"Ya udah!" Aku mendapat ide baru. Bantal guling Revan aku ambil paksa meski dia melawan sebentar, pun bantal guling milikku. Dua benda itu dijadikan sebagai pembatas antara tempatku juga Revan.

"Kamu atau aku sama-sama nggak boleh lewat perbatasan ini sedikitpun. Kalau ada yang melanggar, harus bayar 500 ribu per sekali melanggar. Gimana?"

"Baik!"

"Deal!" Kami berjabat tangan tepat di atas perbatasan.

Aku berbaring membelakangi Revan. Kembali terpejam, dan masuk ke alam mimpi.

***

Berjalan dengan tubuh ditutupi jaket milik Revan itu sangat tidak menyenangkan. Di belakang badan tegap Revan, aku seperti anak kecil yang tenggelam dalam jaket seraya mengikut pada sang papa.

Sialan memang dia.

Karena alasan 'pakaianku terlalu tipis', dia berhasil membuatku terlihat memalukan seperti ini.

Seandainya bukan karena ingin membeli perlengkapan khusus wanita, aku malas keluar dari hotel.

"Van, tungguin!" teriakku kesal.

Aku tahu dia mendengar, tetapi tampak malas walau sekadar sedikit berbalik untuk menanggapi panggilanku.

Melalui ekor mata, aku melihat sebuah toko yang menjual barang-barang kebutuhanku. Karena jengkel atas sikap cuek Revan, aku tanpa memberitahukan dia berputar masuk ke dalam toko.

Biarkan saja dia cemas mencariku. Sekarang, aku hanya perlu menemukan pembalut dan segera pergi dari sini.

Sambil mencari-cari barang yang aku maksud, sesekali aku melirik ke luar toko karena memang bagian depannya terbuat dari kaca tebal. Senang rasanya mendapati Revan di luar sana kelimpungan saat melihat ke belakang dan aku tidak ada.

Astaga. Dia juga masuk toko.

Aku segera bersembunyi di balik rak-rak tinggi. Sekali-kali, mengecek keberadaan Revan.

Dia ke arahku. Sebuah ide melintas di kepala. Aku terkikik bahkan walau baru membayangkannya. Suara sepatu mengetuk lantai terdengar mendekat. Aku tebak adalah Revan. Aku menunggu dengan jantung berdebar.

Satu ... dua ... tiga ...!

"BOM!" Aku berteriak kencang. Namun, hanya tatapan datar Revan yang aku temui, membuatku merasa kecewa karena gagal membuatnya terkejut.

"Oke!" Revan menepuk bahuku. "Kita ulangi lagi, ya?"

Dia mundur beberapa langkah ke belakang. Sementara aku tanpa berpikir panjang langsung kembali ke tempat persembunyian. Menghitung dalam hati dengan detak keras dalam dada.

Satu ... dua ... tiga ...!

"BOM!"

Revan melompat mundur ke belakang dengan wajah terkejut sambil memegang dadanya. Aku terbahak melihatnya--ah bukan, tetapi menyadari aksi konyol kami.

"Kamu gaje, Van!" Aku mengatur napas di sela-sela aksi menertawakan diri sendiri. Setelah reda, aku berjalan di depannya masih mencari-cari.

Dia tidak mengatakan apa pun. Bahkan aku sering mengira bahwa Revan pergi untuk membalasku. Namun, tidak. Dia setia mengekor sampai aku puas mengelilingi toko dan berakhir dengan menenteng dua buah kantongan berwarna putih.

"Langsung balik ke hotel?" Aku merotasi badan saat menanyakan itu, dan menemukan Revan sibuk dengan ponselnya. "Revan?" Mimik serius di wajahnya menularkan rasa cemas pada diriku.

"Ayo!" serunya kemudian. Langkahnya bahkan cepat menuju mobil. Aku bingung, tetapi tetap mengikuti Revan.

Sesampainya di hotel, dia segera membawaku masuk dengan menyeret lenganku. Bahkan, sedikit membanting setelah kami di kamar.

Wanita Cadangan ✓Where stories live. Discover now