Setelahnya, gadis itu membasuh wajahnya. Dari gerak-geriknya gadis itu tengah menahan sesuatu. Dan Reysa memukul keramik washtafel, membuat buku-buku jarinya berdarah.

"REYSA!" Renald berlari menghampiri gadis itu. Ia tidak peduli lagi itu adalah toilet wanita. Yang jelas, ia tidak mau kalau gadis itu terus melukai dirinya.

Renald menyentuh lengan gadis itu. Kemudian mengecek luka yang berada dibuku-buku jari. Laki-laki itu menghela napas, kemudian mengangkat wajahnya.

Kedua netra mereka saling bertubrukan. Reysa dengan raut datar, dan Renald dengan raut khawatir. "Gue tau lo emosi. Tapi jangan sakitin diri lo sendiri, ya?"

Kekhawatiran itu membuat Reysa tertawa geli. Gadis itu menarik lengannya, dan segera mencuci darah yang berada disela-sela jarinya. "Harusnya dari awal lo sadar, Ren, kalo lo udah dijodohin."

Reysa jadi merasa seperti dipermainkan. Bahkan Renald tidak memikirkan kedepannya akan seperti apa. "Gue juga nggak akan ribet sama bacotan mereka karena calon tunangan lo."

Rasanya sakit, ketika Reysa menyebut itu. Renald bahkan tidak tahu harus melakukan apalagi. Ia tidak bisa menolak keinginan Shella.

Renald menghela napas. "Katanya lo ada sesuatu yang bisa batalin tunangan gue." Reysa menatap Renald dari pantulan cermin. "Ya udah, lakuin sesuatu biar gue nggak tunangan sama Zeva."

Renald menatap dalam netra Reysa dari pantulan cermin. "Tapi kalo lo nggak suka dan nggak nyaman sama gue, lo nggak perlu lakuin itu."

Itu sepertinya sulit. Reysa merasakan sesuatu yang membuat ia yakin akan melakukan ini semua. Gadis itu berbalik untuk menyentuh bahu Renald.

"Acaranya kapan?" tanya Reysa.

"Malam minggu besok."



****

Reysa mengambil duduk dibangkunya. Hampir seluruh teman kelasnya memandang ke arahnya. Ia menjadi risih karena ditatap seperti itu.

"Rey, tangan lo nggak pa-pa, kan?" tanya Tania yang merasa khawatir dengan keadaan gadis itu.

Reysa tersenyum, lalu menggeleng. "Enggak, kok."

"Kalo gue yang kaya gini, udah nangis kejer pasti." timpal Adel yang tengah meringis memandang beberapa plester yang tertempel pada buku-buku jari gadis itu.

"Lebay lo, ah." Reysa tertawa sembari geleng-geleng. Gadis itu mengecek ponselnya yang sedari tadi bergetar.

Raut wajahnya berubah serius ketika membaca pesan dari si pengirim. Ia mengangkat wajahnya ketika suara guru masuk ke pendengarannya.

"Selamat pagi, semua!" sama bu Endah sembari mengedarkan pandangannya.

"Bu, kan hari ini nggak ada jadwalnya bu Endah." celetuk salah satu dari mereka.

"Saya kesini mau nganterin temen baru kalian." ucap bu Endah. Wanita itu menoleh, dan menyuruh murid baru itu masuk.

Reysa menajamkan pandangannya. Gadis itu mengetuk-ngetuk jarinya, membuat Tania melirik ke arahnya. Ia masih fokus pada murid baru itu.

"Silahkan perkenalkan diri kamu."

Murid baru itu mengangguk. "Perkenalkan, nama saya Regita Vanuela. Pindahan dari SMA 5 Bandung." gadis itu tersenyum tipis.

"Ada yang mau ditanyain sama temen baru kalian?" tanya bu Endah pada murid kelas itu.

Zidan, sang ketua kelas itu mengangkat tangannya. "Ya, Zidan."

"Regi, kenapa paru-paru ada dua?"

Sementara murid lain tampak berseru keras. "Huu... Gombal mulu perasaan!"

"Ya elah, baru juga mau mulai." Zidan mendesah kecewa. Niatnya akan membuat Regita jatuh cinta, malah akhirnya seperti ini.

"Sudah-sudah!" bu Endah ingin sekali mengundurkan diri dari jabatannya menjadi wali kelas mereka. Setiap hari, ada saja yang membuatnya mengelus dada. "Kamu boleh duduk sama Reysa."

Regita tampak mengangguk. Bu Endah pamit setelahnya.

Reysa menopang dagunya. Gadis itu memperhatikan Regita yang tengah menyumpal telinganya dengan airpods. "Gi, lo kenapa sih harus sekelas sama gue?" tanya Reysa. Gadis itu mendesah pelan dengan semua yang terjadi.

Regita berdecak. "Gue aja nggak tau bakalan sekelas sama lo!"

Tania dan Adel saling berpandangan. Kedua gadis itu membalikkan badannya menghadap keduanya. "Lo berdua... saling kenal?" tanya Adel. Jiwa kepo gadis itu sudah meronta-ronta.

"Enggak!" balas mereka bersamaan.

Reysa berdecak. "Lo ngapain sih ikut-ikut?!"

Regita mendengus geli. Gadis itu mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya. Lantas mengulurkannya pada Reysa.

Mata Reysa berbinar. Dengan segera gadis itu meraih dua kaleng minuman soda dari tangan Regita. "Dua doang, Gi?" tanya Reysa yang mebuat Regita berdecak.

"Lo harusnya bersyukur gue mau sedekah sama lo yang sombongnya setengah mampus."

"Sialan!" umpat Reysa. Gadis itu membuka minuman itu, dan segera menenggaknya. "Enak juga ya, barang gratis gini."

Tatapan Reysa teralih pada Tania dan Adel. "Tan, Del, kalo lo berdua mau, dateng aja ke rumah Regita." perintah gadis itu. "Kalo perlu, lo berdua bawa karung buat bawa semua minumannya yang ada di gudang."

"Emang lo kira rumah gue tempat penampungan minuman itu?!" sepertinya Regita harus bisa mengontrol emosi ketika berdekatan dengan gadis itu. Kalau tidak, bisa-bisa ia akan kelewat batas seperti dulu.

Reysa tertawa renyah. "Santai, Gi. Emosi mulu perasaan."

"Kalian kenal dimana sih?" tanya Adel. Gadis itu menopang satu pipinya sembari menatap jenuh keduanya.

"Di alam bawah sadar, Del." balas Reysa ngawur. Membuat Regita menendang betis gadis itu.

Reysa meringis pelan. "Santai, Gi. Kaki gue bukan samsak buat lo tendang-tendang seenaknya." Reysa mengusap betisnya yang tadi Regita tendang.

"Serius, Rey. Gue banting juga pala lo!" ancam Tania yang geram karena gadis itu. Reysa malah tertawa renyah menanggapi ancaman Tania.

"Serem ih, Reysa nggak suka."

"Makanya kalo temenan tuh milih-milih. Jangan yang modelan kaya Echa. Bisa sesek napas lo pada kalo temenan sama dia." sindir Regita.

"Sialan!"

****

Tbc.


DISPARAÎTRE [END]Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ