15. What Are You Gonna Do Now?

33 4 0
                                    

Alexa membuka pintu apartemen dan mendapati Ava yang tengah mengepak barang-barangnya, sedangkan James hanya bersantai di sofa sambil menoton televisi.

"Akhirnya kau datang juga. Aku sungguh kewalahan." Ava menarik tangan Alexa dan memintanya untuk mulai membantunya.

"Ada James." Ava melanjutkan ucapannya sambil melintasi James tanpa peduli dengan pria itu yang sedang menjarah camilannya yang tersisa.

Alexa memandangi pria itu sejenak lalu mulai membantu Ava mengepak barang-barangnya ke dalam koper. "Selama kau pulang, aku akan kesepian." Gadis itu membuat pembicaraan ringan sambil membayangkan seberapa kesepiannya dia selama ditinggal sahabat yang sangat baik padanya.

"Ada aku," timpal James dengan mulut penuh.

Alexa melempari pandangan datar ke arah pria itu, kemudian kembali mengepak. Sebenarnya, dia ingin menceritakan kejadian hari ini kepada Ava, tetapi dia merasa itu hanya akan menghancurkan kehangatan ruangan ini. Dia selalu merasa takut untuk menceritakan masalahnya kepada orang lain.

Sepanjang Alexa membantu mengepak, dia tak banyak bicara. Sesekali hanya menjawab pertanyaan dari Ava. Diam-diam James memperhatikan setiap ekspresi yang terukir di wajah Alexa. James mencurigai ada yang aneh dengan , namun pria itu tidak berani untuk menanyakannya langsung saat ini. Sebisa mungkin James mencoba mencairkan suasana di dalam ruangan itu dengan lontaran candaannya, meski tak mengubah suasana hati Alexa.

"Selama kau di New York, boleh aku tinggal di sini untuk sementara waktu?" tanya Alexa tiba-tiba, membuat Ava diam sejenak memandangi wanita itu dengan heran. "Aku akan segera mencari tempat tinggal," lanjut Alexa.

"Kau ini bicara apa? Kau bisa tinggal di sini selama yang kau mau. Tidak usah mencari tempat tinggal lain. Tenang saja, aku tidak akan menarifkan biaya sewa padamu. Tinggallah di sini senyaman mungkin. Tidak usah sungkan. Mengerti?" jelas Ava sambil mengepak buku-bukunya kembali. Wanita itu tidak sanggup memandang Alexa, karena itu akan membuatnya menangis.

Alexa meraih tangan Ava dan menggenggamnya erat. Dia menunduk sejenak lalu mengangkat wajahnya menatap Ava dengan hangat. "Terima kasih. Kau baik sekali."

Ava sungguh tak bisa menahan air mata. Ia mengempaskan tangan Alexa. "Kau bicara apa? Jangan buat aku menangis." Dia menyeka air matanya yang nyaris membasahi buku yang dipegangnya.

Melihat drama antara kedua gadis ini membuat James bangkit dari sofa dan merapikan pakaiannya. Pria itu berjalan ke arah pintu tanpa memandangi mereka lagi. "Aku ke kafe dulu." James tahu bahwa ada yang ingin Alexa ceritakan kepada sepupunya, maka dia memilih untuk keluar dari ruangan itu.

"Angkat teleponnya jika kuhubungi!" teriak Ava saat James telah menutup pintu. Pria itu tak menjawab dan pergi begitu saja.

Ava melanjutkan pekerjaannya. Dia juga tahu bahwa ada yang ingin Alexa ceritakan, namun dia tetap tidak ingin menanyakannya. Dia memilih biarlah Alexa bercerita atas keinginannya sendiri.

"Va." Alexa tak memandangi wajah sahabatnya.

"Iya."

"Tadi aku ke rumah Mom." Alexa diam sejenak. "Berandalan itu masih melakukan aksinya kepada Mom." Alexa menghela napas panjang.

Ava menunggu kelanjutan cerita Alexa. Namun, setelah menunggu selama sepuluh menit tidak ada tanda-tanda gadis itu akan melanjutkan ceritanya. "Lalu?" Ava memandang Alexa lekat. "What are you gonna do now?"

Setelah beberapa detik tak menjawab, Alexa menjawab dan membuat Ava terperangah tak percaya atas jawabannya. "I wanna kill fu*king him."

"Are you kidding me?"

"No. I'm serious." Alexa menjauhkan tangannya dari boks lalu mengepal sekuat mungkin untuk meluapkan kekesalannya.

Ava kehabisan kata-kata mendengar pernyataan Alexa. Dia tidak tahu harus melontarkan kata apa, takut-takut salah bicara dan memperparah situasi. Otak Ava bekerja keras mencari pengalihan topik agar Alexa tidak membicarakan hal itu lagi. Setidaknya, untuk hari ini saja, karena besok dia sudah kembali ke New York. "Kau sudah makan?" Akhirnya, Ava mendapatkan pengalihan topik meskipun terkesan disengaja.

Alexa menatap Ava dengan tatapan menusuk. Ava bergidik ngeri melihat tatapan sahabatnya, seperti bukan Alexa yang dia kenal selama ini. Ava merasa Alexa sudah lupa diri. Dia berdiri dalam sekejap lalu menarik tangan Alexa yang masih duduk sehingga membuat gadis itu berdiri dengan sedikit paksaan. "Kau lagi ingin makan apa?" tanya Ava sambil mengenakan jaket bertulisan Boston University.

Tak ada jawaban dari Alexa.

Dalam perjalanan mereka keluar dari apartemen, Ava menyadari tangan Alexa masih mengepal kuat. Dia meraih tangan gadis itu dan memberikan kehangatan seakan mengatakan 'aku ada di sini'. Genggaman tangan Alexa melonggar setelah mendapatkan kehangatan dari tangan Ava. Dia menambah kehangatan itu dengan merangkul bahu Alexa. "Perlu ajak James?"

Alexa mengangguk disertai senyuman tipis, meski terlihat terpaksa. Anggukan itu disambut Ava dengan anggukan pula. "Baiklah. Kita ke kafe dulu biar James mengantarkan kita sekalian." Ava tersenyum meskipun gadis di sampingnya tak bereaksi apa-apa.

Dalam perjalanan ke kafe, ponsel Alexa berdering. Alexa merogoh kantung celananya. Di layar ponsel tertera nama yang tak asing, Emma. Sudah lama sekali dia tak saling bertukar kabar. Alexa juga merasa tak pernah menghubunginya lagi semenjak perpisahan mereka saat Emma kembali Calliforna. Namun, entah kenapa kali ini Alexa sedang tidak ingin mengangkat telepon meskipun dari sahabat kecilnya sekalipun. Suasana hatinya sedang tidak baik-baik saja.

Melihat Alexa yang hanya menatap layar ponselnya dan membiarkan berdering lama, Ava melepaskan rangkulannya. "Angkatlah! Siapa tahu penting," ujarnya.

Alexa mengganti mode dering menjadi senyap, kemudian memasukkannya kembali ke dalam saku. "Aku sedang tidak ingin menerima telepon."

Ava mengangguk paham. Memang terasa sekali suasana hati Alexa.

Tak lama dari itu, seseorang dengan jaket hitam memperhatikan mereka dari kejauhan. Alexa menyadari bahwa dirinya tengah diawasi seseorang. Karena masa kecilnya sering diawasi Nelson, dia menjadi memiliki kemampuan itu, mudah menyadari bahwa dirinya tengah diawasi. Langkahnya terhenti, lalu mencari orang tersebut dengan perasaan gelisah. Dia takut Nelson mengetahui keberadaannya.

Melihat sahabatnya bersikap aneh, Ava menjadi heran sendiri dan mengikuti arah mata Alexa, mencari yang membuatnya gelisah. "What's goin' on?" tanyanya bingung.

Alexa menarik tangan Ava dan mempercepat langkahnya tanpa menjawab. Dengan bingung, Ava pun mempecepat langkahnya hingga kafe Catch You, tempat mereka bekerja.

Suasana kafe yang ramai tidak membuat kegelisahan Alexa mereda. Dia melepaskan tangannya dari lengan Ava lalu berjalan ke balik bar. Di sana Will tengah membuat pesanan minuman. Mata Will mengarah ke samping kiri bawahnya dan mendapati Alexa sudah berjongkok di sana dengan ekspresi takut.

James menyapa Ava yang masih mematung di depan pintu. "Hei!" James mengangkat tangan ke arah Ava, tapi tak disambut oleh sepupunya itu. Dia menghampiri Ava. "Sekarang kau menjadi penjaga pintu?" James terkekeh.

Ava tak hiraukan gurauan James. Dia mendekati James dan berbisik, "Aku merasa ada yang aneh dengan Alexa."

Bisikan itu sontak membuat kening James mengerut, antara terkejut dan tak mengerti apa yang dimaksud oleh sepupunya.

------

Lanjut ke part 16, ya.

------

Hi! I'm back. Setelah hampir satu setengah tahun hiatus, akhirnya kisah ini dilanjutkan juga. Meskipun demikian, terima kasih atas 1K reads, ya. Saya tidak menyangka cerita menggantung ini banyak juga yang membaca. Semoga ke depannya cerita ini bisa saya lanjutkan hingga tamat. Terima kasih sudah sabar menunggu dan berkenan melanjutkan membaca kisah hidup Alexa sebelum sukses menjadi pemilik kafe roof top di bilangan Kota Jakarta.

Ladybird (Alexa Story)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora