30 - Padahal Enggan

1.9K 82 15
                                    

"Tersenyum bukan berarti tak mempunyai kesedihan. Aku hanya manusia yang ingin orang sekitarku tersenyum bahagia."

Syaqilla-

***

Akhirnya setelah perjalanan sekitar kurang lebih lima jam, aku sampai disini. Aku melihat arloji ku yang menunjukkan pukul 19.30. Aku mengeratkan pegangan jemariku pada tas yang kubawa. Aku melihat layar ponsel yang kini terlihat banyak pesan yang masuk. Entah dari Bang Syakir, Fatih, Ummi, dan satu nomer unknown. Maaf, tapi kali ini aku ingin mengabaikan semuanya. Aplikasi chatting itu akhirnya aku nonaktifkan sementara waktu.

Sebelum keluar dari stasiun, aku memutuskan untuk pergi ke mushola kecil yang ada di sudut stasiun ini untuk melaksanakan shalat Isya. Aku melepas sepatuku dan menaruhnya di rak yang telah disediakan. Aku masuk ke dalam musholla dan langsung melepas tas ransel ku dan menaruhnya di dekatku untuk segera berwudhu. Selesainya, aku langsung bergegas menuju tempat shalat dan menunaikan ibadah.

Keluar dari musholla, baru saja satu langkah kaki ini berpijak, perutku bergejolak minta diisi. Aku melihat sekitar dalam stasiun yang cukup menjual makanan pengganjal perut sementara. Aku memutuskan membeli roti. Yap, ini salah satu kesukaanku, roti boy namanya. Aku memilih rasa coklat untuk indra pengecap ku. Tekstur, rasa, semuanya tak pernah berubah.

*flashback*

"Kamu lapar?" Aku menggeleng, serta duduk di bangku panjang dekat dengan pohon yang rimbun. Matanya teduhnya tetap tertunduk dan dia menjauh dari penglihatan. Dia mau kemana, pikirku.

Tanpa aba-aba dia menyodorkan sepotong roti coklat yang masih hangat untukku.

"Makan." Perintahnya. Aku mengambil roti itu dengan cepat sebelum ia semakin memaksa dan memerintah.

"Kenapa?" Tanyaku tanpa menatap matanya.

"Tidak perlu jawaban kan?"

"Semua punya alasan"

"Semua rasa di dunia ini, muncul begitu saja. Dia sudah menjadi bagian dari takdir Yang Kuasa, kalau sudah begitu mau bagaimana?"

Aku terdiam tanpa jawaban sembari menunggu Bang Syakir datang. Aku masih mencerna semua perkataannya. Dijodohkan? Apa iya dia bisa menerimanya?, Rasa? Sejak kapan? Kan kita baru bertemu dan kenal. Misterius sekali tuan kutub satu ini. Beberapa lama, Bang Syakir datang dan mengajak aku dan Fahriz untuk melanjutkan perjalanan lagi.

*off*

Kalau dipikir kembali, rasanya heran bisa menyukai orang asing yang datang dihidupku. Tapi benar katanya, rasa memang muncul begitu saja. Semoga aku bisa memiliki rasa pada Fatih ya Riz. Ujarku dalam hati.

Aku melanjutkan perjalanan menuju rumah teman kecilku, namanya Nana. Dia tinggal di Kompleks yang tak jauh dari stasiun. Aku memesan ojek lewat aplikasi online. Tak menunggu lama, drivernya datang dan aku segera pergi menuju rumah Nana.

Dalam perjalanan, aku lumayan banyak mengobrol dengan drivernya. Dia menanyakan aku tinggal dimana dan semacamnya. Masuk daerah perumahan kompleks, aku mengarahkan arahnya, aku menunjuk ke satu rumah yang bercat putih. Tak ada yang berubah dari dahulu. Tante Rin, mama nana memang memiliki kesukaan yang sederhana termasuk dalam warna yaitu warna putih.

"Pakai cispay ya pak" Bapaknya mengangguk.

"Jangan lupa bintang lima nya ya neng."

"Siap pak."

Aku melangkahkan kaki membawa ku ke depan gerbang Rumah Nana, rasanya sudah lama sekali ya. Na, kamu apa kabar? Tanyaku dalam hati. Aku mengucap salam, namun salam pertama tak ada jawaban, aku mengucapkan salam yang kedua kalinya menghasilkan suara decitan pintu dari dalam rumah.

𝐇𝐚𝐥𝐚𝐥 𝐁𝐞𝐫𝐬𝐚𝐦𝐚𝐦𝐮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang