Empat Belas - Hari yang Berat

1.1K 156 118
                                    

Semalam Kania sudah kembali sadar. Namun karena keadaannya belum pulih benar, ia tidak di izinkan untuk pulang dan menjalani aktivitas seperti biasa. Semalaman itu pula Aldan yang bertugas menjaga Kania menggantikan Sharena. Tentu saja itu bukan permintaan Sharena, hanya saja Aldan tidak mau Sharena kelelahan jika harus merawat Kania semalaman penuh.

Pagi-pagi sekali, Ella datang bersama Bu Anis. Benar-benar pemandangan yang sangat langka. Mungkin selama hidupnya, Kania tidak pernah melihat Ella berjalan beriringan bersama manusia yang mereka panggil dengan sebutan "hama".

"Selamat pagi Kania ..." guru muda itu menghentikan ucapannya, ia menatap Aldan dengan pipi yang merona.

Aldan yang sudah paham dengan perilaku Bu Anis hanya mengangguk lalu menarik sebuah kursi, mempersilakan Bu Anis duduk. Seperti ketiban durian runtuh di pagi hari, Bu Anis hendak berteriak histeris. Ia seperti seorang fangirl yang baru pertama kali bertemu biasnya.

Kania yang melihat hal itu hanya bisa menghela nafas panjang. Jika ia sehat hari ini, mungkin guru itu sudah tuli karena overdosis caci-maki dari muridnya sendiri.

"Heh elo, sini!" Kania melambaikan tangannya ke arah Ella, gadis itu mendekat.

"Lo kemana kemarin malem? Gue panik, bego!"

Ella menggulung ujung dasinya seraya menggigit bibir, "gue balik duluan, yang lain kan masih ada di dalem. Kenapa lo nggak cari Niar atau Yola?"

"Lo balik nggak bilang gue, Njing!" Kania menekankan suaranya, pertanda ia kesal. "Lo ngapain kesini sama Anis? Doi kangen gue ya?!" Kania menarik pergelangan tangan Ella dengan kasar.

"Ssstt ... Kania, satu-satu dong kalau ngasih pertanyaan. Lo macem detektif yang lagi mengintrogasi saksi tau nggak sih?!" Ella terlihat kesal, ia menggoyang-goyangkan badan.

"Buset! Tuh tete biasa aja bisa nggak?!"

Belum sempat Ella menjawab lagi, Bu Anis sudah berjalan ke arah mereka, di ikuti Aldan di belakangnya.

"Kania," Bu Anis menyentuh pergelangan tangan Kania. "Bagaimana keadaanmu? Baik?"

"Lah, matanya masih normal kan, Bu? Lihat sendiri dong!" ketus Kania.

Aldan yang melihat hal itu menggeleng pelan, "Kania, tolong hargai kedatangan guru kamu kesini. Tolong jaga sikap kamu, bersikaplah yang sopan."

"Eh Pak Aldan," Bu Anis mengulas senyum, "nggak apa-apa kok, lagipula saya juga sudah biasa menghadapi anak-anak seperti Kania ini."

"Cih, hati-hati Om ... ada yang modus nih. Nanti nggak lama juga minta dijadiin istri kedua." sindir Ella.

"Heh bilang apa lo tadi?!" Kania berusaha berdiri, namun karena kepalanya yang terluka parah, ia jadi kesakitan. Aldan yang melihat itu langsung memegang kedua pundak Kania, ia membantu Kania untuk kembali ke posisinya semula.

"Kania, kamu harus banyak istirahat, Nak."

"Betul Kania, semoga kamu cepat sembuh ya," sahut Bu Anis. Ia kemudian mengeluarkan sebuah amplop coklat dari dalam tas yang dibawanya. Kania yang melihat hal itu langsung menegang. Seingatnya ia belum berbuat ulah lagi setelah kejadian kemarin.

"Mohon maaf sebelumnya Pak Aldan, ini adalah surat panggilan orang tua untuk Kania."

"Lagi?" dengan raut wajah bingung, Aldan menoleh ke arah Kania yang juga tampak terkejut. "Apa-apaan sih Bu!" cetus Kania kesal. Ia lalu meraih amplop itu dari tangan Aldan. "Ibu nggak boleh nuduh saya seenak jidat! Itu namanya fitnah, dan ada pepatah yang bilang kalau fitnah lebih kejam daripada pembunuhan."

"KANIA!"

Baru kali ini Aldan berbicara keras di depannya. Kania yang awalnya sempat melawan, kini hanya bisa terdiam sambil menundukkan kepala. Aldan kembali mengambil amplop itu dari tangan Kania, ia lalu membacanya.

"Pa, tapi—"

"Nia," Ella menyentuh bahu Kania, "lo yang sabar ya ..." ucapnya lagi.

"Sebenernya ada apa sih?" Kania tidak mengerti.

Tiga hal yang menjadi pertanyaannya saat ini. Pertama, kenapa Ella bisa bersama Bu Anis. Kedua, kenapa Papa Aldan kini bersikap kasar padanya. Dan ketiga, apa maksud dari surat panggilan orang tua itu? Apa kesalahannya?

"Pak Aldan?" Bu Anis menatap Aldan dengan raut wajah bersalah. Seratus persen ia tidak rela ketika melihat malaikat di depannya ini bersedih.

"Kania, kamu ..." ucapan Aldan terhenti, raut wajahnya jelas menampilkan kekecewaan.

"Mungkin Pak Aldan butuh waktu bicara dengan Kania, kami pamit dulu, Pak."

"Enggak!" Kania mencekal tangan Ella, "lo harus tetep disini dan jelasin apa yang terjadi sama gue."

Pintu di ketuk, Sharena masuk dan terkejut ketika mendapati Bu Anis dan Ella di dalam kamar Kania. Sharena menyalami Bu Anis dan Ella, "wah ramai sekali, menjenguk Kania ya?"

Mereka semua saling diam sebelum Aldan meraih tangan Sharena dan memeluknya dari belakang. "Ini Bu Anis, wali kelasnya Kania sayang."

Melihat perlakuan Aldan pada isteri sah-nya, Bu Anis tampak salah tingkah. Ia buru-buru pamit dan mengajak Ella untuk pergi. Sebenarnya Kania tidak rela membiarkan Ella dibawa pergi, tapi ia kini memilih diam, takut kena semprot kedua orang tuanya.

"Ini apa?" Sharena mengambil kertas dari tangan Aldan. Karena belum tahu isinya, Kania hanya diam saja. Ia masih memasang tampang polos sebelum akhirnya Sharena meremas kertas itu dan membuangnya ke depan wajah Kania.

Plak!!!

Kania menyentuh pipi kanannya. Ia terkejut? Tentu saja. Bekas tamparan Sharena menimbulkan rasa panas dan perih yang beradu menjadi satu. Kania seperti orang tolol yang tidak tahu apa kesalahannya.

"Ma ..." Kania mengambil kertas yang dilemparkan Sharena ke arahnya. Pupil matanya melebar ketika membaca sepenggal paragraf disana. Ada sepenggal paragraf yang menyatakan, "menurut keterangan foto yang terpasang di mading, hal itu terjadi pada waktu jam pelajaran sekolah. Kania dan Afredo ada di dalam gudang penyimpanan alat olahraga dan melakukan hal yang tidak senonoh yaitu ; berciuman."

Kania menggeleng kuat-kuat, ia merobek kertas itu hingga menjadi potongan kecil-kecil. Kania menangis, ia memanggil nama Sharena, namun wanita itu tak menggubris. Sharena kini malah pergi menjauh, ia menatap keluar jendela seraya mengeluarkan isak tangis air mata.

"Papa nggak nyangka, Kania."

"Pa, itu semua nggak kayak yang kalian pikirkan! Kania dijebak! Ini fitnah Pa!!!" Kania terus membela diri. Namun sayang, Aldan dan Sharena sudah terlanjur kecewa dengannya.

"Siang ini biar aku saja yang datang ke sekolah Kania," Aldan berjalan menghampiri Sharena, ia memeluk tubuh isterinya itu kuat-kuat.

"Kenapa kamu melakukan ini Kania?!" jerit Sharena masih dengan raut wajah marah. Aldan mencoba menenangkan. Keadaan Kania makin tidak stabil, ia merasakan pusing yang sangat hebat.

Aldan yang ada disana mulai kewalahan menghadapi drama anak dan ibu itu. Akhirnya ia menyerah. Aldan membawa Sharena pergi, meninggalkan Kania dengan sejuta penyesalan yang dalam.

-•-

Setelah ini bakal ada yang disiksa habis-habisan😂

Siap?

Baca terus MCD yaa, salam sayang dari Papa Aldan!

Baca terus MCD yaa, salam sayang dari Papa Aldan!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Cool DaddyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang