i. Alkarian

165 33 8
                                    

[2016]

Pertama, gue belum pernah melihat perempuan semenarik dia. Outfit: Ia memakai kaos bergambar Himawari (adik SinChan) berwarna kuning mustard dipadu dengan kemeja plaid berwarna abu-abu tua, dengan celana jins kebesaran yang dilinting dipadu dengan beberapa cipratan cat yang kecil dan warna-warni, kacamata dengan frame berwarna cokelat tua, lalu dilengkapi dengan a pair of the most classic and the most comfortable shoes of all time, Converse.

       Satu kalimat yang muncul dari otak gue ketika pandangan gue tertuju padanya: ini cewek lebih aneh daripada alien sepertinya. Dandanannya yang acakadul sejujurnya akan membuat gue langsung terkekeh bila saja gue tidak pernah diajarkan tentang sopan santun. Namun kali ini, gue hanya menahan rasa ingin tertawa itu jauh di dalam perut, berharap suatu ketika tidak akan meledak di saat yang kurang tepat.

       Kedua, anjir, gue belum pernah melihat perempuan secantik dirinya. Wajah mungilnya yang terlihat mulus walau tanpa baluran riasan apapun terlihat manis dan menggemaskan dengan rambut hitam kecokelatannya yang agak ikal dan panjang diikat hingga setengah punggung. Ekspresi wajahnya yang terlihat lelah dan tidak peduli dengan apa yang terjadi di dunia, namun di sisi lain terlihat malu-malu membuat gue tertarik padanya.

       And don't even start with her eyes. Ya, Tuhan. Kedua bola matanya, walau tertutupi oleh kedua lensa kacamatanya, tetap bisa memandang gue lurus menusuk dan masuk ke dalam jiwa gue, sekaligus terlihat berkilau. Kalau kata Payung Teduh, adanya sedikit bintang malam ini mungkin karena perempuan ini sedang cantik-cantiknya (but mostly karena masih siang dan keadaannya sedang terik).

       Ketiga, perempuan ini memutuskan untuk meminjamkan gue satu kotak sepatu. Tapi, bukan kotak sepatu biasa—a shoebox full of her books! Hal yang perlu kalian ketahui, gue tergila-gila dengan buku dan film. Suatu hari, gue mendapat informasi bahwa ada suatu rumah kecil yang menyediakan jasa pinjaman buku yang lengkap. Ya sejujurnya, sih, gue kurang tahu takaran 'lengkap' itu seperti apa dan sebagaimana. Ya, tapi gue berpikir mungkin patut dicoba. Entah memang kebetulan belaka atau keberuntungan gue, niat mencari buku bisa berujung dengan mendapatkan buku, plus mendapatkan satu informasi tentang perempuan itu: namanya.

        Di kamar indekos, gue membuka buku novel seri tentang petualangan penyihir muda. Pada halaman pertama, tertera nomor-nomor di bagian kiri atas yang menandakan tanggal. 01-29-1999. Di bawahnya, ada goresan tinta berwarna biru muda yang bertuliskan nama 'Rahadjeng'. Pada bagian tengah, tepat di atas nama penulis novel, terdapat sebuah tanda tangan. Bentuknya unik, hampir seperti rumput yang digabung dengan kabel telepon. Namun bila dilihat secara seksama, coretan itu bertuliskan satu nama yang belum bisa gue keluarkan dari kepala gue. Alet. Di bawah itu, tertera nama lengkapnya. Alethea. Gue kurang tahu sejujurnya bagaimana cara pronounce nama ini, tetapi seribu kemungkinan tentang penyebutan namanya sekarang terngiang di dalam otak gue.

       Jujur, membaca buku ini dengan pikiran tentang Alethea yang terus membanjiri seluruh isi kepala sangatlah sulit. Mulai dari suaranya, matanya, rambutnya, semua bayang-bayang tentangnya benar-benar tak henti gue pikirkan. Ini sudah dua minggu sejak pertemuan pertama kami, dan setengah seri dari 7 novel Harry Potter sudah sukses gue lahap habis. Masih ada tiga seri lagi yang belum gue baca, yang berarti masih butuh dua minggu lagi sampai gue bisa selesai membaca semua buku dari seri ini, yang artinya masih ada waktu dua minggu lagi sampai gue bisa bertemu Alethea untuk yang kedua kalinya. Ah, dua minggu itu waktu yang lama!

       Jarak antara indekos gue dan perpustakaan rumahan yang diberi nama PMII atau Perpus Mini Indonesia Indah itu cukup jauh, bahkan gue harus berganti angkot terlebih dahulu lalu menaiki bajaj kompleks hingga sampai ke PMII. Hari sudah sore, mentari sudah lelah memancarkan cahayanya. Gue berguling di ranjang beralaskan kain biru tua di kamar indekos. Berulang kali mata gue terus menatapi goresan tinta di lembar pertama novel tebal ini.

Ardency. [On Going]Where stories live. Discover now