Gemuruh Mimpi

44 7 3
                                    

Sungai ingatan tak memberi sedikit peluang untuk sekedar tak mengingat. Arusnya deras tak memperbolehkan untuk berhenti, bahkan menoleh pun tak juga diberi waktu. Airnya mengalir, berbisik lirih dengan alunan sendu. Sendu yang semakin merasuk ke dalam dinginnya kalbu. Bergemuruh liar sebagai pengharapan yang tak menentu. Pengharapan yang entah akan dijemput suka atau duka.


Berbagai keluhan memberiku kesempatan untuk sekedar bertemu dengannya. Walau tak setiap hari aku dapat bertatap muka, setidaknya aku masih berpeluang memandang wajahnya yang teduh. Bak lembutnya cahaya rembulan yang senantiasa menyinari gelapnya malam di bumi. Selalu ada pertemuan yang tidak disengaja. Dan, selalu aku yang salah tingkah.

“Kontrol ya mbak?” Tanyanya. Setelah kujemput tangannya dengan bersalaman dan senyum yang sudah pasti dibalas olehnya.

“Iya pak.” Jawabku.

Banyaknya orang berlalu membuatku bingung. Seketika aku menjadi salah tingkah dan menutupi jalan orang yang mau lewat karena masih menatapnya. Sungguh malu ketika dia yang menyadarkanku.

“Minggir dari jalan mbak.” Katanya.

“Oh iya pak.” Kenapa pandanganku terhadapnya selalu tidak bisa dijaga.

Jam kerja menuntutnya untuk segera ke bangsal dan pamit untuk meninggalkanku. Pagi itu indah, namun salah tingkahku yang membuat semuanya tidak ingin untuk terus diingat.

Mentari mengusap hangat dinginnya pagi yang berteman embun. Keadaan memaksa ku harus selalu bersahabat dengan rumah sakit. Untuk menjalani terapi hampir setiap hari aku harus ke sana. Aku sempat tak menyadari tempat yang ku pijak saat ini adalah tempat yang strategis untuk sekedar melihatnya. Suatu pagi, aku melihatnya mengenakan jaket berwarna biru yang kugemari, entahlah, aku suka melihatnya mengenakan jaket itu. Mungkin karena biru adalah warna favoritku, dan tubuhnya yang terlihat pas mengenakan jaket itu.

Aku berjalan menghampirinya, sudah bisa kupastikan, dia akan memberikan senyuman yang meluluhan hati siapapun yang melihatnya. Kusalami tangannya yang dibalut dinginnya angin perjalanan. Mungkin baginya hanya selalu kalimat basa basi yang terlontar dari sedikit pembicaraan kami. Namun bagi ku berbincang dengannya adalah tambahan semangat untukku melanjutkan hidup. Suaranya begitu menentramkan hati yang dilanda pilu oleh raga yang tak lekas membaik.

Kata yang kuucap selalu terbata-bata jika berada didepannya.
Masih sama, selalu kuhampiri dengan menjabat tangannya.

Kali ini aku yang memulai pembicaraan.
“Se se selamat pagi mas eh maaf pak zufar.”

Aku selalu berusaha untuk tenang dan biasa saja menghadapinya. Namun perasaanku tak bisa diajak untuk berdamai sedikitpun. Bahkan aku selalu terlihat bodoh jika berhadapan langsung dengannya.

Lontaran senyumnya, dan jawabannya yang ramah sudah pasti dapat sedikit menenagkanku.

“Selamat pagi mbak.” Jawabnya.

Bagaimana bisa dia tahu jika aku memendam rasa dengannya, sedangkan hanya sekedar berkomunikasi pun aku tak bisa melakukannya dengan baik. Semoga saja sikapku yang akan mewakili apa yang ingin kuutarakan kepadanya.

Kerap aku dihantui akan bayang semu tentangnya. Mungkin saat ini hanya dialah yang menghujam tajam dalam hatiku. Jiwaku seakan hanyut dalam samudera cinta akan dirinya. Setiap detik dia yang selalu terlintas dalam pikirku. Sampai mimpi pun aku masih terjaga olehmu. Entahlah, aku tak dapat menghilangkan segalanya tentang dia. Mungkin memang aku yang terlalu berlebihan, namun itulah saat ini yang telah terjadi padaku. Aku harus merasakan pahitnya mencintai seseorang yang sedikitpun tak berpihak padaku.

Aku berada dalam ruang yang dipenuhi meja kursi, mungkin memang diperuntukan menerima tamu. Masih dia yang selalu muncul, bersama satu rekan perawatnya. Dan aku, didampingi oleh dua orang sahabatku. Kami berbincang. Tak lama setelahnya, entah mengapa perkataan mereka mulai menjodohkanku dengannya. Temanku memberitahunya, jika aku memendam rasa padanya.

“Zufar itu cocok dengan Kanza.” Kata salah rekan perawatnya.

Kanza yang disebutkan itu adalah aku.

“Iya Mas Zufar sebenarya Kanza itu suka sama Mas Zufar, cuma gak berani ngomongnya.” Sahut salah satu temanku.

Aku tak dapat melakukan apa-apa selain tersenyum. Mungkin dia sudah mengerti akan maksud dariku. Dan lagi, kulihat lekukan senyum keluar dari bibirnya. Senyuman yang akan menghipnotis siapa pun yang memandangnya, yang seakan tak ingin beranjak untuk meninggalkannya.

Lalu dia berdiri, memberikan dua buah benda padaku. Masih kuingat jelas, sebuah handphone dan flashdisk berwarna merah. Kemudian dia pergi meninggalkan ruang itu. Senang sekali rasanya. Hatiku merekah bagai bunga di taman yang sedang bermekaran. Lega rasanya dia telah mengetahui akan persaanku.

Kesadaran kumulai terkumpul, kubuka lebar mataku, kupandangi keadaan sekitar. Dan ternyata, semua ini hanya mimpi. Aku masih berada dalam hangat dekap peluk selimut yang setia menemani dalam dinginku. Kusesali semuanya.

Pernah kudengar kalimat “Cinta Tak Harus Memiliki.” Tapi aku bukan tipe orang yang mudah putus asa. Sedari kecil telah tertanam jiwa pantang menyerah. Sifat optimis selalu memberi jalan untuk segala niat yang tak pernah padam. Tak elok jika sekarang aku kalah sebelum berperang. Namun rasa malu sebagai seorang wanita melunturkan gelora semangat memilikinya. Wanita diberi kodrat untuk dipilih bukan untuk memilih. Maka kutitipan namamu disetiap sujudku pada-Nya. Aku masih selalu berharap jika kau yang akan menjadi teman, teman sehatiku.

Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kutitipkan rasa sayang dari kuuntuknya. Biarlah Tuhan yang mengatur segalanya. Tak banyak inginku, jika aku memang bukan yang terbaik untuknya, setidaknya dia mengetahui isi hatiku. Itu sudah membuat kumerasa senang. Namun aku tak pernah sedikit pun lupa menyebut namanya dalam setiap doaku. Semoga Tuhan memberi ridho agar kau yang menjadi jodohku kelak. Dan semoga, kamulah yang menjadi imamku yang menuntunku menuju jalan-Mu. Doaku kala itu.

_to be continued_



Jangan lupa vote, comment, juga follow untuk memberi semangat kepada penulis.
Terimakasih

Mentari Dalam Redup KeheninganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang