9. It is Mine

57 9 0
                                    

"Ava, ini punyamu?" tanya Alexa ketika mendengar suara pintu terbuka. Dia berdiri di atas sofa dengan kedua lutut.

Ava tertegun sejenak melihat apa yang ada di tangan Alexa. "Apa itu?" tanya Ava balik seraya melepas syal dan menggantungkannya di stand hanger. Matanya tidak bisa menangkap jelas benda yang ada di tangan temannya.

"Harmonika."

"Harmonika?" Ava mengulang ucapan Alexa. Dia mendekati Alexa dengan satu makanan ringan, dua kaleng minuman bersoda dingin dan memberikan satu kepada Alexa. Gadis itu duduk di samping temannya. Dia menyambar benda itu dan mengamati setiap sisinya. "Aku tidak pernah punya harmonika," ujarnya.

"Aku menemukannya di balik selimut itu." Alexa memberitahu seraya membuka minuman kaleng dan terdengar bunyi desisan soda yang membuat tenggorokan menjadi haus. Dia meneguk minuman itu sekali lalu mendesah nikmat. Minum minuman bersoda malam-malam terasa nikmat, apalagi jika diselingi barbeque.

Ava menyimpan benda itu di sampingnya lalu mengikuti Alexa membuka minuman soda. "Sepertinya punya James. Kalau tidak salah aku pernah lihat dia bermain harmonika waktu kecil. Tetapi waktu itu dia masih belajar. Aku kira dia tidak melanjutkan bermain harmonika."

Alexa hanya mengangguk mendengar cerita temannya. Kedua matanya fokus ke televisi. Sesekali dia tertawa saat sitkom menampilkan adegan lucu.

"I like Ted," ujar Ava tiba-tiba.

Alexa menoleh dan menaikkan sebelah alis. "Kau mengikuti serial ini?"

"Tidak begitu. Tetapi aku suka Ted. Tampan."

Alexa mengulum senyum dan meneguk minuman sodanya lagi. "Kau nampak sangat dekat dengan James. Aku kira dia kekasihmu." Alexa membuka pembicaraan.

Ava terkekeh mendengat ucapan Alexa. "Kalaupun dia bukan sepupuku, aku juga tidak akan berpacaran dengannya."

"Kenapa?"

"Dia itu konyol."

"Konyol?"

"Bayangkan saja, dia lebih mementingkan passion, padahal masa depan sudah di depan mata." Ava menggeleng, mengingat empat tahun lalu saat James dan orangtuanya berdebat hebat saat Ava dan keluarga sedang berlibur di Perancis. Ayahnya James menginginkan anak lelakinya untuk meneruskan perusahaan parfum yang sudah digeluti ayahnya belasan tahun, namun James bersikeras untuk memilih jalan passion-nya sendiri menjadi seorang barista. Dengan berat hati orangtuanya mengizinkan keinginan lelaki itu.

"Maksudnya?" Alexa tidak mengerti.

"Susah kalau mixed-blood. Karakternya campur-campur," lanjut Ava.

Alexa merasa tersindir. "I'm mixed-blood."

Ava terbelalak. Satu sisi dia memang terkejut, sisi lain dia merasa salah ngomong. "Oh, ya?"

"Ya. Ayahku Boston, ibuku Jerman."

"Maksudku dia mixed race," sanggahnya. "Amerika dan Eropa masih mempunyai karakter dan budaya yang hampir mirip," lanjut Ava sekedar membela diri agar tidak merasa canggung.

"James bukannya Amerika-Eropa juga?"

Ava menggeleng. Dia meneguk tegukkan terakhir minuman soda. "Ayahnya James juga mixed race. Kakek dari ayahnya orang Perancis, sedangkan nenek dari ayahnya orang Indonesia. Ayahnya dididik dengan budaya Indonesia yang kental. Sebenarnya usaha ayahnya James itu perusahaan turunan dari kakeknya. Bisa dibilang, ayahnya punya nasib yang sama dengan James. Perbedaanya, ayahnya tidak bisa setegas James dalam menentukan mimpinya. Ayahnya memilih untuk mengikuti kemauan orangtuanya untuk meneruskan perusahaan parfum mereka."

Ladybird (Alexa Story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang