54. Langkah Awal

16.7K 990 33
                                    

Aldian mengangguk paham setelah mendengar cerita Pak Darto. Walaupun demikian, dia masih memiliki sejumlah pertanyaan untuk menghilangkan rasa penasarannya terhadap asrama kampus.

"Lalu, kalau bapak sudah tahu cara menetralisir kutukan di daerah terlarang, kenapa daerah itu masih berhantu?" tanya Aldian.

"Iya." Pak Darto mengangguk. "Saya memang tahu bagaimana cara menetralisir kutukan itu. Tapi ... saya dan Lusi tidak berhasil menemukan orang ketiga yang mau membacakan mantra."

"Apa susahnya, sih?" Aldian menaikkan volume suaranya. Merasa alasan Pak Darto sungguh tidak logis. Betapa tidak? Ada ratusan juta orang yang hidup di Indonesia. Bagaimana mungkin tidak ada satu orang pun yang mau membantu Pak Darto dan Bu Lusi untuk menangkal arwah-arwah penasaran itu?

"Mencari orang yang mau membaca mantra tidak semudah yang kamu pikirkan. Kami sempat menemukan orang yang bersedia. Tapi ... jaman dulu tidak ada ponsel. Kami hanya membaca mantra bersama-sama dengan berpatokan pada jam tangan yang kami punya. Tapi ketepatan pelafalan mempengaruhi. Jadi ritual itu selalu gagal," jelas Pak Darto.

"Tapi kan teknologi pasti ada setelah itu. Kenapa Pak Darto tidak mencoba lagi?"

"Saya jatuh cinta pada istri dan menikah. Tak lama setelah itu, Lusi menikah dengan suaminya. Kami pun menyerah melakukan ritual itu," papar Pak Darto. "Tadi saya sudah jelaskan bahwa ritual itu harus dilakukan oleh dua perjaka dan satu perawan muda."

Aldian tercenung dengan tangan mengepal. Dia bertekad untuk menetralisir tiga area terlarang itu sesegera mungkin. Sebelum ada korban-korban lagi.

Sekarang gue harus bagaimana? Gue nggak bisa membiarkan area-area terlarang itu memakan korban lagi, batin Aldian penuh tekad.

"Sebaiknya, malam ini ... kamu menginap di rumah saya bersama Redi. Arwah-arwah di asrama sedang marah. Saya takut ada korban lagi," saran Pak Darto.

"Enggak usah, Pak. Saya mau menginap di rumah teman saya saja. Saya akan membawa Redi bersama saya," kata Aldian memutuskan.

Setelah menyelesaikan urusannya di rumah sakit, Aldian membawa Redi ke rumah Kafi.

Tok tok tok

Aldian mengetuk pintu rumah Kafi sambil memapah Redi yang masih terlihat seperti orang linglung.

"Kaf? Kafi?" Aldian terus mengetuk pintu cukup lama. Tak sabar bertemu dengan sahabatnya.

Di dalam rumah, Kafi mengucek mata. Dia baru saja terbangun setelah mendengar ketukan pintu yang mengganggu tidur lelapnya.

"Heem ... siapa sih yang datang malam-malam begini?" Kafi dengan malas menuruni ranjangnya.

"Kaf? Kafi? Bukain pintunya, Kaf!" teriak Aldian yang belum menyerah menggedor pintu rumah Kafi.

Kafi membuka pintu. Dia cukup terkejut dengan kedatangan Aldian malam itu. Terlebih, Aldian datang dengan basah kuyup sambil memapah seseorang yang terlihat linglung.

"Aldian? Ngapain lo ke sini? Terus, dia siapa?" Kafi bertanya-tanya.

"Banyak nanya lo! Cepetan bantu gue masukin nih orang ke dalam!" suruh Aldian.

Kafi hanya menurut. Dia cepat-cepat membantu Aldian memapah Redi. Setelah itu, Kafi mengambil handuk kering untuk Aldian dan Redi.

"Terima kasih, Kaf," kata Aldian yang menerima handuk pemberian Kafi lalu cepat-cepat mengeringkan rambutnya.

"Al, sebenernya apa yang terjadi? Dia siapa?" Kafi menunjuk-nunjuk ke arah Redi.

"Namanya Redi." Aldian mulai bercerita seraya membantu Redi mengeringkan rambut.

"Redi?" dahi Kafi berkernyit. Nama Redi tak terdengar asing di telinganya.

"Redi ini-"

"Oh gue tahu! Jangan bilang, kalau dia ini Redi youtuber. Iya, kan?" tebak Kafi.

"Iya." Aldian mengangguk.

"Beneran?" mata Kafi terbelalak. "Lo nggak bohong, kan?"

"Iya! Puas, lo?" bentak Aldian.

"Ya elah. Nggak usah ngegas juga kali."

Aldian memijat kedua pelipisnya yang terasa pusing, bingung harus cerita dari mana.

"Tapi ... kenapa youtuber ini kayak orang idiot?" tanya Kafi yang bergerak menjauh dari Redi. "Perasaan, pas gue lihat di youtube, dia baik-baik saja."

"Ceritanya panjang, Kaf."

****
Jumat, 13 Maret 2020
Zaimatul Hurriyyah

Penghuni AsramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang