DUA

689 29 1
                                    

Entah berapa tahun lamanya Devan tak menginjakkan kaki di kota kelahiran Sang Mama ini, sampai rasanya begitu asing. Batang merupakan sebuah kota kecil yang terletak di pesisir pantai utara Jawa Tengah dengan keindahan pantainya. Sekali lagi, ini merupakan sebuah kota kecil, jadi jangan berharap dapat menemukan tempat-tempat hiburan seperti di ibu kota.


Begitu memasuki perbatasan Pekalongan-Batang, Devan meminta Pak Sakri untuk mengelilingi kota tersebut alih-alih langsung menuju rumah Mbah Muntari di daerah Pagilaran. Tidak ada pub tempat ia dan kawan-kawannya berkumpul seperti di Jakarta, jangan berharap di sini dapat menemukan klub-klub malam dan diskotek. Batang benar-benar kota kecil yang sangat tenang. 


Namun demikian, kekecewaan Devan terobati begitu Pak Sakri yang sudah kelelahan menyopir dari Jakarta ke Batang, ditambah harus mengelilingi kota tersebut membawa Devan ke sebuah tempat.


“Aden pasti suka,” begitu kata Pak Sakri sambil membelokkan mobilnya ke sebuah jalan berkerikil yang tidak rata. Pak Sakri merupakan sopir yang sudah bekerja pada keluarga Barawijaya sejak Devan masih kecil, ia asli orang Batang. Para pekerja di keluarganya memang rata-rata dari Batang, Mama yang mempekerjakan mereka, Sehingga Pak Sakri sangat hapal seluk beluk kota tersebut.


Devan membuka kaca mobil, sepanjang perjalanan matanya disuguhi pemandangan indah. Tambak-tambak ikan yang sangat luas dikelilingi tanaman bakau yang tumbuh berjejer dan rapi, hamparan ladang melati, sawah-sawah yang menghijau, hingga perkebunan kelapa. Semuanya tidak dapat dilihat di Jakarta. Samar-samar dari arah berlawanan terdengar deburan ombak. Pak Sakri memang paling tahu jika anak majikannya itu sangat menyukai pantai. Tak butuh waktu lama, begitu mobil berhenti di sembarang tempat, Devan langsung turun sambil mnyandang kamera kesayangannya


“Pak Sakri istirahat aja di mobil, tidak usah ikut turun.” Pesannya sambil lalu.


Kaki Devan yang beralaskan sepatu kets menginjak hamparan pasir yang luas. Sepertinya pantai ini bukan untuk wisata. Sepi dan sangat asri seperti belum terjamah oleh tangan-tangan nakal manusia. Pandangan Devan berkeliling mengamati sekitar, matanya dengan awas mencari spot-spot terbaik untuk diabadikan menggunakan kameranya.


Ia memang sangat menyukai fotografi sejak pertama kali Papa memberikannya sebuah ponsel dengan kamera ketika Devan masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Bakatnya langsung terlihat begitu ia menjepret sebuah objek, setiap hasil bidikannya selalu terlihat sempurna.  Hal itu pula yang mendorongnya untuk kuliah mengambil jurusan fotografi dan berhasil lulus dengan gelar Sarjana Seni, membuat Althair Barawijaya sangat marah.


Itu adalah kali pertamanya Papa sangat kecewa padanya. Sebagai pewaris tunggal Barawijaya, Papa mewajibkannya untuk masuk jurusan Bisnis meski Devan sangat tidak menyukai jurusan tersebut. Papa memang selalu berada di pihaknya, menuruti semua keinginannya, termasuk mendukung hobi fotografi putranya, tetapi tidak dengan pendidikannya. Beliau tidak bisa ditawar lagi ketika Devan protes tidak mau, sehingga dengan amat sangat terpaksa membuatnya masuk jurusan Bisnis.


Bagi Papa, fotografi hanyalah sebuah hobi, dan Papa sangat mendukung hobi putranya. Papa tidak melarang putranya bermain kamera,  tapi tidak untuk ditekuni dan dijadikan pekerjaan. Karena itu Papa sangat kecewa saat tahu diam-diam Devan mengambil dua jurusan sekaligus, putranya itu bahkan lebih mementingkan kuliah fotografinya hingga lulus dan bergelar Sarjana Seni. Namun, menelantarkan jurusan yang diatur oleh papanya.

Wanita Senja (TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang