Empat Puluh Dua - Rumit

739 71 31
                                    

Kania terdiam sepanjang perjalanan pulang. Sebenarnya ia sangat senang karena bisa bertemu Papa Aldan lagi, namun di satu sisi Kania juga bersedih karena mengingat teman-temannya yang kini mulai menjauh. Kania benar-benar takut bila nanti mereka tidak akan menerima Kania lagi. Ia belum siap menerima cibiran dari orang lain bahwa ia sekarang tidak punya teman.

Ya iyalah Kania kan cewek rese plus menyebalkan di sekolah! Dia selalu menang-menangan, sok cantik, bertingkah seenaknya pada siswa yang lemah. Intinya, Kania dulu suka menindas! Sekarang apa yang terjadi? Benar ya kata orang kalau roda kehidupan itu berputar, dan itu yang sedang Kania rasakan saat ini.

"Kania, kamu kenapa sayang?" Sharena melihat wajah Kania melalui kaca mobil yang terpantul di atas. Wajah gadis itu tampak murung.

Aldan yang sedang menyetir pun refleks melihat ke arah Kania, "Kamu nggak senang Papa pulang?"

"Bukan gitu," Kania menjeda ucapannya sejenak, "Gimana ya ngomongnya ..."

"Ada apa? Bicara saja Kania, kami pasti akan mendengarkanmu dengan baik," ucap Sharena yang langsung dibalas anggukan oleh Aldan.

Akhirnya Kania pun bercerita. Mulai dari Niar dan perlakuan kedua orang tua Niar kepadanya, Ella, Yola, hingga geng Kak Afredo yang kini mem-bully Kania. Ia bercerita dengan mata berkaca-kaca, tak sadar air matanya pun menetes. "Ma, Pa, sekarang cuma Kemal yang belain Kania, itu aja jarang. Kemal juga nyebelin, dia juga suka maki-maki Kania. Gak ada yang sayang sama Kania ..."

"Sssttt ... tidak ada yang menyayangimu? Benarkah? Lalu kami ini apa? Seruni? Dan bayi yang ada dalam kandungan Mama Sharena, ada lima orang yang akan terus menyayangimu di dunia ini, Kania."

"Lima? Bukannya empat?" pertanyaan Sharena membuat Aldan mengulas senyum. "Empat adalah kami, lima dengan dirimu sendiri. Benar kan?"

Kania mengangguk membenarkan meski dalam hatinya ia merasa sangat sedih. Ia ingin kehidupannya kembali seperti dulu. Memiliki banyak teman, pengagum rahasia dan yah ... beberapa kesenangan seperti yang dilakukan remaja pada umumnya.

"Ma, Pa, Kania takut buat balik lagi ke sekolah. Kania mau pindah aja ya? Boleh?" rengeknya.

"Pindah?" Sharena melirik ke arah Aldan, "Bagaimana?"

"Dulu kamu mati-matian menolak pindah dari sekolah itu, tapi sekarang?" Aldan menjeda ucapannya ketika harus melihat ke arah spion. "Kalau dipikir lagi, sebenarnya semua masalah itu ada jalan keluarnya Kania."

"Jalan apalagi Pa? Semuanya udah buntu! Nanti kalau Niar udah balik lagi ke sekolah pasti Kania makin banyak yang ngehujat, semua orang benci sama Kania ..." Kania makin tersedu-sedu.

Sharena tidak tega melihat kondisi puterinya sekarang. Ia tidak mau Kania terus menerus merasa sedih. Sebagai ibu kandung yang merawat Kania sejak kecil, Sharena bisa dibilang sangat mengerti Kania. Bahkan saat dunia menjauhi puteri kecilnya, Sharena tak akan tinggal diam. Hatinya begitu sakit mengetahui anaknya larut dalam berbagai masalah sendirian.

"Sayang?" Aldan menyentuh perut buncit Sharena, "bagaimana kalau kita selesaikan masalah ini sekarang?"

"Aku tidak mau melihat Kania menangis seperti itu, Aldan, kita pindahkan Kania ke sekolah lain. Bagaimana menurutmu?"

Aldan menggeleng, " aku yakin dia tidak akan nyaman. Rasanya berbeda sayang, dengarkan ucapanku."

"Aldan, lihat apa yang terjadi pada Kania sekarang!" Sharena sedikit meninggikan suaranya.

"Pergi bukan satu-satunya jalan, pindah sekolah bukan cara terbaik untuk lari dari masalah, Sharena."

"Oh ayolah ... berhenti berpikiran konyol Aldan! Aku tidak pernah mengerti bagaimana caramu menghentikan semuanya yang serba rumit ini!"

"Ma!" Kania berteriak, "Papa ada benarnya juga. Seharusnya Kania gak berpikiran buat pindah sekolah. Mereka adalah teman-teman baik Kania, Ma ..."

Sharena menghembuskan napas berat, "lalu sekarang apa?"

"Bagaimana kalau kita sekarang pergi ke rumah sakit? Kita bicara baik-baik dengan Niar dan keluarganya?" tawar Aldan yang langsung dibalas anggukan oleh Sharena dan Kania.

***

"Ruang Amarillys tapi nomor kamarnya Kania lupa," ucap Kania pada Aldan yang kini mendorong kursi rodanya. Sharena berhenti di depan ruang pendaftaran, ia bertanya pada petugas tentang Niar, setelah mendapat informasi mereka bertiga langsung naik lift  untuk menuju kamar rawat inap Niar.

Di depan kamar, ada beberapa pasang sepatu yang tidak asing bagi Kania. Ia lantas curiga, dan ketika pintu kamar terbuka, Kania, Aldan dan Sharena dibuat terkejut karena di sana ada beberapa teman-teman sekelas Kania.

Di sana juga ada Kemal, Ella dan Yola.

"Kania, Om, Tante ..." Kemal mencium tangan Aldan dan Sharena. "Kemal kok nggak langsung pulang malah ke sini dulu sih," goda Aldan sembari mencairkan suasana.

Kania menatap wajah mereka satu-persatu khususnya Niar. Gadis yang kini duduk di atas bangsal dengan infus yang masih menempel itu menyunggingkan senyum ke arah Kania. "Akhirnya Kania dateng juga, gue kangen banget sama lo Kaniaaa ..."

Kania tersenyum tipis, Aldan mendorong kursi roda Kania mendekat ke arah Niar agar mereka bisa saling bicara. "Gue ... juga kangen sama lo ..." ucap Kania pelan.

"Maafin gue ya Kania, maaf gue udah bikin lo sakit hati waktu itu. Tapi seriusan deh waktu itu lo salah paham."

"Niar," sela Tante Irma, mamanya Niar.

"Iya Ma?"

"Kamu nggak seharusnya minta maaf ke dia loh Niar, benar kan Ella?" Tante Irma mengalihkan pandangan ke arah Ella yang kini hanya diam menunduk.

"Tapi Mama gak tau apa yang sebenarnya terjadi, Ma."

"Jangan kamu anggap Mama diam saja ketika ada bocah gila yang menginjak harga diri kamu, Niar!" Tante Irma melotot ke arah Kania dan Aldan. Sharena yang melihat hal itu lantas berucap, "Bu Irma, Anda tidak seharusnya berteriak di depan anak dan suami saya."

"Kenapa memangnya Bu Sharena? Seharusnya Anda didik Kania agar jadi anak yang lebih berguna, bukannya merepotkan orang lain!"

Plakk!!!

Napas Sharena memburu, ia baru saja menampar Tante Irma di depan semua orang. Jelas ia tidak terima bila Kania dimaki-maki seperti itu!

"Sayang, sudah hentikan!" Aldan menarik Sharena menjauh dari Tante Irma.

"Ma, Mama!" Niar hendak turun dari bangsalnya, namun Ella dan Yola mencegahnya.

"Pergi kalian bertiga dari sini! Jangan pernah kembali ke kehidupan kami lagi!!!" murka Tante Irma. Semua orang yang ada di sana hanya terdiam menyaksikan drama antar keluarga itu.

"Bu Irma keterlaluan sekali! Padahal Anda sama-sama punya anak perempuan, bagaimana jika Niar dicap sebagai anak tidak berguna padahal ketika lahir banyak harapan yang ditanamkan kepadanya!"

"Sudah sayang, ayo ..." Aldan menarik Sharena dan hendak mendorong kursi roda Kania. Sharena pergi lebih dulu meninggalkan kamar, Kemal menawarkan diri untuk mendorong Kania ke luar, kini hanya tersisa Aldan.

"Kami minta maaf bila mengganggu Bu Irma dan Niar, tapi niat kami datang ke sini untuk bicara baik-baik tentang masalah ini. Namun nyatanya Bu Irma malah lebih dulu menyulut emosi istri saya. Mohon maklum Bu, Sharena hamil besar jadi ia lebih sensitif. Saya permisi dulu."

Setelah Aldan pergi, Niar hanya bisa menangis dan menatap sosok mamanya dengan perasaan kesal.

***

Oiya kalau kalian mulai bingung sama ceritanya, bisa dibaca ulang aja karena alurnya emang maju mundur hehe :D

Dibaca ulang, kalau belum di vote silakan vote dulu. Kalau ada kritik saran silakan komentar yaa

Jangan lupa vote bagian ini biar aku lebih semangat nulisnya :)

My Cool DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang