Tentang Prioritas

Start bij het begin
                                    

Entah kenapa hati gue seakan sudah beku, tak dapat dicairkan lagi. Gue cuma berharap suatu waktu, Justin dapat mengerti kenapa gue jadi seperti ini.

🍁🍁🍁

"Ya elaahh, Neng. Niat mau jenguk orang atau nggak ini? Masa iya gak bawa makanan apa-apa, sih?" seru Sebastian sewot.

Gue memang di rumah Sebastian. Gue ke sini hanya karena ingin kabur dari Justin, karena gue tak bisa menuruti permintaannya untuk menengok Mama di rumah sakit.

"Gue bawa sesuatu."

"Bawa apa?" tanya Sebastian langsung terbelalak senang.

Gue menoyor keningnya. "Bawa catatan utang lo! Gak usah pakai sakit-sakitan ngapa biar lo bisa kerja, terus bayar utang ke gue."

Sebastian mendesis. "Ck, perhitungan banget sih sama temen. Utang aja sampe dicatetin kayak Rentenir."

Gue menahan tawa melihat wajahnya, dan memilih untuk duduk di sofa. "Mahesa bentar lagi ke sini. Gue nitip makanan juga ke dia."

Sontak Sebastian langsung terbelalak senang. "Seriusan nih?"

Gue berdeham sebagai jawaban.

"Ya ampuunn..." Sebastian langsung duduk di sebelah gue. "Yoona hari ini cantik banget, deh."

Gue tertawa sambil menendang pantatnya untuk menjauh dari gue. "Najis lo, kalo lagi ada maunya."

Selang beberapa menit, akhirnya Mahesa tiba. Dia membawa beberapa snack ringan dan beberapa minuman kaleng.

Kami pun memilih duduk di lantai dengan sebuah meja di tengah-tengah kami. Gue dan Mahesa duduk berhadap-hadapan, sementara Sebastian duduk di sebelah kiri meja.

"Jadi, di sini kita mau ngapain, nih?" tanya Mahesa sambil membuka sebungkus snack ringan.

"Kan lo berdua mau nengok gue," jawab Sebastian.

"Kan kemaren urusan nengok lo yang sakit mah udah," balas Mahesa.

"Terus sekarang ngapain dong?" tanya Sebastian.

"Nengok lo lagi." Gue pun menjawab. "Nengok lo yang lagi sakit. Sakit jiwa tapi."

Sebastian mendesis sementara Mahesa terkekeh geli.

"Udah udah, Kun. Jangan dengerin omongannya Nyai Ronggeng. Tau sendiri kan omongan dia mah beracun, bisa langsung bikin lo sesek napas."

Gue tertawa dan langsung melempar sebungkus snack ke Mahesa. "Nambah lagi aja nama julukan gue."

"Kita main PS yuk! Bete nih gue," usul Sebastian.

Gue mendengus. "Ya elah, lo mah berdua asik sendiri aja. Terus gue ngapain nanti."

"Lagian tumben banget sih lo ke sini, biasanya juga gak pernah ke sini," seru Mahesa.

"Gue bete kali di rumah terus."

"Gak jalan sama Bani?" Goda Sebastian.

"Bani-nya lagi sibuk sama istri tuanya," tambah Mahesa disusul gelak tawa dari mereka berdua. Mereka ber-high five ria melihat gue yang langsung menekuk wajah.

Istri tua di sini maksudnya Kia.

"Tau ah! Gak asik lo berdua!" Gue langsung bangkit dan tiduran di atas sofa, membiarkan mereka berdua semakin tertawa.

Akhirnya mereka berdua langsung asik di dunianya. Main Play Station tanpa memedulikan gue di sini. Gue cuma menghela napas melihat mereka. Kenapa, sih gue cuma punya mereka sebagai teman?

MemoriaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu