54 - Terus Terang, Terus Menerangkan

Start from the beginning
                                    

"Tuh cowok udah waras, apa mulai gila sih? Kok sikapnya gitu ke lo Mee?" sindir Stella, memulai topik. Aimee acuh saja sambil terus mengerjakan tugas matematikanya.
"Iya ih. Ngga jelas banget. Abis diruqyah, kali ya?" timpal Rinka.
"Udahlah, kalian ini. Gasta cuek, kalian omongin. Giliran dia nyoba ramah, kalian omongin juga. Kasian tauk." Shaci malah membela Gasta. Stella dan Rinka mendelik ke arahnya.
"Hahahahaha iya. Mana tau dia lagi mau ngasih kejutan buat Aimee... Ya gak Mee?" kali ini Nirma menyahut.
"Apa'an siiiih kalian bacot semua!" seru Aimee. Dia malas saja jika teman-temannya mulai membicarakan Gasta. Karena Aimee tahu, gengnya itu tidak mendukung dirinya dengan Gasta. Mereka menganggap Gasta hanyalah bad influence bagi Aimee, kendati mereka tahu betapa dekatnya Aimee dan Gasta di masa lalu.

Lalu geng mereka menjadi dua kubu: Shaci dan Nirma yang nersikap afirmatif, sedangkan Stella dan Rinka sebagai oposisi. Shaci dan Nirma mencoba menerka-nerka bahwa Gasta berniat baik, sedangkan Stella dan Rinka cenderung menjelek-jelekkan Gasta. Namanya juga remaja.

"Lo kepo kan Mee? Coba aja tanya. Daripada penasaran, ya kan?" saran Shaci di akhir perbincangan mereka soal Gasta. Aimee diam saja, namun diam-diam hatinya berkata iya.

***

Angkot sedang sepi. Hanya ada Gasta yang duduk di pojok belakang di sana. Si angkot sudah lima menit berhenti di depan sekolah Gasta. Gasta menatap lalu lalang jalanan dan gerobak cilok langganannya yang sedang ramai pembeli.

Dan voila!
Aimee masuk ke dalam angkot.

Punggung Gasta menegang.

Aimee yang menyadari ada Gasta duduk di pojok belakang, kontan memilih duduk di ujung depan dekat supir. Gasta tidak kaget. Maka dari itu, tekadnya bulat untuk pindah duduk di samping Aimee.

Gasta berpindah di sebelah Aimee, tanpa menoleh. Aimee jelas risih. Namun kepalanya tak menoleh pada Gasta.

"Temenin ngobrol dong." kata Gasta tiba-tiba.
"Ha?" sahut Aimee acuh tak acuh.
"Kamu kemarin pas diskors ngapain aja di rumah?"
Aimee tak menjawab. Pura-pura sibuk melihat jalan raya di depan supir.
"Mee. Hey." Gasta tetap gigih.
Aimee menoleh. Menatap Gasta dengan alis bertaut.
"Kamu kenapa sih Gas?"

Gasta jelas tercekat. Tapi ditenangkannya hatinya.

"Kenapa apanya?"
"Ya kamu. Kamu kenapa kayak gini?" nada Aimee terdengar gusar.

Kamu katanya? seru Gasta dalam hati, diam-diam bahagia. Tapi ingatan tentang rekaman suara Aimee yang diberikan oleh Feliz tempo hari membuat hatinya sendu lagi.

"Kayak gini gimana sih?" pancing Gasta.
"Ya gini. Baik ama aku. Ramah. Seakan nggak ada apa-apa sebelumnya. Kenapa?"

Gasta tetap menatap Aimee, namun matanya melirik ke arah lain. Batinnya berteriak, lah, kayak lo ngga pernah bertingkah kayak gini aja. Bukannya lebih seringan lo yang kayak gini?

Tapi tentu saja, Gasta memilih menjawab dengan tenang.
"Ngga ada yang perlu dipertanyakan soal sikap baikku ke kamu, Mee."
Aimee berdecak. "Ya aneh aja gitu Gas. Kamu kan kapan hari dingin ke aku. Sekarang tiba-tiba gini."

Hellooooo. Yang begitu itu kamu, sayang! batin Gasta berteriak.

"Kalo aku baik ke kamu kenapa? Lagian, kamu gak perlu bertanya-tanya lagi soal perasaan aku ke kamu kalo aku bersikap baik ama kamu. Karena mau aku baik ato engga pun, kamu tetep ngga ada rasa ama aku kan?" tandas Gasta panjang lebar. Aimee membeku di tempatnya. Tak berani menatap Gasta.

"Kalo aku bisa baik ama kamu, kenapa aku harus jahat?" suara Gasta memecah lamunan Aimee.

Aimee menoleh, dan di sanalah senyum Gasta terukir, dengan matanya yang teduh menyorot mata Aimee. Entah bagaimana hati Aimee bisa begitu sejuk menatapnya.

"Kak Feliz udah cerita semuanya, Mee." ungkap Gasta. "Jadi ya, aku ngapain juga berekspektasi soal kamu yang bertanya-tanya akan perasaanku. Toh ya kamu..." ucapan Gasta tersendat.
"Aku kenapa?" tanya Aimee.
"Ngga. Ngga apa. Lupain." tepis Gasta. Sekali lagi, mengukir senyum untuk Aimee.

Entah mengapa, senyuman Gasta adalah hal yang paling bisa membuat hati Aimee bergetar. Tak dapat dipastikan getaran apa itu, yang pasti getaran itu ada.

Jika emosi Aimee saat ini tidak terkendali, mungkin Gasta sudah dipaksanya untuk meneruskan kalimatnya. Namun senyum Gasta seakan menahannya. Aimee merasa kikuk dan berpikir betapa kebaikan dan kelembutan hati Gasta bisa memenangkan segala sesuatu.

"Ya gimana, aku ngga mau jahat ama kamu, Mee. Ama sapapun juga. Aku pingin kita kayak dulu. Terlepas dari adanya 'perasaan ini dan perasaan itu'. Aku pingin kita baik-baik aja."

Aimee menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah Gasta.
"Lalu kemarin itu kenapa kamu laporin aku? Kenapa kamu ungkap semuanya ke Bu Nia? Kenapa kamu ngaduin aku kalo aku nampar Danes? Kenapa kamu ngga diem aja?" cecar Aimee.

Gasta menelan ludah. Kenapa larinya kesana? batinnya heran. Tapi dijawabnya saja pertanyaan itu sebisanya.

"Bukan gitu, Mee. Aku cuma mau jujur aja. Selain itu, aku juga pingin kamu rasain... rasanya jadi aku... aku yang kamu laporin, bahkan dengan kesaksian palsu..." suara Gasta terdengar sangat berat, karena takut Aimee beringas. "Seenggaknya yang aku laporin bukan fitnah, Mee." Gasta mencoba membela diri.

Senyum sinis Aimee terkembang. "Jadi kamu balas dendam?"
Yang ditakutkan Gasta akhirnya terjadi.

"Bukan balas dendam, Aimee." kilah Gasta.
"Terus itu apa namanya kalo bukan balas dendam?"
"Aku cuma pingin kamu ngerti."
"Aku udah ngerti kok."
"Aku pingin kamu juga ngerasain gimana rasanya dihukum sama BK, dijudge sama..."
"Ya itu namanya balas dendam, Gasta." potong Aimee di tengah kalimat Gasta.

Keduanya terdiam.

"Aku sebenernya juga ngga pingin kamu dihukum. Tapi..."
"Ngga usah berkilah lagi, Gas."
"Maaf ya Mee."
"Ngga usah. Cukup tau."
"Jangan marah, Mee. Aku juga diskors."
"Cukup tau, Gas."
"Seenggaknya aku udah jujur."
"Kamu jangan memperkeruh keadaan lah Gas."
"Siapa yang memperkeruh keadaan sih? Aku di sini cuma mau jujur biar kamu ngga salah paham Mee. Biar kamu tau, aku bakal jujur ke guru soal apapun. Aku juga ngelindungin kamu dari Danes kan? Kamu tau kan kalo sebenernya Danes itu ngomongin kamu ke aku, akhirnya jadi bahan berantem? Kamu mau, nama kamu tercoreng juga gara-gara itu?" balas Gasta panjang lebar.

Aimee menunduk untuk menyembunyikan airmatanya yang mulai menggenang.

"Danes yang memulai semuanya, Mee. Lalu kamu dateng dan nampar dia. Dan aku ikutan dihukum. Kamu masih mau bilang aku balas dendam?" lanjut Gasta.

Aimee masih menanggapinya dengan diam.

"Aku cuma mau kita baik-baik aja. Karena ngga ada yang perlu dipertanyakan lagi. Aku baik ke kamu, karena aku memang seharusnya gitu. Bukan karena aku mau kamu menilai aku ada rasa sama kamu atau apalah. Toh, aku ada rasa sama kamu atau engga, apa bedanya buat kamu? Kamu ngga ada rasa apa-apa lagi kan, buat aku?"

Suara Gasta yang cukup lirih ternyata masih bisa terdengar oleh orang di dekatnya, sehingga mereka menatap Gasta dengan tatapan heran dan penasaran. Gasta jadi keki. Dia membuang pandangannya ke arah lain.

Perjalanan masih sekitar 10 menit lagi sebelum Aimee turun. Tapi kali itu mereka hanya diam, tanpa kata sedikitpun. Meski keduanya duduk berdampingan. Aimee terbungkam oleh kata-kata Gasta tadi. Sedangkan Gasta, sedikit merasa bersalah karena terlalu jujur pada Aimee.

Yang terbersit di benak Aimee kali itu adalah, bagaimana bisa Gasta mempercayai ucapannya pada Feliz soal perasaannya. Sepercaya itu. Semembekas itu. Aimee menyesal telah berkata demikian pada Feliz. Padahal, dia sudah menduga Feliz pasti membocorkannya ke Gasta, tapi dia tidak menyangka bahwa reaksi Gasta bakal seperti itu.

Angkot tiba di tempat pemberhentian yang Aimee tuju. Aimee bersiap untuk turun. Tak disangka, Gasta menggenggam pergelangan tangan kiri Aimee. Aimee menoleh, hendak menyentakkan tangannya.

"Take care." ujar Gasta, tidak lupa dengan senyum tulusnya. Senyum yang selalu berhasil membuat hati Aimee bergetar.

Dan tak disangka pula, bibir Aimee turut mengukirkan senyum.
Untuknya. Untuk Gasta.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now