2. Perasaan yang Lalu

43 2 0
                                    

By: Andri Rusdianto

Aku hidup di sebuah masa yang sama dengan kondisi yang berbeda. Ini adalah kisah
yang ingin aku ceritakan sembari meminum teh di waktu hujan. Setidaknya tatapan orang di
warung tidak menatapku yang sedang sendiri dan merenung. Dua setengah tahun yang lalu,
aku berkuliah di sebuah kota yang terkenal dengan hujan. Cuaca panas pada waktu siang dan
dingin di waktu malam benar-benar membuatku ingin berdiam di kamar kos.
Namun, aku bukan seseorang yang mudah menyerah karena keadaan. Banyak alasan
yang membuatku duduk di tempat ini dan diam merenungkan cerita lama. Waktu awal kuliah,
aku mencoba beradaptasi karena harus bertemu orang dengan pemikiran yang berbeda. Hari
itu, aku bertemu dengan teman baru yang merubah pemikiranku terhadap suatu kelompok
sosial. Nama mereka adalah Sabar dan Daniel. Jujur, pertama kali aku bertemu dengan
mereka, pikiran negatif selalu muncul di hatiku. Sebuah stigma tanpa alasan yang membuatku
menghakimi mereka.
"Ndre, ayo lah gabung bareng, makan sama kita. Jangan sungkan lah kau ini. Jangan
ada pikiran negatif diantara kita. Nih, aku bawa piza. Sepotong nih buat kau," kata Sabar
yang menyodorkan makanan khas Italia itu.
Aku pun menerima dan memakannya. Lalu aku duduk dan makan bersama mereka
berdua. Hal yang membuatku dekat dengan Sabar adalah sikapnya yang selalu ingin
mengetahui semua hal tentangku. Selain itu, Daniel juga selalu menawarkan anime bagus
kepadaku. Jujur, aku bukan orang yang mudah bergaul. Setiap kata dan canda selalu sulit
dikeluarkan oleh mulutku. Mungkin hanya beberapa orang yang dapat membuat kata-kata
dalam diriku mengalir seperti sungai.
Hari-hariku di kampus tidak lebih dari sosok mahasiswa biasa yang tidak ingin
mengembangkan diri di luar akademik. Aku tidak peduli jika harus dipanggil sebagai
mahasiswa kuliah pulang yang setiap hari hanya rebahan. Lagi pula tugas kampus yang
banyak membuatku sulit untuk beristirahat. Malam hari yang selalu berganti membuatku
tidak tenang. Sebenarnya aku merasa sulit menghadapi setiap pertemuanku dengan dosen.
Aku merasa sulit untuk mengikutinya, tetapi aku harus bagaimana lagi. Ketika nilai yang aku
hasilkan tidak membuat harapan, aku memutuskan untuk keluar.
"Woi, ngalamun aja. Besok main ke pusat kota yuk," kata Halsi, teman kuliahku di sini.
"Oke, aku ikut." Aku pun tersenyum.
Kegelapan dan masa lalu terkadang membuatku putus asa. Dia seperti menelan hati tanpa alasan. Terkadang timbul pilihan antara mengikuti arus atau melawan dan membuat
perubahan. Terkadang, aku ingat dengan tayangan di televisi yang sering aku lihat. Ketika
seekor salmon yang berenang melawan arus agar tidak dimakan oleh beruang. Aku tahu jika
manusia sepertiku tidak dapat dibandingkan dengan keadaan yang dialami oleh seekor ikan.
Mungkin, aku harus bersyukur dengan warung dan teh yang masih bisa kuminum. Sebuah
ketenangan dan kebahagiaan sederhana yang tidak dapat digantikan oleh apapun.
Ketika air teh di gelasku tinggal sedikit, aku dan Halsi beranjak dari tempat duduk.
Kami pun berjalan meninggalkan warung. Halsi yang berada di depanku menghentikan
langkahnya. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu yang penting.
"Ndre, bersyukurlah dalam kesederhanaan." Sebuah kata-kata yang membuatku
hidup.

Short StoryWhere stories live. Discover now