TUJUH

20 0 0
                                    

Para pelayan hilir mudik mencatat dan mengantarkan pesanan. Kedai Lincak Teras sudah penuh pengunjung, kursi-kursi di tepi pantai pun taka da lagi yang kosong. Dari tempatnya, sambil ngobrol santai bersama Arga sesekali mata Devan melayangkan pandangan curi-curi ke arah Kayana yang tengah sibuk membuat pesanan yang tiada habisnya.

Kayana tampak berhenti sejenak memperhatikan para pelayan yang berlalu-lalang, kemudian matanya beralih ke meja Devan. pandangan mereka saling bertabrakan, Devan dapat merasakan jantungnya tiba-tiba berdentum kencang. Hanya beberapa detik tatapan mereka terkunci satu sama lain, Kayana menjadi orang pertama yang membuang muka.

Gadis itu beranjak dari balik meja, ia mengambil nampan dan meletakkan beberapa jenis minuman yang baru saja dibuatnya kemudian berjalan menuju meja yang ditempati Devan, mengantarkannya menggantikan para pelayan yang sedang sibuk. Di samping Devan, Arga menyenggol lengannya dengan gugup.

“Kay kemari, Dev,” bisiknya dengan nada tak percaya. Tentu saja Devan tahu, ia punya mata dan dapat melihat bagaimana gadis semampai itu berjalan lues ke arah mereka. Ekor kudanya bergoyang-goyang mengikuti gerak tubuhnya.
Begitu mendekat, senyumannya yang teramat manis merekah sangat indah. Devan sampai terperangah melihatnya, sementara Arga sudah panas dingin dihadiahi senyuman seorang Dewi tersebut. Ya, Kayana hanya tersenyum pada Arga! Ia bahkan tak sedikit pun melirik Devan yang berada di sampingnya. Dan, entah mengapa mendadak Devan merasa kesal padanya.

Masih mempertahankan senyum indahnya, dengan cekatan Kayana menata minuman di atas meja dan berucap pelan, “Pesanan lain akan segera tiba.” Giginya begitu putih dan rata. Devan maupun Arga tak merespon ucapan Kayana. Keduanya masih terpana bahkan saat gadis itu berlalu kembali ke tempatnya dengan diiringi tatapan hampir semua pengunjung kedai.

“Ya ampun, dia… dia…” terbata-bata, Arga tersadar terlebih dahulu. Matanya dengan binar tak percaya menoleh ke arah Kayana yang sudah kembali sibuk mengerjakan pekerjaannya. “Kalau dilihat dari dekat cantiknya berkali-kali lipat. Dan, senyumnya itu, woaaahh, beruntung sekali aku mendapat senyumannya!”

Arga terus berceloteh dengan gembiranya, sementara Devan meraih gelas minumannya dengan asal lalu meneguknya pelan. Jujur saja dalam hati ia mengakui kecantikan Kayana, tetapi sisi hatinya yang lain begitu kesal mendapati gadis itu mengabaikannya. Padahal Devan adalah seorang Barawijaya yang sangat terkenal, semua perempuan berlomba-lomba mengejarnya, tetapi Kayana justru seperti tidak menyadari kehadirannya. Ia lebih suka memperlihatkan senyum indahnya pada Arga alih-alih pada dirinya. Ishh, dasar Barbie ngepet! Rasanya panggilan itu lebih cocok untuknya setelah membuat Devan begitu kesal. Ah, mungkin Kayana belum tahu jika ia adalah seorang Barawijaya, batinnya untuk menenangkan kekesalah hatinya.

Devan kembali meneguk minumannya untuk menyembunyikan kekesalannya. Enak, minuman buatan si Barbie ngepet ini enak sekali. Devan mengintip daftar menu yang masih tertinggal di atas meja, minuman perpaduan warna orange dan hitam campuran sirup jeruk dan black berry dengan tambahan soda dan irisan lemon ini namanya es senja lara. Namanya mengingatkan Devan akan keindahan siluman mermaid dengan latar belakang matahari tenggelam. Devan meletakkan minumannya, lalu meraih kameranya dan mengecek hasil foto-fotonya bersama Arga di pantai tadi sore. Dan, entah mengapa ia merasakan sebuah kesedihan yang—entahlah.

“Ga, coba deh amati baik-baik. Lo ngerasain sesuatu gak dari foto ini?” Devan menyerahkan kameranya pada Arga.

“Emangnya ngerasain apa? Ada penampakan serem-serem gitu?” tanya Arga menerima kamera dari tangan Devan dengan kening berkerut.

“Perhatikan saja baik-baik.”

Arga menurutinya, ia mengamati foto tersebut dengan seksama, sesekali tangannya menekan tombol zoom berkali-kali seolah tengan mencari sesuatu yang dimaksud oleh Devan. Namun, hasilnya nihil. Selain foto siluet seorang perempuan berambut panjang yang tengan duduk di hamparan pasir dengan latar belakang matahari terbenam, tidak ada apapun dalam foto tersebut. Arga hanya melihat keindahan, ia tahu Devan sangat pandai dalam mengambil objek, dan itu jelas dirasakannya. Tapi kalau hal-hal mistis yang serem-serem, Arga sama sekali tidak merasakannya. Ia juga sudah memperbesarnya berkali-kali, tapi tidak juga menemukan jenis penampakan apapun di sana.

Wanita Senja (TERBIT)Where stories live. Discover now