- 04

14.5K 1.4K 153
                                    

Meski akhirnya dibuang, aku bersyukur karena pernah berarti dalam hidupmu.
-Salwa-

"Udah pulang, Revan?" tanyaku basa-basi saat melihat dia melewati pintu dapur. Kedua tangan ini dikeringkan menggunakan sapu tangan, lalu menghampiri lelaki yang tampak sangat lelah itu.

"Kenapa? HP kamu bermasalah?" Revan balas bertanya, dengan nada sinis.

"HP aku baik-baik aja. Malah tadi udah ngobrol sama Mama."

Mendengar jawabanku barusan, wajah Revan malah semakin datar. Ditambah garis rahangnya kian mengeras, dan bibir bertambah menipis.

"Makan malam dulu, yuk? Aku ada masakin makanan," ajakku untuk menghilangkan canggung yang beberapa saat lalu menguasai suasana di antara kami.

Tampak Revan terdiam, seolah menimbang-nimbang.

"Makanannya nggak ada racunnya, kok," ucapku memberitahu.

Bibir tipisnya semakin mengetat. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia melangkah masuk dapur. Di belakangnya, aku mengikuti sambil tersenyum simpul.

Tidak ada acara saling menyajikan. Aku makan sendiri, pun dia. Kami duduk saling berhadapan, tetapi hanya kebisuan yang ada. Kecuali dentingan sendok dan piring yang saling beradu.

"Adelia belum pulang?" tanyanya tiba-tiba.

Seketika, mood-ku yang awalnya bagus, kini jatuh sampai dasar. "Belum," balasku tak acuh sembari terus melanjutkan makan.

Nasi setengah piring di depanku sudah habis. Aku menyesap beberapa teguk air, lalu terdiam sejenak memperhatikan Revan yang masih makan dengan lahap. Meski tidak ada kalimat pujian atau terima kasih darinya, melihat lelaki dingin ini menerima masakanku saja, rasanya sudah bahagia tidak terkira.

"Revan, boleh kita membahas beberapa hal?" tanyaku hati-hati tanpa mengalihkan pandangan darinya, "tentang ... kita bertiga."

Sendok di tangan Revan berhenti di udara. Ia menilikku beberapa saat. "Bicara saja!" pintanya, lalu menyendokkan makanan itu ke mulut.

"Tentang kamu, aku, dan Adelia ... aku belum mengatakan semuanya pada Mama. Karena berpikir, ini urusan rumah tangga kita. Mama sudah pusing mengurus kerjaannya." Jeda sejenak saat aku mulai menjelaskan. "Kamu dan Adelia saling cinta. Keluarga kecil kalian ada di sini, dan aku ... hanya orang asing yang berada di tengah-tengah kalian. Mungkin, selamanya akan begitu. Aku akan tetap menjadi orang asing ... bagimu."

Masih kuperhatikan gerakan Revan yang tiba-tiba lambat, padahal tadi cepat dan lahap.

"Kamu urus keluargamu, aku urus diriku sendiri. Jangan ada yang saling mengganggu antara kita. Anggaplah antara kita dua orang yang tidak saling mengenal yang tinggal dalam satu atap," lanjutku.

"Kenapa?"

Entahlah, tapi satu kata pertanyaan dari Revan tersebut terasa aneh. Mata tajamnya tertuju padaku, dan aku sama sekali tidak mengalihkan pandangan darinya.

"Karena orang asing akan tetap orang asing dalam hidup orang yang sudah memiliki kekasih."

Setelah menjawab, aku mendorong kursi ke belakang, lalu berdiri.

Wanita Cadangan ✓Where stories live. Discover now