8. Tragedy

22 0 0
                                    

By : Bagas Hirawan

Awal hari baru, di bulan Maret Minggu pertama. Cuaca semakin ekstrem, kota ini dilanda hujan yang tidak kunjung berhenti, walaupun intensitasnya tidak tinggi, tetapi langit masih tetap ingin mendung lebih lama lagi. Begitu pun dengan udara dingin ini yang membuat tubuh menggigil—meskipun memakai jaket parka yang aku kenakan, sama sekali tidak memberikan ruang hangat di tubuh ini.
Gerimis-gerimis kecil bertahan dari malam tadi hingga pukul delapan pagi. Segala aktivitas menjadi tersendat. Kemacetan sudah menjadi makanan setiap hari di jalan-jalan protokol belum lagi berita tentang adanya  air yang tergenang di beberapa titik membuat jalanan semakin menumpuk dengan para pengguna kendaraan mobil atau pun motor. 
Jaket parka semakin lama sudah basah sepenuhnya. Itu karena aku paksakan untuk terus berjalan tanpa berkeinginan untuk berteduh. Dan lagi di sepanjang jalan ini, tidak ada tempat untuk berteduh.  Aku pikir, ini hanya gerimis kecil, jadi tidak masalah. Ini akan menjadi bukti betapa giatnya aku memenuhi tanggung jawab sebagai pekerja. Supervisor sudah memberikan kewenangan hak untuk datang terlambat atau tidak masuk kerja, yang penting harus memberikan kabar.

***

Dasar munafik! Kau hanya ingin bertemu dengan perempuan itu, kan? Bahkan kau sendiri juga tidak tahu kalau dia hari ini masuk atau tidak.”

“Dia pasti masuk. Aku yakin, mungkin hari ini waktu yang tepat untuk menyatakan perasaanku padanya.”

Oh ya? Rasanya rencanamu itu dari satu tahun yang lalu. Tapi tidak pernah kau utarakan.

“Berisik! Jangan ganggu. Kalau kau mau berada di sisiku selamanya, lebih baik lihat dan amati saja.”

Hahaha! Selamanya ya?

“Dasar pengganggu."

Ah! Itu dia.

***

Dia adalah perempuan yang dimaksud dalam pembahasan ini. Perempuan itu bernama, Lita, teman kerjaku  yang selalu membuat aku salah tingkah jika berada di dekatnya. Seperti, mencari perhatian, tetapi tidak berani melihatnya. Inilah mengapa semua orang menilaiku tidak percaya diri dan mental payah. Aku muak disebut dengan sifat jelekku itu. Namun, memang benar. Aku tidak bisa menyangkalnya.
Aku berlari kecil untuk segera mengejarnya. Namun, di separuh langkah, langit tampak berbeda. Semua terhenti dan memandanginya. Seketika suara klakson pun tidak terdengar, para pengguna kendaraan mobil dan penumpang bus keluar hanya untuk menyaksikan fenomena yang langka.
Langit itu di selimuti burung-burung hitam yang jumlahnya tidak terhingga. Beterbangan menuju ke selatan. Rasa takjubku sudah cukup, lalu melihat punggung Lita yang ingin kukejar tadi, dan saat ini  berada sangat dekat. Dia juga sama seperti yang lainya terperangah melihat langit.
Tanpa disadari perlahan gerimis mulai reda. Namun, awan mendung belum ingin memperlihatkan matahari.
Aku sudah berada di samping kirinya dan tetap malu untuk melihat wajahnya. Justru aku melihat ke arah sekitar yang mana orang–orang masih menunjukkan rasa takjubnya melihat fenomena langit dengan burung-burung hitam berimigrasi. Bahkan masih belum diketahui jenis burung apa itu.
Ah sudahlah! Aku tidak peduli, saatnya memberanikan diri untuk melihat wajahnya dan sedikit basa-basi kecil untuk memulai perbincangan.
“A...”

Kalau aku jadi kau. Aku tidak akan melihat wajahnya.

Segera kubatalkan untuk melihat Lita, dan beralih ke samping kiriku.

“Kenapa kau masih menggangguku!”

Terserah saja, kau boleh melihatnya, dan aku siap menampung semua pertanyaan.

Aku pun melihat Lita yang masih berdiri di sebelah kanan. Seakan pikiranku terputus. Mengartikan semua apa yang sedang aku lihat ini nyata atau tidak. Saat ini Lita, memiliki kedua mata dengan warna putih sepenuhnya.

"Kenapa?!”

Oke. Akan aku jelaskan. Intinya, saat ini dunia sudah sampai batasnya. Burung-burung hitam yang ada di langit saat ini adalah sebuah pertanda. Itu adalah awal. Dan, seandainya kau lebih lama melihat burung-burung itu, kau akan sama seperti mereka. Berdiam seperti patung dengan kedua mata yang putih seputih susu. Itu jauh lebih baik."

“Maksudnya?”

Sesaat lagi, matahari akan muncul dari balik awan yang mendung. Namun, sinar matahari tersebut tidak sama dengan sinar matahari sebelumnya. Sedetik saja langit mulai memperlihatkan sinarnya, bumi akan terbakar. Panas yang sangat amat menyengat hingga kau merasa matahari berada tepat sejengkal di atas kepalamu.

“Tidak mungkin. Apa yang kau bicarakan itu adalah hari kiamat?”

Entahlah. Aku sama sekali tidak tahu menahu tentang hari kiamat.

“Jangan bercanda! Kau sudah berada di sisiku selama satu tahun ini alasannya untuk apa? Kau tiba-tiba datang dan memproklamirkan sebagai penjagaku.”

Memang betul, aku adalah penjagamu yang akan menemani sampai akhir hayatmu. Dan inilah saatnya.

“Tidak, aku tidak mau. Semua orang pasti memiliki penjaga sepertimu kan?”

Kau berpikir seperti itu? Tapi sayangnya tidak. Tidak semua orang yang memiliki penjaga sepertiku.”

“Bohong!”

Perlahan awan mendung itu bergerak mengikuti arah angin dan memperlihatkan sinar matahari yang mulai muncul dari balik awan. Seperti sebuah keajaiban, cuaca yang baru saja hujan dan udara yang begitu dingin, tiba-tiba menjadi panas.
Aku memandanginya dengan rasa tidak percaya. Pandanganku terus bermain ke arah sekitar—semua orang mematung dan kedua matanya tetap tidak berubah—putih. Rasa panas seperti apa yang di ceritakannya sudah mulai terasa dari ubun-ubun kepala, kemudian menjalar ke seluruh anggota tubuh.
Ditambah rasa sakit seperti jarum yang menusuk ke tubuh ini. Menggigil tapi bukan karena kedinginan, ini lebih seperti darah yang  mendidih, tinggal menunggu penguapan.
Sekali lagi. Kupandangi Lita, ku kumpulkan segala kekuatan untuk menghilangkan gengsi, rasa tidak percaya diri dan bodohnya, aku mampu di saat-saat seperti ini. Karena biar bagaimanapun, ini akan percuma. Lita hanya terdiam.
Awan mendung itu pun perlahan memudar dan memperlihatkan matahari yang bersinar sangat terang. Entah apa yang terjadi, tiba-tiba tubuhku sudah mulai terasa sangat panas hingga menimbulkan asap yang sulit untuk di pikirkan-- bagaimana bisa ini terjadi pada diriku?
Di saat seperti ini. Dia menghilang tanpa ada kata-kata yang terucap dari mulut bawelnya. Seharusnya aku sudah menduga, dia bukanlah penjagaku. Tapi itu semua sudah tidak ada artinya. Tubuhku sudah tidak kuat menahan rasa panas dan sakit ini.

“Hah?!”

Aku sangat terkejut. Bola mata cokelat kehitaman itu tiba-tiba terlihat di kedua mata Lita. Bahkan itu normal.  Tapi, dia--si penjagaku sekarang berada di belakangnya.

“Sial!”

“...dan kau akan mati di sini!” ucap Lita, yang saat ini sedang  menulis di sebuah buku.
Di saat bersamaan, kedua mata ini gelap. Namun, sayup-sayup terdengar suara yang sangat ramai, dan hujan ternyata masih belum berhenti.  Namun, terlambat untuk mengetahuinya. Aku sudah berakhir.

Short StoryWhere stories live. Discover now