bella bahwa gadis berkepang satu itu, akan terus berada di sampingnya meski mereka baru saja mengenal. "Dari kapan kamu seneng ngelukain diri sendiri?"

Bella sesegukkan. "Dua tahun yang lalu, dari umur aku yang keempat belas."

Fiora menggigit bibir. "Ka-kamu bisa telfon aku... kalau kamu udah ngerasa nggak kuat kamu bisa kabarin aku, nyeritain semuanya." Fiora mencoba tersenyum lebar meski terkesan memaksa sekalipun.

Bella mengusap wajahnya sendiri gusar. "Aku... nggak yakin bisa sekuat apa yang kamu bilang, Fi. A-aku cuma ngelewati beberapa tahun aja, aku udah nyakitin diri sendiri kayak gini." parau Bella kacau.

"Makanya kamu harus kuat!" sela Fiora cepat. "Kamu harus kuat, Bell. Aku bisa temenin kamu, dengerin semua cerita kamu atau ngehibur kamu. Tapi kamu harus kuat sampai nanti. Ya?"

Tangis Bella pecah mendengarnya, ia mengangguk-angguk. "Ya, Fi." ia berujar sembari mengikuti senyum Fiora yang lebar. "Makasih," ucap Bella dengan tulus. "Kalau kamu, gimana sama masalah kamu?" tanya Bella menyadari bahwa mereka sama-sama sedang menghadapi masalah, sebelum memutuskan untuk saling bercerita.

Wajah Fiora berubah getir, gadis itu kembali teringat mengenai Juni Astina. Ia mulai membuka suara. "Aku punya satu temen... namanya Juni Astina, dia temen pertama yang nggak ngejauhin aku padahal aku udah bersikap agak kasar sama dia." Bella mendengarkan. "Kemarin waktu kamu ngeliat aku nangis di lantai, apa kamu juga denger aku teriak?" tanya Fiora.

Bella menggeleng. "Nggak, aku kebangun pas kamu lagi nangis, nggak tahu apa-apa sama teriakan kamu." Bella membalas yang diangguki oleh Fiora. "Aku teriak sama Juni, aku ngusir dia." Bella merapatkan bibir, ia terdiam.

"Walo aku ngusir Juni, besoknya dia tetep baik sama aku, dia ngasih aku kue kering, kita tukeran nomor telfon, dia ngajarin pelajaran yang aku nggak ngerti, dia temen yang baik, Bell." Pandangan Fiora menyendu. "Tapi, Juni bukan orang yang percaya diri sama penampilannya, dia selalu ngerasa buruk, ngerasa nggak punya kelebihan apa-apa."

Fiora menelan saliva. "Aku nggak pernah tahu masa lalu apa yang buat Juni ngerendahin diri sampe kayak gitu, dia nggak peduli dimanfaatin kakak kelas, yang dia tahu, ada orang yang ngehargain dia. Padahal, nggak perlu sengaja dimanfaatin pun, masih banyak orang yang mau ngehargain dia." Fiora melanjutkan ceritanya, ia meremas jemari gelisah. "Dia malah suka sama Riki. Kakak kelas IPS tiga itu."

Bella mengangguk. "Aku pernah denger tentang Riki, dia cowok kota yang sering berurusan sama BK."

"Kamu bener, barusan itu aku berantem sama Juni, aku ngasih tahu dia kalau dia nggak perlu mau dimanfaatin sama kakak kelas cuma, demi rasa suka dia sama cowok itu. Tapi, yang aku dapet, dia malah balik teriak, dia bilang aku nggak pernah tahu apa-apa tentang dia. Karena aku sadar kita emang baru saling kenal, aku ngerasa hal itu sedikit bener, jadi aku sama sekali nggak ngebantah."

Kilasan bagaimana Fiora bersama Juni bertengkar terbayangi samar. Fiora memejamkan mata. "Yang aku nggak duga, dia bener-bener lebih milih kakak kelas itu. Aku ngerasa aku ini bukan temen yang baik untuk Juni. Aku harus gimana, Bell?" Fiora mulai terisak, ia menundukkan kepala. "Juni udah ngelangkah ke tempat yang salah, aku takut dia berakhir menderita. Bell, aku harus gimana? Aku bahkan nggak bisa ngeyakinin Juni kalau apa yang dia lakuin itu salah. Aku harus gimana?" Fiora sesegukkan.

Bella membungkam. Tak ada suara di antar mereka sampai Bella memilih memeluk Fiora, ia menyorot sedih. "Aku nggak tahu pasti, Fi, tapi, yang aku tahu, kamu adalah temen yang baik. Kamu udah ngelakuin hal yang bener. Udah ya, jangan salahin diri kamu sendiri."

Fiora mecengkeram punggung seragam Bella erat. "Makasih, Bell." Ada teman lain yang mau mendukung Fiora, dan hal itu sudah lebih daripada cukup. "Makasih banyak."

Pertemanan di antar mereka terjalin begitu saja, Bella mengungkapkan masalah hidupnya, alasan mengapa dirinya sering berada di kelas, tidak mau pulang ke rumah, dan menyakiti pergelangan tangan. Sedangkan, Fiora, ia menceritakan masalah yang terjadi pada dirinya bersama Juni, alasan mengapa ia meninggalkan tas di kelas, belum pulang ke rumah padahal bel sudah berbunyi tiga puluh menit lalu, serta ia yang menangis sesegukkan sepanjang koridor. Mereka pun memutuskan pulang bersama setelah Fiora memberikan beberapa plester pada Bella. Tidak peduli pada esok hari yang akan mendatang, Fiora merasa ringan setelah menemukan Sagita Bella dan menceritakan masalahnya. Mengenai Juni Astina, Fiora bisa memikirkannya nanti. Tidak akan terjadi hal buruk pada Juni bila Fiora membiarkannya sebentar saja 'kan?

DarkpunzelWhere stories live. Discover now