54 - Terus Terang, Terus Menerangkan

Start from the beginning
                                    

Mata Gasta menyipit, lirikannya tajam mengarah ke Feliz.

"Kalo ngga bisa demi Baskara, tolong, demi Kakak..." Feliz menepuk-nepuk puncak kepala adiknya.
"Tiap orang punya hak buat belajar jadi pribadi yang lebih baik lagi, Gas. Dan Kakak salah satunya." ujar Feliz dengan senyuman terkembang yang dipaksakan, lalu meninggalkan Gasta sendiri dalam ketermanguan.

Tapi, kenapa harus Baskara? batin Gasta tetap bergejolak, seakan luka lama yang ditoreh Baskara itu tak pernah hilang.

***

Hari terakhir Gasta diskors sungguh payah. Kondisi Gasta sedikit menurun. Lesu tak berdaya. Ditambah lagi pemandangan yang tidak mengenakkan oleh Feliz.

Sebentar-sebentar teleponan dengan Raymond. Sebentar-sebentar teleponan dengan Baskara. Feliz terlihat seperti playgirl di mata Gasta. Gasta yang dongkol hanya bisa menahan amarahnya. Kenapa tidak dipilih salah satu aja sih? gerutu Gasta dalam hati.

Tapi ada yang tidak disadari Gasta. Sebenarnya, dia cemburu. Cemburu melihat kakaknya yang seakan 'diperebutkan' oleh dua laki-laki tersebut. Cemburu karena waktu milik kakaknya yang seharusnya ada untuknya, malah terbuang untuk yang lain.

Beruntung hari itu tak terasa lama. Esok sudah saatnya Gasta kembali ke sekolah.

***

Another cold day at school.

Gasta merenung di mejanya. Pagi itu dia datang pagi sekali. Dia orang pertama yang datang di kelas pagi itu. Hari pertama masuk setelah kemarin hari terakhirnya diskors. Hatinya masih terbayang nasihat kakaknya di hari terakhir skorsnya kemarin.

"Kakak kira Kakak bakal marah sama Baskara selama-lamanya. Ternyata, Allah itu jago ngebolak-balikin hati. Kalo sekarang Kakak udah gak marah, masa iya Kakak harus marah lagi ama Baskara?"
"Kalo Kakak bisa bersikap baik, kenapa harus bersikap jahat?"

Lamunan Gasta buyar ketika seseorang masuk ke kelas.

Aimee.

Yang tentu saja, juga pertama kali masuk sekolah setelah tiga hari diskors.

Ketika Aimee masuk, dia tercekat melihat Gasta sudah di bangkunya. Dia bersiap membuang muka, namun sapaan hangat Gasta lebih dulu menyambutnya.

"Hai Mee."

Aimee hanya menatapnya datar, lalu melenggang ke bangkunya.

Gasta kembali tenggelam dalam diam.

Pikirannya melesat ke kenangan beberapa hari lalu. Ketika Feliz menunjukkan rekaman suara pengakuan Aimee soal perasaannya pada Gasta.

Aimee sudah ngga ada perasaan apa-apa sama aku.
Harusnya, dia biasa aja dong?
Kan, kisah kita udah usai?
Dendam apa lagi kali ini?
Masa masih gara-gara skors?

"Mee, maaf ya." ujar Gasta tiba-tiba, dari bangkunya.
"Buat apa?" sahut Aimee asal, sambil mengubek-ubek tasnya.
"Banyak hal. Terutama karena bikin kamu diskors."
"Ngga perlu." lagi-lagi Aimee asal bicara.

Gasta mulai geram, namun berusaha menahan emosinya. Akhirnya dia memilih untuk bungkam. Aimee masih tetap Aimee yang dingin padanya.

Tapi Gasta tak kehabisan akal. Hari itu dia berniat melunakkan hati Aimee. Berusaha mengajak ngobrol, melempar senyum, bahkan mulai menggodanya dengan canda. Tak ayal, tatapan-tatapan aneh tercurah padanya. Gasta mencoba tidak peduli. Pokoknya hari ini targetnya adalah: Aimee luluh.

Tingkah Gasta jelas memancing obrolan geng Aimee. Tatapan mereka yang aneh, risih, dan sinis silih berganti menyerang Gasta. Namun, Gasta tidak goyah.

Aim for AimeeWhere stories live. Discover now