SEPULUH

23 2 0
                                    

Berapa lama Kayana tinggal di Batang? Lima, tujuh, atau sepuluh tahun? Sudah selama itu tapi baru kali ini ia tahu jika kota kecil yang sangat tenang tersebut memiliki pemandangan yang sangat indah. Dari tempatnya berdiri, hamparan perkebunan teh di bawahnya terlihat seperti karpet hijau yang membentang luas. Saat ini ia berada di halaman belakang Vila Barawijaya bersama delapan rekan kerjanya. Semuanya sedang bersiap-siap di dalam tenda yang baru selesai didirikan. Pagi ini mereka akan mengunjungi wisata Curug Binorong.

Seperti yang dikatakan Samudra, ia tidak kuat harganya kalau harus menyewa keseluruhan vila, memang meski hanya halaman belakangnya saja yang mereka sewa, tapi tetap saja rasanya seperti camping mewah. Bagaimana tidak, mereka mendirikan tenda-tenda di halaman belakang vila yang sangat indah dengan taman mewah yang terawat sempurna namun tak mengurangi nuansa pegunungan yang segar dan alami.

Tenda mereka menghadap ke luar halaman yang tidak berpagar, sehingga langsung dapat menikmati keindahan hamparan perkebunan teh di bawahnya. Suasananya sangat segar dengan hawa dingin yang menyejukkan. Kayana menarik napas dalam-dalam berusaha menikmati kesegaran udara di sana.

"Kay, udah siap?"
Kayana menoleh dan tersenyum tipis melihat Samudra dalam balutan jeans biru pucat dan jaket bomber, rambutnya sedikit basah terkena tetesan embun pagi dari dedaunan. Laki-laki ini sangat tampan, tidak heran jika ia menjadi salah satu idola di kampus.

"Udah, ayo berangkat!"
"Eh, sori, kalau kamu berangkat sendiri aja gimana? Teman-teman ngotot aku harus ikut ke curug. Aku udah nolak tapi mereka terus maksa. Gak enak kalau gak ikut, Kay."

Kayana tersenyum manis dan mengangguk. "Tidak masalah, serahkan semuanya padaku. Bersenang-senanglah."

"Trims, Kay. Aku mengandalkanmu."

Masih mempertahankan senyum manis di bibirnya, Kayana bangkit seraya mengacungkan ibu jarinya.

"Oke, aku berangkat sekarang."

"Hati-hati, jalannya agak licin. Nanti kalau kamu sudah selesai kita belum kembali, tunggu di tenda aja. Kalau butuh apa-apa tinggal ke dapur vila, kita dikasih ijin untuk menggunakannya."

Kayana mengangguk dan beranjak. Seperti yang sudah dijanjikan Samudra, hari ini ia akan memilih langsung bunga-bunga yang akan digunakan untuk mendekor kedai Lincak Teras. Melalui Pak Unu--penjaga vila yang kenal dengan pemiliknya--Kayana akan bertemu langsung dengan pemilik kebun bunga tersebut.

"Mbak Kay sudah siap?" tanya Pak Unu begitu melihat Kayana berjalan mendekat.

"Sudah, Pak. Mari berangkat sekarang."

"Mas Samudra mana? Tidak bareng sekalian?"

"Samudra mau mendampingi teman-teman, Pak, tidak bisa ikut. Saya sama Pak Unu saja yang berangkat."

"Ya sudah, mari, Mbak. Lewat sebelah sini. Tempatnya tidak jauh kok, kita hanya berjalan kaki seratus meter," Pak Unu mempersilakan Kayana keluar melalui pagar kecil di halaman samping. Kemudian mereka sudah berjalan bersisian di antara tanaman-tanaman teh.

"Mbah Muntari itu sudah sejak muda mengelola kebun bunga. Kebunnya juga yang menyuplai toko-toko bunga di kota Batang dan Pekalongan. Meski sudah tua tapi kemampuan merangkai bunganya tidak diragukan," cerita Pak Unu tanpa diminta.

"Khusus untuk kebun bunga krisannya malah dijadikan objek wisata sebelum dipanen. Para pengunjung dapat berfoto-foto di sana. Mbak Kay jangan lupa mampir ke sana, pastikan pilih bunga krisan untuk dijadikan hiasan. Bunganya bagus gede-gede."

"Terima kasih informasinya, Pak. Akan saya pertimbangkan. Oh ya, apakah itu rumahnya?" Kayana menunjuk sebuah rumah yang sudah tampak, dikelilingi berbagai macam tanaman. Halaman belakangnya malah penuh dengan bunga-bunga.

Wanita Senja (TERBIT)Where stories live. Discover now