Dua Puluh Tujuh

Mulai dari awal
                                    

Leon tertawa, "I Miss you so much, Vanilla." Vanilla mempererat pelukannya pada Leon dan mencoba untuk tidak menangis.

Suara dehaman seseorang menginterupsi Vanilla, Leon dan Raquella. Vanilla menoleh ke belakang dan mendapati Vanessa berdiri dengan tatapan tidak percaya. Vanessa berdiri dengan gaun pengantin berwarna peach dengan taburan kristal Swarovski yang di desain khusus oleh desainer ternama. Vanilla pun sedikit tak percaya, karena kali ini mereka tampak berbeda.

"Gue gak nyangka acara pernikahan gue jadi ajang reuni Akbar kalian," ucap Vanessa mencoba memecah rasa canggung diantara mereka. "So, apa yang membuat saudara kembar gue yang hilang bertahun-tahun, tiba-tiba muncul di hari bahagia gue?"

Vanilla mengendikkan bahunya, "mungkin karena gue mau balas dendam dengan ngerusak hari bahagia Lo ini?" jawab Vanilla terdengar serius hingga membungkam yang lain. Beberapa detik kemudian tawa Vanilla langsung pecah, "come on, i'm just kidding."

"I'm so sorry, Vanilla," ucap Vanessa berubah sendu dan diliputi rasa bersalah. "Seharusnya Lo yang ada di posisi gue sekarang. Dari dulu gue selalu ngerebut apa yang seharusnya jadi--"

"Ssttt... Lo gak perlu minta maaf. Lo gak salah apa-apa. Ini hari bahagia Lo dan gue gak mau Lo menyesal. Kasihan kan, udah make up cantik gini eh luntur karena nangis." Vanilla menangkap wajah Vanessa dan menghapus jejak air mata di pipi kembarannya itu. "Ingat moto hidup gue kan?"

"Kebahagiaan orang yang Lo sayang adalah kebahagiaan terbesar untuk diri Lo sendiri."

Vanilla mengembangkan senyumnya dan langsung mendapat pelukan hangat dari Vanessa. Rasa di dada Vanilla semakin menjadi, membuatnya terasa tercekik dan kehabisan napas. Dalam hati Vanilla merutuki dirinya yang tidak bisa ikhlas menerima kenyataan. Ini semua bagaikan mimpi buruk yang menjadi kenyataan.

*****


"Akhirnya Lo kembali juga..."

"Gue harap selama Lo pergi, Lo gak akan lupa sama gue..."

Langkah Vanilla terganti dan menundukkan kepalanya hingga air matanya terjatuh. "Gimana bisa gue lupa sama orang yang pernah menjadi alasan gue bertahan?"

"How do you feel?"

"Hurts."

"Lo tahu kan selama ini gue selalu nungguin Lo?" Dava bertanya lalu di balas anggukan oleh Vanilla yang masih menunduk. "Di saat semua orang yakin Lo meninggal, gue yakin ada keajaiban yang membuat Lo selamat.  Sampai akhirnya gue tahu kalau Vannelica yang gue kenal adalah Vanilla, orang yang paling gue sayang. Tapi setelah itu, Lo pergi tinggalin gue untuk kesekian kalinya dan buat harapan gue pupus gitu aja."

"Sorry," gumam Vanilla nyaris tidak terdengar.

Dava menatap kearah Vanilla yang menangis, dengan cepat ia menarik Vanilla dan mendekapnya. Isak tangis Vanilla terdengar ditahan, ia bisa merasakan saat tubuh Vanilla bergetar duluan dalam dekapannya.

"Lo satu-satunya orang yang ada di hati gue, Nil. Bukan Vanessa atau yang lainnya," ucap Dava membuat hati Vanilla seolah tersayat dengan kenyataan bahwa Dava kini telah menjadi milik kembarannya.

"Itu dulu, Dav. Sekarang Lo milik Vanessa dan gue gak punya hak untuk ada di hati Lo lagi."

Dava mengulas senyum dan menghapus air mata Vanilla. Jujur saja, Vanilla tidak sanggup terus berdiri di hadapan Dava dan melakukan kontak mata dengan pria itu. Bisa-bisa pertahanannya untuk merelakan Dava hancur seketika.

"Sampai kapan pun Lo yang bakal tetap di hati gue, Nil."

Vanilla menggeleng, air matanya semakin mengalir deras. "Baru aja Lo nikah sama Vanessa dan sekarang Lo mendeklarasikan kalau gue satu-satunya orang yang ada di hati Lo? Lo pikir bisa mempermainkan perasaan anak orang begitu saja?"

Hening.

Beberapa detik kemudian, tawa Dava langsung pecah. "Lo percaya sama undangan yang dikasih Vino?" Dava menggelengkan kepala, "ternyata Lo dari dulu gak berubah ya. Tetap gampang di tipu."

"Maksudnya?"

"Undangan itu palsu," sahut seseorang menjawab pertanyaan Vanilla. "Gue sengaja buat undangan itu supaya lo mau datang ke sini."

"Jadi maksud Lo semu ini settingan?"

"Gue beneran nikah, nih buktinya," sahut Vanessa memperlihatkan cincin di jari manisnya. "Dava itu cuma buat Lo, dan gue gak akan ngerebut apa yang harusnya jadi milik Lo. Kita memang kembar, tapi gak semua hal yang Lo punya, harus gue punya juga, kan."

"Nil, semua orang pengin hidup bahagia. Benar-benar bahagia ada hal yang Lo rahasiain dari kita. Udah cukup dengan semua drama di masa lalu. Ini saatnya Lo mengakhiri cerita lama dan memulai cerita yang baru. Life must go on."

Tiba-tiba Dava menarik tangan Vanilla dan menggenggamnya. "Nil, kita mulai semuanya dari awal lagi, mengukir kisah di lembar yang baru, tanpa ada bayang-bayang masa lalu ataupun dendam." Dava mengeluarkan cincin dari saku celananya dan memperlihatkannya persis ke hadapan Vanilla. "Vanilla Arneysa, apa Lo mau menjadi pelengkap dari kekurangan gue, sekaligus teman hidup gue?"

"WOHOOO!!!! TEMAN GUE UDAH GAK JOMBLO LAGI!!!!"

"Gue harap, semua yang terjadi hari ini bisa membayar semua kesedihan yang selama ini Lo rasain, Vanilla. Semoga ini adalah hadiah dari Tuhan atas kesabaran Lo."

Apa yang di katakan Vino semuanya benar. Dirinya sudah dewasa. Sudah seharusnya ia melupakan apa yang pernah terjadi dan memulai semuanya dari awal. Dengan begitu ia bisa hidup tenang tanpa bayang-bayang masa lalu. Maybe it's not about happy ending.

Vanilla menundukkan kepalanya dan membekap mulutnya sembari menangis. Ketika ia mengangkat kepalanya, semua berubah. Ia masih berada di tengah hiruk pikuk tamu undangan yang sedang saling bercengkrama. Alunan musik yang menggema, sorot lampu yang menyilaukan, orang-orang yang membuatnya terasa sesak, Vanessa yang berada di pelaminan sendiri, suara-suara di kepalanya, suara nyari yang memekakkan telinga, semua berbaur menjadi satu.

Kaki Vanilla terasa lemas, untungnya ia segera berpegangan pada meja di belakangnya. Kepalanya terasa sakit, sesak, suara-suara itu kembali menyeruak di pikiran Vanilla, seluruh mata langsung tertuju padanya. Vanilla tidak tahu mana yang nyata mana yang hanya terjadi dalam imajinasinya.

Vanilla mencoba untuk berdiri tegak dan berjalan sempoyongan dengan tatapan yang terus mengikutinya. Beberapa berbisik seolah membicarakan dirinya. Ada pula yang memberikan Vanilla tatapan tajam menusuk dan meneriakinya sebagai seorang pembunuh.

Vanilla mundur perlahan sembari menggelengkan kepalanya, mencoba untuk tetap fokus dan menghilangkan suara-suara di pikirannya itu.

Vanilla membalikkan badannya, "Vanilla...." tegur seseorang membuatnya terkejut.

Suara di kepalanya seketika itu juga sirna. Yang di dengar hanyalah alunan musik yang menggema. Vanilla memperhatikan sekelilingnya. Masih di tempat yang sama, dengan suasana yang sedikit tenang. Vanilla menghela napas lega meski jantungnya berdegup kencang.

Vino berdiri di hadapannya dengan tatapan heran. Ketika Vino baru saja hendak bertanya, Vanilla langsung pergi dengan setengah berlari keluar dari ballroom tersebut. Wajah Vanilla pucat berkeringat, seperti orang yang baru saja bertemu hantu.

"Serius itu Vanilla?" ujar Reza yang entah sejak kapan berdiri di samping Vino. "Kok dia pergi kayak ketakutan gitu? Habis Lo apain?"

Vino memberikan tatapan tajam pada Reza sebelum ia memutuskan untuk menyusul Vanilla yang terlebih dahulu pergi entah kemana.

*****

Hayo pasti kalian bingung sama timeline cerita ini ya?

Selasa, 21 April 2020

If You Know When [TELAH DITERBITKAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang