16. Bingung

25.9K 1.3K 15
                                    

Aldian membuka rekaman terakhir di kamera itu, melihat segala gerak-gerik Redi saat berada di ruang rahasia. Tak lama, kamera itu seperti terjatuh dan hanya merekam lantai. Terdengar suara teriakan Redi seolah kesakitan, tercekik, hingga suaranya terbata.

Tangan Aldian gemetar, bergidik, bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Tiba-tiba, Redi terjatuh, terseret, menggayuh-gayuh apapun untuk pegangan. Tapi dia tetap terseret ke menuju ruang bawah tanah. Seolah-olah ada makhluk tak kasat mata yang menyeretnya secara paksa.

"Sepertinya, gue nggak bisa terlalu lama tinggal di sini. Gue harus segera pergi dari sini," pikir Aldian.

Aldian segera mematikan kamera. Berada di asrama itu terlalu berbahaya. Dia pun bergegas membuka lemari, mengambil seluruh pakaian, membuka koper, lalu mengemasi semua barang-barangnya.

"Gue nggak bisa terus di sini. Gue nggak mau berakhir seperti Redi," pikir Aldian lagi.

Setelah selesai mengemasi barang-barangnya, Aldian membantu Redi berdiri dan membawanya keluar dari kamar.

Braaak braaak braaak

Terdengar suara hantaman dari arah gudang penyimpanan, membuat langkah kaki Aldian tercekat di pertengahan anak tangga menuju lantai satu.

"Shit! Itu pasti Rafka." Aldian segera berlari menuju gudang penyimpanan.

Mata Aldian melebar, mendapati Rafka membawa kapak besar dan merusak rak buku yang merupakan satu-satunya jalan menuju ruang rahasia.

"Rafka, hentikan!" cegah Aldian. "Kalau lo merusak rak buku itu, penghuni asrama ini bisa-bisa marah besar."

Rafka menulikan pendengarannya. Dia terus menghancurkan rak buku yang ada di hadapannya hingga membuat sejumlah buku-buku terjatuh, berserakan di atas lantai.

Setelah berhasil merusak rak buku tersebut, Rafka menendangnya hingga terjatuh, memberikan akses lebar baginya untuk memasuki ruang rahasia.

"Rafka, jangan masuk! Rafka!" teriak Aldian.

Rafka sudah gelap mata. Dia tak peduli dengan imbauan Aldian. Obsesinya mencari Tony sudah membuatnya linglung. Yang paling penting baginya adalah mencari Tony, itu saja. Dia hanya ingin memberikan pemakaman yang layak untuk saudaranya.

Kapak yang Rafka pegang, ia seret menelusuri sepanjang jalan menuju ruang bawah tanah. Dia menghempaskan kapak itu lagi dan merusak pintu ruang bawah tanah, mengambil ponsel dari saku celana, lalu menyalakan senter.

"Rafka, jangan masuk! Bahaya!" imbau Aldian yang enggan untuk memasuki ruang rahasia. "Rafka!"

Rafka mulai mengarahkan senternya ke arah ruang bawah tanah. Satu per satu anak tangga ia lewati, menerobos ruang gelap di tengah malam yang panjang.

"Gue harus gimana? Kalau gue masuk, bisa-bisa gue berakhir seperti Redi. Gue masih waras untuk nggak bertindak gegabah. Tapi kalau gue nggak masuk, Rafka bisa dalam bahaya," pikir Aldian.

"Aaaarrghh!" teriak Redi.

"Redi, lo kenapa?" tanya Aldian.

"Aaaarrghh!" Redi berlari keluar rumah, menerobos gerimis di tengah halaman asrama.

Aldian bertambah bingung harus ke mana. Menyusul Rafka ke ruang bawah tanah ataukah menyusul Redi yang berlarian di tengah gerimis malam. Aldian mengacak rambut. Dia memutuskan untuk berlari menghentikan Redi.

👻👻👻👻👻
Zaimatul Hurriyyah
Selasa, 24 Desember 2019

Penghuni AsramaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang