18. bombarda maxima

Start from the beginning
                                    

Umbridge terus mendesak Hagrid untuk menjawab dimana saja pria itu selama ini. Hagrid menjawab bahwa dia pergi untuk kesehatannya dan entah apa, suaranya tidak terlalu jelas.

"Ini hari pertama dan kita sudah melihat perempuan itu?" Ron mengernyit, kesal.

Ketika Umbridge akhirnya keluar dari pondok Hagrid, keempatnya langsung buru-buru masuk ke dalam agar tak ada yang melihat mereka.

"Ini rahasia besar, oke?" ucap Hagrid. "Dumbledore menyuruhku untuk berdiskusi dengan raksasa."

"Raksasa?" tanya Hermione kaget. Hagrid langsung menyuruhnya untuk memelankan suaranya.

"Kau menemukannya?"

Hagrid mengendikkan bahu, "Yah, mereka tak terlalu sulit untuk dicari, sebenarnya. Mereka sangat besar, kan? Aku meyakinkan mereka untuk bergabung. Tapi bukan aku saja yang menginginkan mereka untuk bergabung."

Ron terlihat takut, sebelum bersuara, "Death Eaters?"

Jean menahan napas. Bayangannya tentang Death Eaters selalu buruk, penyerangan, gelap, kejam. Apalagi mereka adalah pengikut The Dark Lord. Walaupun dia merasa belum pernah bertemu dengan mereka, namun mendengar cerita Harry tahun lalu saat berada di Quidditch Wold Cup sudah membuat Jean bergidik.

Hagrid mengangguk, "Ya. Mencoba meyakinkan mereka untuk bergabung dengan Kau-Tahu-Siapa." Katanya. "Aku memberi tahu mereka pesan Dumbledore. Kurasa sebagian dari mereka mengingat kebaikannya. Kurasa.." laki-laki bertubuh besar itu mengendikkan bahu.

Tiba-tiba angin berhembus kencang, dan suara petir menggelegar. Mereka semua berdiri lalu berjalan kearah jendela.

"Semuanya berubah diluar sana. Seperti saat itu." Kata Hagrid sambil menatap langit dari jendela. "Ada badai datang, Harry. Sebaiknya kita sudah siap ketika itu benar-benar datang."

*****

"Ciptakan kenangan kuat, yang paling bahagia yang bisa kau ingat. Biarkan itu memenuhimu—terus coba, Seamus." Harry berjalan, menyemangati para Dumbledore's Army yang sedang berlatih membuat Patronus.

Jean mengayunkan tongkatnya, merapalkan mantra "Expecto Patronum." Berkali-kali namun masih belum berhasil. Tentu saja, dia masih bingung kenangan bahagia apa yang patut diingatnya saat ini.

Oh, dia mengingat suatu kejadian. Saat itu, dia masih berusia lima tahun. Dia bermain-main di halaman depan rumahnya hingga seorang anak seusianya menghampiri dirinya. Mereka bermain, tanpa tahu nama masing-masing.

Sebuah burung kecil tiba-tiba jatuh di depan mereka, sebelah sayapnya terluka. "Aku ingin merawatnya," kata Jean kecil, tak pernah takut pada apapun—kecuali gelap. Sementara teman barunya bertanya, "Kau yakin?", Jean mengangguk semangat. Dia suka burung, sangat suka. Jean pernah bermimpi memiliki burung besar yang bisa mengajaknya terbang.

"Kalau begitu, kita merawatnya bersama." Anak itu tersenyum pada Jean. "Namaku Theseus Clyde."

Hampir enam tahun mereka merawat burung itu, entah bagaimana caranya karena mereka hanyalah anak kecil. Mereka, sejujurnya, tak benar-benar merawat. Mereka hanya fokus membuat burung itu nyaman dan tak menyakitinya. Burung itu tumbuh besar bersama mereka, menjadi seekor elang yang gagah.

Mereka memutuskan untuk melepas elang itu, membiarkannya bebas. Hingga suatu hari Jean mendapat surat dari seekor burung hantu, tepat saat ulang tahunnya yang ke sebelas. Surat itu yang ternyata mengubah hidupnya—sampai saat ini.

Kilasan memori itu membuat Jean tersenyum. Pertemuan pertamanya dengan Theseus, anak laki-laki polos yang baik hati, tumbuh besar bersamanya hingga perempuan itu sudah menganggapnya sebagai kakak.

Jean memejamkan matanya. Menarik napas sembari membiarkan kenangan indah itu merasuki dirinya, lalu dia berbisik sambil mengarahkan tongkatnya kedepan, "Expecto Patronum." Dan sebuah Patronus elang berwarna biru-perak muncul dari ujung tongkatnya.

Gadis itu tersenyum bahagia ketika akhirnya berhasil menciptakan Patronus pertamanya. Seekor elang. Itu membuatnya merindukan Archer, elangnya yang dia rawat bertahun-tahun bersama Theseus. Bahkan Jean sempat berharap dia ditempatkan di asrama Ravenclaw hanya karena logonya adalah seekor elang saking cintanya Jean kepada burung.

Tiba-tiba lampu gantung di Ruang Kebutuhan bergoyang, membuat keadaan yang tadinya ramai menjadi hening seketika. Terdengar debuman yang dekat, sedikit guncangan. Semua Patronus yang berhasil muncul lenyap. Penerangan dari lampu mati-nyala-mati-nyala, membuat Jean kaget setengah mati.

Harry dan Nigel yang terdekat dengan sumber suara berjalan perlahan menuju kearah tembok berlapis cermin yang mulai retak. Baru selangkah maju, suara debuman lain kembali terdengar hingga cermin itu pecah. Para Dumbledore's Army langsung mengacungkan tongkat sihir mereka waspada.

Nigel dan Harry mengintip ke sebuah celah kecil yang tercipta di tembok. Jean masih waspada dengan tongkat sihirnya. Begitu pula anggota lain.

"Aku akan menyelesaikan ini." Suara di balik tembok terdengar. Harry segera menyeret Nigel agar menjauh dari tembok sebelum mantra "Bombarda Maxima!" terdengar dan tembok itu meledak.

Terlihat disana, Dolores Umbridge, Mr. Filch, Crabbe, Goyle, dan beberapa murid Slytherin yang menatap puas kearah Dumbledore's Army.

Semuanya terkesiap. Mereka ketahuan.

Kemudian datang Draco Malfoy dengan menggeret seorang perempuan dari asrama Ravenclaw yang juga anggota Dumbledore's Army, Cho Chang. Ekspresi awalnya yang senang karena bisa mengungkap sebuah perkumpulan yang selama ini dicarinya, berubah terkejut luar biasa ketika melihat Jeannete McLouis ternyata adalah salah satu anggota Dumbledore's Army.


*****

haiii aku ga nyangka cerita yg aku tulis karena gabut pas 2017 ada yang minat baca:') udah 3k+ readers bnr bnr pgn nangis hmm:( iya sebenernya cerita ini udah lama ditulis tapi baru berani post akhir-akhir ini karena aku orangnya mudah insekyur wkwk. aku mau ngucapin terimakasih sebesar-besarnya buat semua readers yang sudah minat baca cerita halu dan gajelas ini, terutama yang since day one, but i love all of you guys so much:"

OBLIVIATE - Draco MalfoyWhere stories live. Discover now