Sudah seminggu Alexa menjalani hari sebagai mahasiswi Universitas Boston. Dia merasa harinya lebih berwarna setelah mendapat teman baru satu kelas, Ava Miller. Karakter Alexa yang mudah bergaul dengan siapa saja membuat gadis itu tidak mengalami kesulitan dalam mencari teman baru dan beradaptasi. Setidaknya, kesuntukkan hatinya di rumah bisa terobati dengan pergaulan di luar rumah.
Selain berkuliah, Alexa ikut kegiatan radio di kampus. Meskipun anak baru, Alexa cepat mempelajari teknik announcer. Bergabung di komunitas ini benar-benar mengubah kehidupan gadis itu. Dia bahkan lupa dengan sahabatnya di Jakarta, Barina, Nare, Mili, Ranita, Karmila dan Nurulia. Kebiasaan ini membuat Barina mulai diserang khawatir terhadap gadis itu.
"Hari ini Profesor Stanley tidak masuk," ujar Ava sesaat duduk di samping Alexa. Dia mengeluarkan lipstik merah maroon dari dalam tas dan mengoleskannya di bibirnya yang tebal. "Aku sudah bahagia sekali hari ini tidak ada kelas, tetapi ada pengganti Profesor," jelas Ava dengan aksen New York.
Alexa hanya tersenyum mendengar kawan barunya itu menggerutu.
"Kabarnya pengganti profesor Stanley ini masih muda. Ya ... tidak jauh dari usia kita." Ava mengaplikasikan bedak yang tersisa pada spons lalu menyugar rambut sebahunya. Mungkin saja di dalam tasnya hanya ada perlengkapan berias saja.
"Kau jalan kaki tadi?" Alexa memandang Ava dengan ekspresi bingung. Setiap hari, dia kerap melihat Ava berias di kelas. Padahal penampilannya masih terbilang rapi.
Ava menoleh sesaat lalu melanjutkan berias. "Pertanyaan macam apa itu? Jelas aku jalan kaki. Apartemenku dekat dari sini." Gadis itu memasukkan kaca, lipstik dan spons ke dalam tas. "Oh, ya. Kau belum pernah ke apartemenku. Kapan-kapan ikutlah!" Ava melontarkan senyum dengan bibir yang dipenuhi warna merah maroon yang sedikit tebal.
"Ok."
Mahasiswa bergegas duduk di kursi masing-masing ketika seorang lelaki masuk ke dalam kelas. Alexa mengeluarkan buku dan sebuah pulpen.
"Good morning, everyone!" sapa lelaki muda yang kesempatan ini bertugas menjadi pengajar.
"Good morning," sahut mahasiswa di kelas Farm City.
"Profesor Stanley tidak bisa hadir karena istrinya harus menjalankan operasi hari ini." Asisten dosen itu menyapu pandangan ke sekeliling kelas.
Mata Alexa membesar ketika pandangannya bertemu dengan mata asisten dosen itu.
"Baiklah, sebelum mulai perkuliahan, perkenalkan nama saya," lelaki itu berbalik badan dan menghadap papan tulis. Dia menuliskan namanya di sana. "Marcus Dyer." Dia menghadap ke mahasiswa lagi. "Saya dari London dan sekarang tinggal di Boston bersama keluarga."
Mahasiswa riuh ketika mendengar asal asisten dosen itu. Aksen London Marcus yang kental membuat lelaki itu terlihat seksi di mata mahasiswi. Apalagi penampilannya terbilang layaknya model. Badannya tegap dengan dada yang bidang, rambut klinis, mata agak kebiruan dan cambang tipis yang membuat wajahnya terlihat tampan.
"Do you have a gilfriend, Sir?" tanya seorang mahasiswi berambut pirang yang duduk tidak jauh dari Alexa. Matanya nampak berbinar.
Marcus menjawab hanya dengan senyuman lalu beralih ke buku yang dipegangnya. "Ok, saya absen dulu." Dia menyebut nama mahasiswa satu persatu. Mahasiswa pun mengangkat tangannya saat dipanggil. Saat memanggil nama Alexa, gadis itu mengangkat tangannya. "Gotcha," lirih lelaki itu.
Usai mengabsen, Marcus memasukkan flash disk ke dalam komputer yang tersedia. Dia membuka slide berisikan materi yang terpampang di papan tulis putih dengan bantuan proyektor. Sebelum menjelaskan materi, dia melemparkan pertanyaan tentang materi tersebut untuk mengukur kesiapan mahasiswa dalam kelas ini. "Does anyone know what are benefits of urban farming?"
Mahasiswa terdiam. Marcus menyapu pandangan sekeliling kelas, memandang satu persatu dari mereka. Satu pun tidak ada yang berusaha mengangkat tangan untuk menjawab pertanyaanya. Namun, hanya beberapa mahasiswa saja yang fokus terhadap mata kuliahnya. Sebagian lagi ada yang menunduk karena takut disuruh menjawab, ada yang berpura-pura menulis, bahkan ada yang tertidur. Pandangannya berhenti pada sosok Alexa yang tengah membuka modul yang minggu lalu diberikan oleh Profesor Stanley. "Anyone?" Dia memastikan sambil memandangi Alexa. "Ya, you!" intruksinya sambil menunjuk ke arah Alexa dengan pulpen gel hitam di dalam genggamannya.
Ava menyikut Alexa yang tengah membaca modul. Gadis itu terkesiap ketika merasa tangannya mendapatkan sikutan keras. Dengan tatapan mata Ava memberi tahu apa yang terjadi. Alexa memutarkan pandangan ke depan. Seketika itu beberapa pasang mata mengarah kepadanya.
"Me?" Alexa menunjuk diri sendiri untuk memastikan bahwa asisten dosen itu tidak salah orang.
"Yeah, you. Go ahead!" Marcus mempersilakan Alexa untuk menjawab.
Alexa gelagapan karena merasa dirinya tidak mengangkat tangan. "But, I didn't raise my hand," sanggahnya, berusaha menyelamatkan diri.
"Do you know the answer?" tanya Marcus dengan sikap wibawa.
"I do," jawab Alexa ragu.
"Go ahead!"
Alexa kebingungan. Dia tidak mengerti dengan sikap lelaki itu. Tanpa protes lagi, gadis itu menjawab pertanyaan yang diajukan oleh Marcus. Untung, minggu lalu dia sempat mencatat penjelasan dari Profesor Stanley. "Benefits urban agriculture is positive in several ways: it increases food security among the urban poor; creates a sense of belonging in the community; gives us vitamin-dense foods we can respect; provides urban dwellers a learning opportunity; and makes efficient use of the land.(1)" Alexa menjawab sesuai dengan yang ada di modul.
"Thank you." Marcus mulai menjelaskan materi Farm City. Saat memberikan materi perkuliahan, karisma lelaki itu mencuat. Caranya menjelaskan dengan gestur tubuh yang elegan membuat sepasang mata beberapa mahasiswi tak luput dari asisten dosen itu, termasuk Ava.
"Tidak sia-sia aku berias maksimal. Kalau dosennya seperti ini, berapa jam pun kelasnya, aku ikuti. Tidak bosan mataku memandangnya," ujar Ava sambil menopang dagu dengan kedua mata yang membulat.
Alexa mendelik ke arah gadis itu dengan kening mengerut lalu kembali memperhatikan penjelasan Marcus. Jika dilihat lagi, dia sepakat dengan perkataan Ava. Meskipun usia lelaki itu terbilang muda untuk ukuran seorang pengajar di universitas, gestur tubuhnya membuat lelaki itu terlihat wibawa.
Saat Alexa tengah memperhatikannya, tiba-tiba mata mereka bertemu. Alexa segera membuang pandangan dan berpura-pura melihat modul. Dia tidak mau disuruh menjawab lagi.
Marcus berhasil mengunci mata Alexa meskipun beberapa detik saja. Dia tersenyum dan kembali menjelaskan.
Usai perkuliahan, Marcus dikerumuni beberapa mahasiswi untuk sekedar basa-basi bahkan meminta slide materi yang tadi disampaikan. Ava pun berniat ingin melakukan hal tersebut tetapi karena melihat Alexa tidak berminat sama sekali, dia mengurungkan niatnya.
"Kau mau makan siang apa?" tanya Ava saat melewati kerumunan mahasiswi.
Marcus melihat kedua gadis itu melewatinya tanpa menoleh. Sebelum mereka menjauh, dia mengejarnya saat mereka baru tiba di depan pintu kelas. "Wait!"
Ava dan Alexa menghentikan langkah dan berbalik badan.
Marcus menghampir mereka. Dia berkata kepada Alexa, "Setelah makan siang, Anda ke ruangan saya. Ada yang mau saya bicarakan."
Alexa menyanggupi begitu saja tanpa menanyakan alasannya.
Setelah mengatakan itu, Marcus kembali ke kerumunan mahasiswi.
"Ada apa, ya?" tanya Ava kepada Alexa.
Alexa hanya mengedikkan bahu.
---------
Terjemahan:
(1): Pertanian perkotaan memiliki hal positif dalam beberapa hal: meningkatkan ketahanan pangan di antara kemiskinan pada perkotaan; menciptakan rasa memiliki dalam komunitas; memberikan kita makanan yang kaya vitamin yang dapat kita hargai; memberi penduduk perkotaan kesempatan belajar; dan memanfaatkan lahan secara efisien
---------Kalau kalian punya dosen tampan seperti itu, bagaimana?
Terima kasih sudah membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ladybird (Alexa Story)
RomanceHiatus Alexa hidup dari orang tua yang tidak harmonis. Dia kembali ke Boston hanya karena permintaan tantenya, Pamela untuk menjaga Anne, ibunya yang kerap mendapatkan kekerasan dari Nelson, suaminya. Untunglah, Alexa mendapatkan beasiswa dari Univ...