Terdampar Arus

21 6 11
                                    

Perahu itu semakin terdampar tak ingin mengikuti arus. Gelombang lautan asmara terhempas jauh meninggalkan daratan pengharapan. Pengharapan yang dipegang erat, sedikit demi sedikit dilepaskan. Namun keinginan sesekali menyapa, membuat pengharapan tak dapat henti untuk sekedar merangkak.




Sepertinya aku tengah dirundung pilu. Dia dengan segala kelebihannya masih tak mengerti tentang hatiku. Hatiku yang tak pernah lepas inginku dengannya. Pertemuanku dengannya selalu ditandai dengan ragaku yang tidak pula membaik. Tak pernah kutahu apa yang tengah dipikinya dan apa yang ada dihatinya. Sesekali ku tebak, namun tebakanku selalu meleset.

Aku yang lemah selalu ingin dirawat olehnya, meski hanya dengan mengganti infus sekalipun. Beberapa keluhan ingin kudapati kesempatan dengannya, mungkin hanya untuk melihat wajahnya aku sudah lega.

“Bu nanti kalau infusku habis, mintanya sama Mas Zufar aja ya.” Pintaku.

“Modus kamu itu.” Balas ibu kala itu yang sedikit tertawa melihat anaknya menyukai seorang pria.

Tak banyak kesempatan yang dapat kuambil. Perawar bergantian melayaniku dengan cekatan. Sesekali dia yang kuminta. Namun terkadang enggan.

Angin semilir belum berpihak kepadaku. Kudapati dia murung, senyumnya hilang, keramahannya berlalu. Dia enggan untuk sekedar berbasa-basi bertanya seperti biasa.

“Pak Zufar tolong minta plester ya, ini lepas kena keringat.” Ucapku kepadanya yang sedang memperbaiki selang infusku yang memang sering sekali macet.

“Ya, sebentar.” Katanya.

Entah apa yang dipikirnya kala itu. Sikapnya yang dingin membuatku enggan untuk bertanya lebih banyak. Selalu saya tidak bisa ditebak.

Banyak rasa penasaran bersarang pada pikirku, sebenarnya apa yang terjadi hingga membuatnya enggan untuk tersenyum. Kubuka akun media sosial miliknya, berharap menemukan jawaban apa yang tengah terjadi. Namun yang kudapati bukan apa-apa. Statusnya masih sama. Tentang agama dan pemerintahan, sesekali menyelipkan status tentang profesinya sebagai perawat. Entahnya aku bahkan tidak bisa menebak. Bagaimana jalan cintanya? Kenapa dia tak pernah membuat status tentang percintaan? Sebenarnya apa yang dia rasakan? Pertanyaan itu muncul dalam otakku, berharap menemukan jawabannya sebelum perasaanku berlalu terlalu jauh.

Sore itu aku bersahabat dengan jam kunjung di rumah sakit. Beberapa temanku mendatangiku.

“Kamu kok sakit gak bosan-bosan sih.” Kata Sidqi, temanku.

“Iya hobi banget ke rumah sakit, main itu ke hotel, hahaha.” Sahut Rawan, temanku.
Ejekan mereka membuatku sedikit menghilangkan rasa sedihku karena tidak mendapatkan senyuman darinya.

“Ngomong-ngomong pujaan hatimu itu yang mana?” Tanya Rawan.

Pernah sesekali aku ceritakan dia dengan teman-temanku. Rasa kagumku kepadanya yang membuatku ingin selalu menceritakan tentangnya.

“Tadi di depan kamu lihat enggak? Perawat laki-laki yang potongannya pendek.” Jawabku.

“Oh yang itu.” Sahut mereka, sambil sesekali melihat keluar.

“Kok bisa kamu suka sama perawatmu?” Tanya Sidqi.

“Aku juga gak tau, mungkin karena baik.” Jawabku.

Jawabanku memang tidak menjelaskan segalanya. Namun pertanyaan Sidqi membuatku sadar. Bagaimana bisa aku menyukai dia? Bertemu saja tak menentu, berbicara saja tidak pernah, melihatnya hanya sesekali. Tapi kenapa perasaan ini enggan untuk berlalu.

Pikiranku berlayar, menyusuri lautan kegundahan dalam benakku. Sungguh entah semua yang ada di rumah sakit ini, aku harus melaluinya dengan kepedihan atau kebahagiaan. Pedih karena rasa sakit terus menghujam jantungku, atau mungkin bahagia karena selalu ada dia yang menemani dikala rasa sakitku. Lalu alangkah lebih baiknya kalau aku melalui semua ini dengan bersyukur. Bersyukur atas anugerah yang diberikan oleh-Nya.

Sore ini aku masih berpikir tentangnya, membayangkan dia denga segala yang kusukai darinya. Lamunanku buyar ketika pintu bangsal kamar diketuk olehnya. Rasa kaget menghujam padaku, yang kurasakan seperti darah mengalir dengan cepat dan detak jantung terburu tak menentu.

“Ditensi dulu ya mbak.” Ucapnya.

“Oh iya pak.” Sambil mengulurkan tanganku kepadanya untuk diukur tekanan darahnya.

Rasa kaget ini masih belum reda, aku takut, bagaimana jika nanti dia mengetahuinya.

“Kenapa mbak? Kok kelihatan kurang baik.” Tanyanya.

“E ng nggak gak papa pak.” Malu sekali rasanya dengan jawabanku yang gagap dan keadaanku yang seperti ini.

Semoga dia tidak tahu kalau aku seperti ini karenanya. Kucoba menenangkan diriku sendiri dengan mengatur nafas.
Selalu dengan balasan senyum yang membuatku sulit untuk menenangkan diri.

“Tekanan darahnya tinggi mbak 170/120. Istirahat ya, jangan turun-turun dari tempat tidur. Ada yang dikeluhkan?” Kataya.

Tekanan darahku memang seringkali tinggi, yang harusnya remaja sepertiku dengan tekanan darah normal 120/80.
Entah karena aku kaget tadi atau memang karena sakitku.

“Iya terimakasih pak. Sudah tidak ada keluhan pak, cuma agak pusing sedikit.” Ucapku, membalas kata yang keluar dari mulutnya.

Seringkali memang pengharapan tidak bersarang pada raga. Namun dengan melihatnya memberi sedikit perhatian kepadaku aku sudah sangat senang. Melihatnya enggan berlalu dan melayaniku dengan segala keramahannya kepadaku saja sudah dapat menentramkan jiwa. Sebenarnya tak banyak pengharapanku saat ini, melihat dia kembali tersenyum kepadaku itu sudah cukup membuatku bahagia.

_to be continued_


Jangan lupa vote, comment, juga follow untuk memberi semangat kepada penulis.
Terimakasih

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mentari Dalam Redup KeheninganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang