22. TWIN

8 0 0
                                    

By: Annisa Hanum

"Kak, a-aku minta maaf," ujarnya sambil menahan perih bekas tamparan di pipinya.

Aku mendengus mendengar perkatannya. Dengan posisinya yang terduduk di tanah, dia menunduk dan kembali menangis. Bukannya membuatku menjadi iba, dia malah membuatku semakin memanas.

Kakiku menendang perutnya dengan sangat kuat. Dia mengerang dan aku tidak perduli sama sekali. Sambil berguling-guling di tanah, dia memeluk dirinya sendiri. Setelahnya, dia tersedak saat kakiku sudah berada di atas perutnya.

"Sudah kubilang, jangan pernah merebut apa yang sudah menjadi milikku," ucapku dengan dingin.

Baru saja dia ingin kembali mengeluarkan sepatah kata, aku berjongkok kemudian menjambak rambutnya hingga membuatnya kembali terduduk. Tangan kiriku mencengkram dagunya dengan kuat.

"Aku benci kepadamu." Kemudian kuhempaskan tubuhnya agar kembali ketanah.

"Aku benci melihatmu bahagia. Aku benci melihatmu tertawa. Aku benci melihatmu bermain dengan temanku. Aku benci melihatmu lebih disayang oleh kedua orang tua kita. AKU BENCI SEMUA HAL TENTANGMU YANG BEGITU MUDAHNYA KAU RENGGUT DARIKU. KAU TAHU BETAPA MENDERITANYA AKU?!"

"Ka-kakak..."

Seperti orang yang frustasi, aku mengacak-acak rambutku. Sesekali berteriak lalu tertawa sambil mengeluarkan suara yang mengerikan. Dadaku sangat sesak sekali. Selama ini aku hanya diam menyaksikan, tapi tidak lagi. Aku sudah terlalu membuatnya menikmati hidup bahagia.

"Dan sekarang kau ingin merebut satu-satunya orang yang kusayang?" tanyaku sambil melayangkan tatapan yang tajam.

"Kau benar-benar cari mati."

Kembali kujambak rambutnya dan menyeretnya ke pinggir jurang. Dengan perasaan yang sudah kacau, aku langsung mendorongnya masuk ke dalam jurang. Namun, tangannya meraih salah satu akar pohon yang panjang. Aku tertawa, bahkan untuk membuatnya mati saja susah.

"Kak... sekali lagi aku mau minta maaf. Aku gak tau kalau selama ini kakak tertekan karena aku. Padahal, kita kembar. Harusnya aku peka sama apa yang kakak rasakan." Dia menjeda perkataannya. Berusaha untuk meraih akar yang lainnya agar bisa lebih lama bertahan. "Dan soal Farhan, aku gak tau kalau dia ternyata suka sama aku."

"Omong kosong!"

Dia menggeleng, "Aku benar-benar gak tahu kak."

Aku melipat kedua tanganku didepan dada. Lalu tertawa seadanya.

"Aku janji bakal perbaiki semuanya, aku juga bakal tolak Farhan. Aku mau bikin kakak bahagia." Dia terisak, terlihat tangannya mulai lelah.

Aku berjongkok agar bisa melihat jelas wajahnya, "Mau bikin aku bahagia kan? Mati aja sana!"

Tangisannya kian menderas. Sebelum benar-benar terjatuh, dia menatapku sebentar. Dan aku hanya menyaksikan.

Entah kenapa aku merasa ada yang aneh. Bulu kudukku seketika berdiri. Tapi aku enyahkan semua pikiran anehku, lalu kembali ketempat dimana kami berkemah.

👭

Keesokan paginya, aku bangun dengan perasaan yang sangat bahagia. Kubuka kancing tenda dengan tersenyum. Sepertinya aku harus berakting sedikit sebelum orang-orang mencurigaiku.

"Eh Rena, udah bangun aja. Tumben gak kebo." Aku hanya tertawa menanggapi perkataan temanku. Mina.

"Liat Farhan gak?"

Dia mengernyit, "Farhan?"

Aku mengangguk.

"Kayaknya tadi sama kembaranmu di dapur. Entah bicarain apa aku gak tau, tapi mereka serius banget ngomongnya." Hah? Apa?

Aku tertawa, "Mana mungkin, Reni kan udah--ekhm! Maksudku, Reni kan gak dekat sama Farhan."

"Tapi tadi aku liatnya begitu. Kalau gak percaya, liat aja sendiri. Oh iya, aku tadi disuruh ngambil daun pisang buat alas makan. Aku pergi dulu!" Mina melambaikan tangannya dan pergi meninggalkanku sendiri.

Baru saja ingin berlari memastikan bahwa apa yang diucapkan Mina, mataku menangkap Farhan yang sedang berjalan lesu ke arahku.

"Han? Masih pagi ini, kok lesu banget kamu." Aku mencubit pipinya gemas, "Lapar ya? Bentar lagi sarapan kok sabar, ya."

Farhan menghela nafasnya dengan kasar. Perasaanku mulai tidak enak. "Kenapa? Ada masalah?" tanyaku hati-hati.

Farhan menggeleng, "Gak apa-apa kok. Gak penting juga."

"Ayo bilang aja."

"......"

"Han, jangan diem."

"......"

Aku mulai gelisah, "Farhan, kenapa?"

"Aku ditolak Reni."

"Hah?!"

"Padahal aku belum bilang apa-apa. Dia tahu dari mana?" Farhan melirikku, "Kamu yang kasih tahu dia ya?!"

Aku terkejut, "Mana ada! Aku diam karena kamu bilang jangan kasih tau Reni!"

"Terus dia tahu dari mana?" tanyanya lagi.

Kepalaku pusing, pandanganku mulai memburam. Jantungku berdegup sangat kencang. Aku sangat ingat dengan kejadian semalam. Aku, aku sudah membunuh kembaranku.

"Aku.. mau nenangin diri dulu," ujarnya kemudian pergi.

Aku panik setengah mati. Mataku melihat ke sekitar, orang-orang sibuk dengan persiapan untuk sarapan. Tidak ada tanda-tanda kepanikan bahwa ada salah satu murid yang hilang, suasananya terlalu tenang.

Ini tidak benar.

"Kak?" Aku berbalik untuk melihat siapa yang berbicara. Dan sungguh, aku benar-benar menyesal karena sudah berbalik.

"Hai kak!"

"R--Reni?!"

Short StoryOnde histórias criam vida. Descubra agora