6. Under The Same Sky

75 8 0
                                    

Nelson membuka pintu rumah dalam keadaan sempoyongan. Anne yang tertidur di sofa tersentak bangun saat mendengar racauan Nelson. Lelaki itu pulang dalam keadaan mabuk lagi. Sebenarnya Anne sudah jengah melihat suaminya yang seringkali seperti ini setiap pulang kerja. Bisa dihitung dengan tangan berapa kali dia pulang dalam keadaan sadar dan bau alkohol.

Anne beranjak dari sofa dan bergegas meraih suaminya yang sudah tersungkur di lantai. Dia membantu Nelson untuk dipindahkan ke sofa. Bukan hanya aroma alkohol yang menyeruak dari tubuh lelaki berusia hampir lima puluh tahun itu. Bau tembakau terbakar pun terhidu oleh Anne. Dengan telaten Anne melepaskan syal yang masih melilit leher Nelson dan jaketnya.

Saat Anne tengah melakukan rutinitas setiap malam itu, Alexa menyaksikan bakti seorang istri yang kerap dikasari. Dalam hati kecil gadis itu, ingin menjauhkan Anne dari Nelson. Bahkan dia ingin membiarkan lelaki tua itu tersungkur. Alexa sama sekali tidak peduli. Meskipun begitu, kesetiaan Anne tidak dapat hancur hanya karena perkataan Alexa.

Gadis itu melanjutkan langkahnya ke dapur dan meraih gelas kemudian membuka kulkas. Dia mengisi gelas dengan air dingin hingga penuh lalu kembali ke kamar. Baru beberapa langkah, dia kembali lagi dan membuka laci, meraih satu bungkus cookies coklat.

Saat gadis itu kembali ke kamar, Anne menyadari kehadiran anaknya, namun Alexa tidak menoleh sama sekali. Anne merasa anak perempuannya benar-benar tidak peduli lagi dengan ayahnya. Anne meletakkan syal dan jaket tebal Nelson di stand hanger, lalu membuat air madu hangat untuk suaminya.

Anne kepikiran perkataan Pamela yang memintanya untuk berpisah dengan Nelson. Sebenarnya, keluarga Anne sudah sangat membenci Nelson saat mengetahui bahwa lelaki itu kerap melakukan tindakan kekerasan rumah tangga kepada Anne. Namun, entah alasan apa wanita itu memilih untuk mempertahankan pernikahan sialan ini.

Di kamar, Alexa menyalakan radio sambil mengerjakan tugas kuliah yang tadi pagi diberikan oleh dosen. Dia mengeluarkan semua buku dari tas. Matanya terhenti saat melihat buku yang diberikan Marcus. Dia memandangnya sebentar sebelum memasukkannya ke dalam laci yang jarang disentuh. Gadis itu berpikir, tidak ada gunanya juga jika diletakkan di atas meja. Diberikan kepada yang membutuhkan saja tidak boleh. Dia masih belum mengerti alasan asisten dosen itu.

Ketika hendak memulai belajar, terdengar suara nyaring dari luar, seperti suara gelas jatuh dan pecah di lantai. Ingin rasanya keluar dan mencari tahu kebenarannya, namun membayangkan wajah Nelson membuat gadis itu mengurungkan niatnya. Dia tidak ingin bertatap muka dengan lelaki itu. Alexa menaikkan volume radio agar suara bising tidak terdengar dari dalam kamar. Saat ini dia perlu konsentrasi untuk belajar.

Alexa membuka jendela kamarnya sehingga angin malam musim semi masuk ke dalam kamarnya. Dia memandangi langit malam dengan tatapan kosong. Dia tidak ingin berharap, karena seringkali jatuh dan sakit saat tidak tergapai.

Di lain kesempatan, Marcus tengah memandang langit malam sambil menikmati segelas teh hangat. Di depan matanya terbayang wajah gadis ladybird yang berhasil membuatnya penasaran. Dia tidak menyangka akan bertemu di kampus dan mengajar di kelasnya. Sebagai orang yang beragama, Marcus percaya akan takdir Tuhan. Dia berpikir pertemuannya dengan gadis itu adalah jalan Tuhan yang diberikan ke dalam hidupnya. Jika mengingat saat mereka bertemu dan wajah sinisnya, Marcus menyunggingkan senyum.

Lamunan lelaki itu terpecah saat Katerine menghampiri dan duduk di sampingnya. Sebagai saudara kandung yang sangat mengerti kakaknya, Katerine hanya tersenyum ketika melihat kakaknya seperti melamun seorang wanita. "Aku akan bertemu pacarku besok," ucap gadis itu.

Marcus meresponnya dengan santai. "Oh. Berdua saja?"

"Iya. Kau mau menemani?" tanya basa-basi Katerine. Dia juga tidak ingin kakaknya ikut dalam kencannya kali ini, karena yang sudah-sudah selalu menghancurkan suasana.

"Bukankah kau tidak mau aku ikut?" tebak Marcus.

Katerine menyeringai. "Bagaimana pekerjaanmu di kampus?"

"Menyenangkan."

"Pasti banyak mahasiswi cantik. Jurusan tempat kau mengajar memiliki banyak mahasiswi. Ada yang kau suka?" pancing gadis itu.

Marcus menoleh dengan wajah datar. Ada, jawabnya dalam hati.

Katerine membuka buku catatannya dan mencatat beberapa hal di sana. "Esai tentang program mengajar sudah disetujui?" Tiba-tiba dia melemparkan pertanyaan yang juga menganggu pikiran kakaknya.

Marcus terdiam. Dia hampir melupakan esai itu. "Belum tahu."

"Kenapa tidak membuat program di sini saja? Seperti mengajar tentang urban farming misalnya."

"Dad yang menginginkanku menjadi sepeti itu. Dari dulu aku ingin travelling dan mengajar Bahasa Inggris ke orang lain. Membantu mereka untuk bisa bicara Bahasa Inggris," jelasnya. Berkuliah di bidang pertanian memang bukanlah keinginan Marcus. Semua ini adalah keinginan ayahnya, Aldrick Dyer. "Aku ingin melihat budaya baru, orang baru. Kita ini masih muda, Katerine," lanjutnya.

"Yeah, I know. Pergilah ke manapun yang kau mau. Kalau kau sudah menetap dan memiliki kehidupan di sana, aku akan ikut denganmu." Katerine dan Marcus selalu bersama dari kecil. Tak heran jika cara berpikir mereka pun sama. Mereka tidak ingin sepanjang hidupnya didikte oleh orangtua. Oleh karena itu, Katerine adalah satu-satunya orang yang mendukung apapun keputusan Marcus. Karena itulah mereka saling mendukung dan menyayangi satu sama lain. Usia yang tidak terpaut jauh, membuat mereka kerap dianggap sepasang kekasih oleh orang yang tidak mengetahui tentang hubungan mereka sebenarnya.

"Kalau kau ikut, pacarmu akan menangis di pojokan dan memintamu kembali," ejek Marcus.

"Biarkan saja. Dia juga harus belajar menghargai keputusan orang lain." Katerine terkekeh geli membayangkan kekasihnya meraung dan menangis karena dirinya. Terakhir mengetahui lelaki itu menangis saat Katerine tengah melakukan tugas lapangan ke suatu tempat yang sulit mendapatkan sinyal. Sepulang dari sana mereka bertengkar hebat. Katerine dicurigai selingkuh oleh lelaki itu. Hal ini membuat Marcus menggeleng saat mendengar cerita adiknya tentang kekasihnya itu.

Marcus tertawa mendengar jawaban adiknya. "Kate!"

"Iya."

"Menurutmu bagaimana kalau seorang dosen menyukai mahasiswi?" tanya Marcus setelah menyeruput teh yang sudah mulai dingin.

Katerine memiringkan kepala dan berpikir. "Aku pernah baca tentang itu. Menurutku tidak masalah selama mereka saling mencintai." Katerine memasang picingan curiga. "Jangan bilang kau menyukai mahasisiwimu sendiri?" tebak gadis itu.

Marcus tidak menjawab. Lelaki itu menarik napas panjang, mengambil sebanyak mungkin udara musim semi dan masuk ke dalam paru-paru.

Katerine memandangi kakaknya dari samping. Dia teringat terakhir kali Marcus jatuh cinta saat masih duduk di secondary school. Ketika lelaki menyukai seorang perempuan, pasti akan berusaha mendapatkannya. Namun, berbeda dengan cara Marcus. Dia memilih untuk menarik hati perempuan dengan alami dan prestasi yang dia miliki. Dia berpegang pada nasihat Aldrick bahwa perempuan akan mendekati ketika seorang lelaki berkualitas. Oleh karena itu, dia kerap kalah langkah oleh lelaki lain. Perempuan yang disukainya sudah lebih dulu dipikat oleh pria lain.

Marcus memandangi langit malam lagi setelah menghabiskan teh yang ada di dalam cangkirnya. Dia berharap dapat memiliki apa yang diinginkannya, meskipun dia sadar ada satu-dua hal yang tidak dapat tergapai dalam waktu bersamaan. Namun, dia percaya selama yang diharapkannya itu masih berada di bawah langit yang sama. Tuhan akan menumbuhkan harapan itu lagi ketika mulai redup dari pikiran sehingga membuat dia kembali bersemangat untuk berharap.

Marcus dan Alexa berada di bawah langit yang sama dan memandang langit yang sama pula. Mungkin titik yang sama meski dengan harapan dan perasaan yang berbeda.

Kita tidak tahu apa yang terjadi ke depan. Yang kita tahu adalah menggapai harapan dan mimpi yang kita buat. Itu yang dilakukan Marcus dan Alexa meskipun dengan cara yang berbeda.

-------
Terima kasih sudah membaca

Ladybird (Alexa Story)Where stories live. Discover now