5. Save It for Me

72 10 2
                                    

Alexa celingak-celinguk di depan pintu ruang dosen usai makan siang. Dia ditemani Ava yang tengah menyugar rambut.

Saat tengah mengintip dan mencari sosok Marcus di depan pintu, seorang pria mengejutkannya. "What are you looking for?" tanya pria berambut blonde dengan kisaran usia enam puluh tahun. Dia baru saja hendak keluar sambil menenteng dua buah buku dalam pangkuannya.

Alexa terkesiap melihat kemunculan tiba-tiba pria itu. Dengan gelagapan Alexa menunjuk ke arah dalam ruangan. "Mm ... mm ... Mr ... mm ..."

Pria itu menunggu jawaban Alexa. Ava pun ikut gereget melihat gadis itu terbata-bata, padahal hanya dilempar pertanyaan seperti itu saja.

"Mm ... Mr. Dyer." Ava merasa lega saat Alexa berhasil menjawab.

"Oo ... Mr. Dyer. He's over there. Come in!" Pria itu menyilakan masuk lalu pergi begitu saja setelah menunjuk letak meja Marcus.

"Thank you," ujar Alexa sebelum pria itu menjauh.

Alexa masuk ke dalam sendirian, sedangkan Ava memilih menunggu di luar saja. Dia tidak berniat untuk menjadi terkenal di kalangan dosen. Sambil menunggu Alexa, Ava mengeluarkan ponsel beserta earphones. Dia menyalakan lagu yang tengah hit di masa itu, The Sweet Escape dari Gwen Stefani.

Ava menganggukkan kepala sambil bersandar di dinding. Dia memandang ponsel Sony Ericsson K800i miliknya yang saat itu sudah terbilang keren untuk Ava. Baginya, yang terpenting dapat mendengarkan musik dengan suara yang nyaman di telinga.

"Excuse me." Alexa berdiri di samping meja Marcus yang duduk membelakangi gadis itu.

Lelaki itu memutarkan kursinya. Dia sempat terdiam meski beberapa detik saja lalu bersikap wibawa layaknya dosen. "Have you had lunch?" tanyanya sekedar basa-basi.

"I have." Gadis itu mengangguk.

Mereka terdiam. Alexa menunggu dosen pengganti ini menyampaikan maksudnya, sedangkan Marcus bingung memulai pembicaraan. Sambil menunggu lelaki ini bersuara, Alexa menyapu pandangan ke sekeliling ruangan. Tidak begitu banyak dosen di ruang itu, mungkin karena masih jam istirahat dan mereka tengah makan siang di luar atau memang tidak ada jadwal perkuliahan.

Marcus berdeham, membuat Alexa tersadar dan matanya kembali ke arah dosen pengganti itu. "Do you remember me?" tanyanya spontan.

Alexa berusaha memanggil ingatannya namun tidak ditemukan juga. "I'm sorry, Sir. I don't," jawab Alexa dengan ekspresi bersalah.

Lelaki itu mengangguk. Dia merasa mungkin memang tidak ada sesuatu yang patut untuk diingat. Pertemuan yang tidak disengaja dan tidak begitu meninggalkan kesan untuk gadis di hadapannya. Dia memberikan sebuah buku berjudul Farm City, percis dengan yang Alexa punya.

"For what?" tanya Alexa tidak mengerti. Seingatnya, dia tidak pernah meminta buku dari asisten dosen ini.

"Take it on!" perintahnya.

"But, I have one. You can give this to another student who cannot buy this book." Alexa menyodorkan kembali buku itu kepada Marcus.

Marcus hanya diam, tidak merespon ucapan Alexa. Dia pura-pura sibuk dengan buku yang ada di hadapannya. "You can go back to class," perintahnya.

"Ok, Sir. May I would give this book to another student who cannot buy," ujar Alexa sekali lagi untuk memastikan sebelum meninggalkan ruangan itu.

Namun, baru saja gadis itu membalikkan badan, Marcus bangkit dari kursi dan berkata, "I beg you to save it for me."

Mata mereka bertemu dan beradu seakan tengah berdebat untuk alasan atas buku ini. Bagi Alexa, akan sia-sia jika dia tidak memberikannya kepada orang lain karena dirinya sudah punya satu. Tetapi, bagi Marcus, dia tidak peduli. Dia hanya ingin gadis itu menyimpannya. Tidak dipakai pun tidak masalah.

Marcus berdiri tegap di hadapan Alexa sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Badannya yang tinggi membuat Alexa rela mendongak sedikit. "Please, save it! Even though you don't use this book at all," pintanya sekali lagi dengan nada lembut."

Tanpa protes, Alexa mundur perlahan meninggalkan lelaki itu. Di luar ruangan, dia termenung sesaat mengingat ekspresi Marcus saat memohon padanya. Dia tidak menyangka ada asisten dosen yang memohon kepada mahasiswa hanya sekedar perkara buku kuliah saja. Dia menepuk pipi sendiri untuk membangunkannya dari mimpi. Namun, dia tidak tengah bermimpi. Ini kenyataan.

Melihat sikap Alexa yang aneh, Ava melepaskan earphones dari lubang telinga. "What's wrong?" tanyanya  sambil melirik ke dalam ruangan. Dari luar, dia bisa melihat Marcus tengah berdiri menatap ke arah pintu. Dia semakin bingung. "Alexa, tell me! What's wrong?"

Tanpa jawaban, Alexa meninggalkan ruangan itu. Dengan setengah sadar dia berjalan di lorong yang sepi. Dari belakang, Ava mengejarnya dan berusaha mencari tahu penyebab perubahan sikap temannya. Tanpa bertanya lagi, dia berjalan di samping Alexa. Percuma saja bertanya saat ini, tidak akan dijawab karena sedang setengah sadar.

Dalam perjalanan ke kelas berikutnya, Ava berpikir tidak mungkin menuju kelas dengan keadaan Alexa seperti ini. Dia menarik kawannya untuk duduk di kursi. Dengan keadaan bingung, Ava bersandar sejenak sambil melihat orang hilir mudik di depannya, bahkan ada yang bersepeda. Dia jadi ingin naik sepeda ke kampus.

"Why?"

Ava menoleh saat mendengar suara Alexa. "What?"

"Ava, listen to me!" Alexa memutar badannya sedikit menghadap kawannya. "He gave me this book." Alexa mengangkat buku yang diberikan Marcus tadi.

Ava meraih buku itu. "For what?" Dia pun ikut kebingungan.

Alexa mengedikkan bahu. "He said, I just save it for him. When he said that, his eyes killed me."

Ava tahu bahwa Alexa sedang melebih-lebihkan sikap lelaki itu. Bagaimana mungkin lelaki tampan bisa menatap wanita dengan tatapan yang bisa membunuhnya. Apalagi bola mata kebiruannya, sulit untuk tidak terpikat kepada dosen pengganti itu.

"Tunggu, rasanya aku pernah melihat dia," ujar Alexa.

Ava menunggu ingatan kawannya sambil memainkan ponsel dan bersenandung pelan lagu Stupid Girls dari Pink.

"Ah, aku ingat. Dia itu pria yang di lapangan itu," ujar Alexa membuat Ava menoleh seketika.

"Siapa?"

"Ternyata aku pernah bertemu Mr. Dyer sebelumnya. Pantasan dia tanya apakah aku ingat." Alexa bersemangat karena mendapatkan klu dari teka-teki ini, namun dia masih tidak mengerti alasan lelaki itu memberikan buku yang sudah dia punya. Bahkan, tidak boleh diberikan kepada siapapun.

"Kau pernah betemu dengannya sebelumnya?" Ava memastikan bahwa Alexa tidak sedang bermimpi.

Alexa mengangguk. Dia menceritakan kejadian di belakang rumah Emma beberapa waktu lalu dan tentang keluarga Dyer berdasarkan cerita dari Emma sebelumnya. Ava menyimak cerita Alexa dengan antusias. Dia sudah menduga bahwa lelaki ini memang cerdas, terlihat dari raut wajahnya.

"Jika aku jadi Emma saat itu, mungkin aku akan percaya dengan ceritamu dan kita cari tahu sama-sama siapa pria itu," ujar Ava merespon penjelasan Alexa.

Meskipun Ava baru dikenalnya beberapa hari, Alexa merasa cocok dengan pertemanan ini. "Ternyata dia." Alexa puas dengan penemuannya hari ini. Setidaknya, dia bisa memecahkan rasa penasarannya.

"Jangan-jangan dia menyukaimu, Lex." Ava menyikut lengan Alexa.

Alexa beranjak dari kursi. "Jangan bicara sembarangan. Tidak mungkin itu terjadi." Alexa meninggalkan Ava yang masih duduk di kursi.

Dengan sigap Ava mengejar Alexa dan mulai menggodanya. Dia berharap dugaanya itu benar. Lumayan juga jika punya teman yang memiliki kekasih seorang dosen. Setidaknya bisa minta diajarkan jika ada materi yang belum mengerti.

-------
Dugaan Ava benar nggak, ya?
Enggak mungkin, ya? Masa asisten dosen suka dengan mahasiswa? 😁

Terima kasih sudah membaca.

Ladybird (Alexa Story)Where stories live. Discover now